“GET OUT FROM MY HOUSE, WHORE!”
Teriakan itu lagi. Lagi-lagi Karenina dibuat marah oleh kelakukan Rivaldy. Cenderung kecewa, bukan marah. Hampir setiap minggu, ia harus melihat pemandangan dimana Rivaldy pulang dalam keadaan teler alias mabok.
“Kapan-kapan kita senang-senang lagi ya, honey! Kita akan menikmati surga yang lebih indah! Jangan lupa telfon aku!”
“PERGI LO JALANG!”
“Ih Nana kok kamu ngusir Siska sih! Kamu kok jahat! Hahahaha.”
Teler bener dah nih si Rivaldy. Nana yang dimaksud dia adalah Karenina. Panggilan kesayangan ceritanya. Siska itu bisa dibilang jalang favoritnya Rivaldy. Karenina sudah bertemu dia beberapa kali. Cantik. Tinggi semampai, badan bagus, sexy abis. Sayang, JALANG. Terkesan kasar, tapi itu adalah predikat yang Karenina sematkan untuk perempuan di depannya itu.
“Aku pulang dulu ya, babe!”
“Hati-hati Siska sayang. Dadah…”
Karenina membopong Rivaldy untuk masuk ke dalam rumah. Matanya panas. Air matanya sudah menggenang karena melihat Rivaldy seperti ini. Memang bukan yang pertama kalinya, tapi ia selalu sedih melihatnya. Ia juga tak jarang melihat Rivaldy dan Siska bercumbu di ruang tamu. Tak jarang juga ia mendengar suara desahan keluar dari kamar Rivaldy. Membayangkannya saja sudah berhasil membuat pertahanan Karenina roboh. Ia menangis.
“BU MINA! PAK HADI!”
“Iya non?”
“Tolong bawa Papa ke kamar , ya! Saya capek.”
“Baik non.”
“Makasih bu, pak.”
Mencoba terlihat baik-baik saja di depan Bu Mina dan Pak Hadi, asisten rumah tangga yang ada di rumahnya. Buru-buru naik ke lantai dua, lokasi kamar tidurnya berada. Air matanya jatuh begitu deras. Sampai orang yang sedang duduk di kasurnya itu kaget melihat Karenina yang seperti itu.
“Lah? Lho kenapa?”
“Pink… Kenapa sih kok kayak gini?”
“Lagi?”
Karenina hanya membalas dengan anggukan. Vicky alias Pinky, asisten pribadi Karenina, menepis jarak pada gadis yang badannya sudah bergetar itu karena menangis. Menariknya dalam peluk. Karenina membenamkan kepalanya pada dada bidang Pinky. Entah siapa lagi yang akan menemaninya seperti ini jika bukan Pinky. Dia tidak hanya asisten bagi Karenina, namun juga abang dan sahabatnya sekaligus. Karen, sapaan yang diberikan teman-temannya, mendapatkan Pinky saat kelas 8. Alasannya karena Karen sangat risih harus ditemani oleh bodyguard berbadan besar kemana-mana bahkan ke sekolah sekaligus. Wajar jika Papanya seketat itu menjaganya, karena ia punya rival bisnis yang bisa saja tiba-tiba melukai Karen.
Rivaldy bukanlah orang biasa. Ia merupakan pemilik bisnis properti dan pariwisata terbesar di Indonesia. Ditambah lagi ia dari keluarga Wijaya yang tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana eksistensinya. Kekayaan yang mungkin tidak akan habis sampai ratusan turunan walaupun mereka hambur-hamburkan sekalipun.
Biasanya jika hal itu terjadi, Karen akan berbegas menelpon sahabatnya untuk melepas kesal. Tapi ia baru saja mengakhiri telfonnya beberapa menit sebelum bel rumah berbunyi dari si jalang sialan itu tadi. Karen tidak mau merepotkan orang. Apalagi dalam telfon tadi, suaranya terdengar sangat lelah karena seharian ini dia ada acara pemotretan di salah satu majalah remaja kenamaan ibu kota dan Karen pun ikut serta menjadi partnernya.
Karen dan sahabatnya itu awal kali kenal karena dipertemukan dalam satu projek majalah. Karen yang waktu itu hanyalah gadis pendiam dan dingin. Lalu menjadi gadis yang cerewet dan punya tawa yang lebar dalam sekejap. Seperti diberi, hmm, bumbu-bumbu magic. Lain kali Karen akan menceritakan kepada kalian, betapa hebat sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bolt From the Blue
Genel KurguA Bolt from The Blue : Kejutan Kejutan yang benar-benar menjadi momen yang tertanam sangat kuat pada memori Karen. Tak akan pernah terlupa. Sampai kapanpun. "Tunggu kejutan dari gue. Gue yakin banget lo suka. Seyakin itu. Karena gue tau, gue sumber...