Dia pemilik senyum para malaikat. Dengan rambut curly, mata coklat hazel, dan senyum mempesona. Diberkati dengan fisik yang dapat membuat semua orang takluk padanya dalam satu kali tatap, ia adalah pribadi yang ramah, tak ada guratan angkuh dalam wajah maupun tingkah lakunya.
Ia menjadi lambang remaja ideal, mempunyai catatan prestasi yang bagus, mempunyai banyak teman, dan disenangi guru bahkan mbak-mbak kantin. Tapi tak jarang pula ada yang mengatakan ia jutek. Tapi itu hanya berlaku pada orang yang baru ia kenal. Dia juga menjadi salah seorang yang bisa dihormati oleh bawahannya di butik miliknya. Ia punya semuanya, terkecuali kasih sayang.
Pada hari ini, sore ini lebih tepatnya, semua yang Aleida Karenina Wijaya sangat inginkan, ia dekap. Sebelumnya, waktu berjalan lambat ketika masa lalunya seperti dihadirkan kembali. Walau dilakoni oleh orang yang berbeda, rasa sakitnya terasa sama. Seakan-akan mencekik lehernya pelan-pelan. Karenina lebih memilih pergi meninggalkan dunia ini, ketimbang tersiksa atas luka dan lara. Baik pergi ke neraka pun, ia sanggupi.
Menjadi siswa yang pintar tak membuatnya harus duduk di depan. Ia lebih suka duduk di belakang. Di pojok kanan. Jauh dari meja guru. Jauh dari tempat duduk laki-laki, ya sebenarnya bisa dikatakan dekat karena mereka masih satu deret dengan Karenina, deret paling belakang, hanya saja di bagian kiri kelas. Lurus dengan meja guru. Meja Karenina yang paling ramai. Jika meja mereka putih bersih, meja Karenina terdapat dua bingkai pigura berisi foto Park Chanyeol dan Kim Jongin. Bukan. Mereka bukan pacar Karenina. Teman kelasnya bilang pacar-halu-nya. Disamping dua pigura itu, ada satu boneka unicorn berwarna merah muda berukuran kecil. Mudah ditebak, Karenina adalah gadis feminim, suka warna merah mudah.
Sore ini hujan. Hujannya biasa saja. Namun, orang yang menemaninya saat ini yang istimewa. Betapa baiknya dia membawakan dua box pizza dan satu mangkuk besar tteokbokki dari café langganannya. Karenina memang seorang model, tapi makanan adalah hal yang paling ampuh untuk meruntuhkan pertahanan gadis berambut sepunggung itu. Di sela keheningan, pria itu mulai membuka suara, namun Karenina masih sibuk dengan menyeruput Choco Oreo Bubble yang juga dibawa oleh pria itu.
“Kamu sudah tau jawaban dari pertanyaanmu waktu itu?”
“Yang mana?”
“Yang sudah kamu tanyain, hmm, sekitar 127 kali?”
“Oh…”
“Kok oh aja?”
“Gue udah dapet dan yakin atas jawabannya.”
“Aku tau. Kamu selalu berusaha meyakinkan itu pada hati dan alam bawah sadarmu karena perintah Dokter Mona. Bukan semata-mata kamu benar-benar yakin.”
“Hmmm, yah, memang itu kan yang harus gue lakuin.”
“Aleida Karenina Wijaya.”
“Apa?”
Yang sedari tadi Karenina hanya sibuk makan dan minum, seakan ia diajak bicara oleh angin, tersentak kaget ketika dua tangan menempel pada bahunya dan membuat badannya berputar ke arah kiri, menatap sepasang manik indah pria yang duduk di bangku Laura, sahabat Karenina. Masih memegang slice pizza dan gelas boba.
“Aku tau. Perkataan aku yang tiba-tiba waktu itu buat kamu marah. Aku tau betul dari bagaimana gurat wajah kamu. Menanyakan keadilan tuhan dan menyalahkan takdir yang sangat mempermainkanmu. Kamu selalu menuduh bencana adalah sebuah hal yang menjadi tanda bahwa kamu tak pantas untuk mendapatkan cinta.”
Karenina terpaku. Ingatannya berputar selama satu tahun ini. Bagaimana ia sangat terkejut akan kehadiran pria di depannya. Bagai dua mata pisau, ia memberi luka, di satu sisi ia juga menghibur lara. Karenina bukanlah tipe orang yang memilih-milih orang mana saja yang berhak ada di kehidupannya. Namun, cara dan waktu ia datang sangatlah tidak pas. Ibarat puzzle, ia benar-benar tidak masuk ke dalam frame, hingga dipaksakan sekalipun.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Bolt From the Blue
Ficção GeralA Bolt from The Blue : Kejutan Kejutan yang benar-benar menjadi momen yang tertanam sangat kuat pada memori Karen. Tak akan pernah terlupa. Sampai kapanpun. "Tunggu kejutan dari gue. Gue yakin banget lo suka. Seyakin itu. Karena gue tau, gue sumber...