Sembilan

80 8 0
                                    

Aku memperhatikan Woojin mengisolasikan foto yang sebelumnya aku sobek, setelah itu ia kembalikan foto itu ke bingkainya.

"Dua tahun yang lalu, Youngmin tertabrak kereta." Buka Woojin. Dia bilang dia akan menceritakan semuanya yang aku tidak ketahui. Semuanya. Tanpa kebohongan.

"Tapi itu bukan kecelakaan. Donghyun yang membunuhnya." Ucap Woojin. Aku melihat tangan Woojin mencengkeram erat bingkai foto itu sebelum akhirnya ia taruh diatas meja.

"Aku membencinya, Donghyun Hyung." Katanya lagi.

"Sebenarnya aku sama sekali tidak pernah membunuh orang. Sama sekali." Jelasnya. Aku menyeritkan keningku.

"Lalu, yang waktu itu?" Aku ingat pertama kali aku bertemu dengan Woojin. Dia bersama mayat yang sudah berdarah-darah. Aku juga ingat korban itu masuk berita di tivi kalau itu adalah bunuh diri.

"Eh? Bunuh diri?"

"Iya. Dia bunuh diri. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri kalau dia lompat dari atas gedung itu. Yang tidak aku mengerti adalah, kenapa ia memilih pendaratan di gang sempit seperti itu." Jelasnya lagi.

"Tapi, pisau itu?" Aku juga mengingatnya Woojin membawa pisau yang sudah berlumuran darah.

"Sebenarnya, aku kesana bukan tanpa alasan. Aku ke gang itu sambil membawa pisau karena ingin membunuh diriku. Soal darah, darah orang itu terciprat mengenaiku." Aku membelalakkan mataku tidak percaya.

"Sebenarnya yang keluarganya hancur itu bukan Donghyun, tapi aku. Keluarganya sangat harmonis. Aku iri. Satu-satunya penyemangatku pergi, aku berusaha untuk terus hidup tapi aku tidak mampu. Lalu aku memutuskan untuk membunuh diriku sendiri. Sampai aku melihat orang yang bunuh diri secara langsung dan bertemu denganmu."

Aku menatap mata Woojin yang menyorotkan tatapan sedih. Aku mengerti perasaan Woojin, karena yang keluarganya hancur bukan cuma Woojin, tapi aku juga. Aku sangat mengerti rasa ingin mati itu datang hampir setiap hari.

"Kami dulu selalu bertiga, aku, Donghyun Hyung, dan Youngmin Hyung. Donghyun Hyung tidak berubah, dia memang tukang bully sejak sd. Aku tidak pernah dibully, tapi Youngmin Hyung sering diganggu. Tapi tidak separah itu karena kami berteman. Entah mengapa, ketika aku mulai jujur pada Donghyun Hyung kalau aku dan Youngmin Hyung berpacaran , Donghyun malah menjadikan Youngmin Hyung targetnya yang baru."

"Persahabatan kami hancur saat itu. Tapi aku punya Youngmin Hyung. Walaupun aku selalu bersedih karena keluargaku, tapi Youngmin Hyung selalu tersenyum. Padahal dia juga terus dapat siksaan dari mantan sahabatnya. Hingga suatu hari, ketika kami berada di stasiun, ketika kami ingin menunggu kereta datang, Donghyun Hyung mendorong Youngmin Hyung, ke rel."

Aku menutup mulutku. Dari cerita yang Woojin ceritakan aku masih belum mengerti jalan pikiran Donghyun.

"Saat kepergian Youngmin Hyung, aku tidak bisa menangis sama sekali. Bahkan sampai sekarang. Donghyun Hyung tidak pernah minta maaf padaku, atau kepada batu nisan Youngmin Hyung. Malah, Donghyun Hyung datang kepadaku, memelukku. Seperti menenangkan ku."

Aku tidak menyangka. Anak Smp bisa berfikiran sampai sejauh itu.

"Ketika aku bertanya padanya, apa itu sebuah kesengajaan atau kecelakaan, dia memasang raut wajah sedihnya, kembali memelukku dan mengatakan kata-kata seperti itu lagi." Jelas Woojin.

"Kata-kata seperti itu?"

"Aku yang akan menggantikan Youngmin Hyung berada disisi mu, jadi kau jangan sedih." Woojin berkata seolah-olah ia adalah Donghyun.

"Bukankah itu sudah jelas? Itu pembunuhan."

"Aku menjelaskan semua yang aku lihat kepada polisi dan orang tua Donghyun, tapi mereka tidak percaya. Orang tua Donghyun sangat menyayangi anaknya dan mereka juga punya kuasa atas hukum. Kau tidak tahu, ya? Ayahnya kepala kepolisian dan ibunya seorang hakim. Aku tidak bisa apa-apa."

Woojin menatap foto Youngmin yang sudah diisolasi. Sudah agak lecek karena aku menyobeknya, tetapi Woojin masih menatapnya dengan penuh rasa. Entah mengapa aku merasa sangat cemburu.

"Lalu, untuk apa kau mendekatiku?"

"Hyung mengingatkan aku pada Youngmin Hyung. Dia juga sering dirisak oleh Donghyun Hyung. Aku ingin melindungimu." Jawab Woojin.

"Kenapa kau bilang cinta saat itu? Kau juga menciumku. Kau juga tidak menolak ketika aku mencium mu."

"Itu, aku tidak tahu. Aku hanya ingin mengatakan itu agar Woongie Hyung setidaknya merasa aman jika bersama denganku. Tapi sepertinya tidak, ya? Kau selalu dirisak walaupun ada aku. Maaf, Hyung."

Dadaku berdenyut sakit kembali. Alasan yang tidak masuk akal menurutku. Bagaimanapun aku ingin Woojin mencintai ku. Ini pertama kalinya aku merasakan dicintai oleh seseorang. Aku tidak boleh melepaskannya.

"Apa yang akan kau lakukan pada Donghyun selanjutnya?"

"Sejak saat itu, aku bertekad untuk membunuhnya." Lirih Woojin.

"Harusnya saat itu berhasil. Aku lengah." Woojin menghela nafasnya.

Aku berjalan mendekati Woojin. Memeluknya, menenggelamkan kepalanya pada dadaku. Mencium pucuk rambut Woojin dalam-dalam.

"Aku pikir kau tidak perlu untuk berbohong sejauh itu, Woojin."

"Maaf. Aku hanya ingin bisa dekat denganmu secara cepat. Kalau aku tidak mengarang cerita, aku berpikir kalau Hyung tidak akan mau aku dekati."

Aku menghela nafas. Yang dikatakan Woojin ada benarnya. Kalau Woojin tidak mengancamku ketika pertama kali kita bertemu, aku tidak akan mau di dekati oleh orang yang tidak aku kenal. Tapi karena Woojin berbohong padaku waktu itu, aku jadi bisa dekat dengan Woojin.

"Aku bisa jadi tanganmu." Ucapku. Woojin mendongak ke atas dalam duduknya. Aku menangkup dengan kedua tanganku wajah Woojin untuk semakin menatap mataku.

"Sekarang, mulai sekarang, aku yang akan menggantikan Donghyun berada disisimu. Kau bisa mempercayaiku. Kau bisa menggunakanku." Ucapku. Aku berusaha memilih kata-kata agar Woojin bisa percaya padaku.

"Tidak, Hyung. Aku tidak mau Hyung kenapa-kenapa."

"Gunakan aku." Yakinku. Aku merendahkan kepalaku agar bisa menggapai hidungnya.

"Aku adalah tanganmu. Aku akan melakukan apapun untukmu. Termasuk membunuh Donghyun. Aku akan melakukan apa yang bisa aku lakukan. Demi dirimu."

"Kenapa?" Lirih Woojin. Matanya masih menatap mataku dengan sorot tidak percaya.

"Karena aku mencintaimu." Ucapku. Aku membawa wajah Woojin dan kembali menciumnya. Lanjutan yang ada di bus kemarin sore. Woojin membawa tubuhku semakin erat padanya. Untuk sekarang, sudah bukan sentuhan lagi, tetapi lumatan.

Decakan suara terdengar nyaring ditelinga ku. Woojin berdiri mengakibatkan tinggiku berada di bawahnya. Woojin membawaku ke kasurnya dan melanjutkan aksinya, sebelum itu, Woojin sudah menutup pintunya.

"Woojin-ah." Aku memanggil namanya ketika kami sama-sama membuka baju kami masing-masing. Aku mendengar suara mobil yang sepertinya sudah terparkir di garasi. Aku menatap Woojin memberi kode bahwa sepertinya, orang tua Woojin sudah pulang.

"Biarkan saja. Kita lanjutkan. Mereka berdua tidak pernah peduli apa yang aku lakukan." Woojin kembali menciumku dan aku pun membalasnya.

Ternyata seperti ini rasanya dicintai.

Aku tidak tahu Woojin benar-benar mencintaku atau hanya sekedar bernafsu, aku juga tidak tahu apa aku juga sebenarnya benar-benar mencintai Woojin atau tidak. Tapi untuk sekarang aku ingin melanjutkan kegiatan ini.

Aku hanya ingin disentuh oleh Woojin.

Aku ingin dicintai.

Hanya itu.

.

.

.

.

Tbc

Love & Lies {Chamwoong} 2WooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang