Esspresso

24 8 0
                                    

Pepohon hijau itu daunnya basah oleh hujan sejak satu jam lalu. Hingga kini, rintiknya masih enggan menepi. Hawa dingin berkali-kali menepis lembut pipi seorang gadis muda yang duduk di pojokan balkon kelasnya. Agaknya dia sedang mencuci mata, mengistirahatkan otot matanya yang lelah akibat seharian memandangi laptop. Di tangan kiri pada pangkuannya, tergenggam satu buah buku catatan yang isinya bertemakan abstrak.


Meski begitu, Ambar tak gentar. Dia masih saja bertahan di pojok balkon yang tiap saat dengan suka rela ikut mencicipi tetes hujan kali ini. Pikirnya, jika nimbostratus sajaenggan pergi, maka dia yang manusia juga harus di sana hingga nimbostratus itu yang pergi. Enak saja, awan itu tak akan bisa membuat Ambar pulang ke rumah dengan baju yang kuyup.


"Ambar!" Sebuah suara di tengah-tengah bunyi hujan membuat gadis itu mengalihkan pandangnya. Ditemui satu tubuh gadis muda sebaya dengannya. Inka nampak terburu ke arahnya.


"Ada apa?" "Cerpenmu bagaimana?" Ambar tersenyum singkat, dengan gurat samar kemirisan. "Elegi," jawabnya. "Hah? Kenapa?"


"Tidak dengar? Cerpenku elegi. Seseorang bilang, cerpenku mati. Kaku. Tak punya rasa. Sampah." Gadis itu lantas mengalihkan pandangannya kembali pada pepohon yang sedikit banyak bergoyang akibat angin. Sementara di sana, Inka mematung masih tak mengerti. Pelan-pelan, dia melanjutkan mengahampiri teman sekelasnya tersebut.


"Aku benar-benar tak mengerti. Menurutku, kamu itu berbeda! Cerpenmu bagus."Ambar masih saja memandang deretan pohon yang menghibur dirinya. Dia tidak punya gambaran sama sekali mengenai dunia tulis-menulis. Buram. Abu. Banyak sudah cerita yang ia tulis, tapi hasilnya selalu sama. Tidak ada yang istimewa dari karangannya.


"Ambar!" "Aku menyerah, Inka. Mungkin saja matamu sedang kemasukan debu saat baca cerpenku. Semuanya hambar, seperti namaku." "Tidak, kamu itu langit. Kamu luas dan cerah. Aku sungguhan, diksi punyamu begitu luas. Tinggal latihan sedikit saja, semuanya bisa jadi cerah!" Bukan tuli atau sengaja menuli, Ambar mendengar semuanya. Kenapa malah Inka yang begitu semangat seperti ini? Apa itu benar?


"Akan kupertimbangkan," jawab Ambar singkat. Selanjutnya, dia melenggang meninggalkan Inka yang belum lama berdiri di tempat itu. Ambar telah kalah dari nimbostratus, badannya utuh tergerus molekul penyusun air.


Sore ini sekolahnya masih ramai. Harusnya telah sepi, namun akibat hujan dan aktivitas ekstrakulikuler, banyak murid yang tertahan di sekolah. Ambar berjalan lurus membelah derasnya hujan dan menjadi satu di antara anak lain yang tergelung hujan. Tanpa payung. Tanpa peneduh. Dia begitu tenang dalam kalutnya pikiran yang tak bisa dibohongi.


Jalannya mendongak, malas menatap kerikil dan pasir di gelaran jalanan. Dongakan itu hanya satu bentuk dari kamuflase, yang aslinya, Ambar ingin berai dalam guyuran hujan. Tetes yang lain kemudian jatuh mencampur air hujan pada wajahnya. Belum pernah Ambar merasa sekalah ini. Selama ini, semua yang dikerjakannya selalu bertitel bagus, bahkan menjadi yang terbaik. Kenapa harus sastra? Ambar suka menulis, ini tidak adil. Fisika yang dibencinya sampai mampus saja bisa ia pecahkan dengan mudah, namun sastra yang ia cinta ... bahkan dibilang sampah. Sepanjang perjalanan, gadis itu masih sibuk dari dunianya sendiri. Untungnya, tidak ada kendaraan lain yang iseng menyenggolnya.


Sempat terbesit satu nama tempat di pikirannya, Lepas. Sebuah kedai kopi yang juga menyediakan alkohol. Tempatnya unik, dibelah jadi dua zona. Pada kiri, ada meja panjang dengan barista alkohol yang kerap kali dikunjungi orang bermasalah. Sedang di kanan, tersedia meja pencipta gelas-gelas kopi yang punya banyak cerita.


Kata pemiliknya, dunia itu imbang. Ada baik yang satu jalan dengan buruk. Tapi kebanyakan mata melihatnya berjalan terpisah. Yuhendra, pria pemilik Lepas, ingin menyatakan pendapatnya yang bertabrakan dengan opini publik. Makanya, Lepas dibagi dua. Satu untuk yang baik, dan satu untuk yang buruk. Kita tak akan pernah tahu, betapa baik buruk akan jadi berlawanan artian dalam keadaan tertentu. Seperti baku hantam yang tidak selalu negatif jika kau akan melakukannya demi mendapatkan hartamu kembali di tangan rampok. Juga aktivitas membersihkan diri dengan satu bak air bersih penuh kala badai hujan di tengah malam.


"Sore, Langit."


Mendapati dirinya disapa, Ambar hanya mengiyakan lewat kerlingan dan senyum singkat di wajahnya. Tidak seperti biasanya, Ambar memilih yang kiri. Barangkali, rasa alkohol adalah sesuatu yang harus ia coba kali ini.


"Aku mau yang alkoholnya paling tinggi."


Yuhendra yang tadi menyapa Ambar di balik meja kopinya mendadak bangkit dan menepis tegas penawaran Ambar. "Anak di bawah umur tidak boleh minum alkohol."


"Aku punya KTP."


"Tetap tidak. Pernah dengar kucing-mati-karena-penasaran?"


"Kucing Schrodinger?"


Lawan bicara Ambar mengiyakannya melalui dua kali anggukan cepat. Namun Ambar malah memalingkan mukanya dan mendecih. "Percobaan itu tak pernah dilakukan, Schrodinger hanya menjadikannya nyata dalam otak. Kucingnya juga entah hidup atau mati."


"Memang. Tapi jika kali ini kau gantikan kucingnya, aku yakin kau akan mati."


"Persetan." Ambar kemudian menatap bartender kembali, dan menagih pesanannya. Yuhen masih saja berkeras dengan dalih bahwa alkohol adalah haram. Lalu jika haram, kenapa kau jual, Bodoh? Perdebatan mereka hampir tak akan ada hentinya jika Yuhen tidak mengeluarkan satu kalimat ajaibnya.


"Mau menyajikan kopi bersamaku?"


Ambar sendiri tertarik dengan tawaran itu. Ia memang suka merecoki pekerjaan Yuhen, tapi menyajikan kopi bersama Yuhen adalah satu hal yang tidak terduga. Dengan mengekor langkah Yuhendra, Ambar bersiap menjadi barista kopi.


"Coba ini," kata Yuhen dengan sodoran gelas kopi pekat mungil. Espresso.


Mata layu Ambar seketika memejam dalam buaian campuran air dan kopi pada mulutnya. Manis, namun juga pahit. Bittersweet. "Hidup itu espresso. Bukan latte." Yuhen memandang Ambar lekat. Teduh, bisa Ambar temukan sayang seorang kakak dari sana. "Lidah semua orang pasti bisa menerima latte, tapi yang menerima espresso, mungkin hanya beberapa. Kamu paham, 'kan?"


Sudut bibir Ambar terangkat dengan fokusnya pada gelas mungil di tangan. "Memang. Pahit, tapi manis. Kalau buatanku, pasti pahit semua."


"Tidak mungkin. Hanya kurang latihan. Memang sekarang pahit, tapi besok bisa jadi manis. Tidak ada yang tahu dengan pasti hidup mau membawa kamu ke mana. Selama bisa, kenapa tidak mencoba? Tapi ingat, kesempurnaan itu maya. Maka kejarlah cinta, bukan obsesi." Gadis iu terdiam beberapa saat. Kesempurnaan itu maya. Ambar pikir, semua mainan bisa ia rengkuh dalam dekap. Tapi sekarang, ia paham. Sempurna bukan untuk manusia. Jika mungkin, manusia hanya bertambah baik, bukan menuju sempurna. Tapi, ia kembali ragu.


"Bagaimana jika—"


"Lakukan. Aku saksinya. Berapa tahun lagi, kamu adalah langit dengan sinar bintang."


Cukup. Ambar tahu, dia tidak akan jatuh. Bila terjadi, ia akan berakhir di pangkuan banyak orang. Yang ia kejar dalam sastra hanya bentuk kesempurnaan, bukan rasa. Jelas, hasilnya juga tak pernah punya rasa. Sastra bukanlah kesempurnaan yang Ambar kejar, namun ia adalah rasa. Tentang bagaiamana kamu mengungkapkannya pada dunia. Dia benar, cerpen Ambar memang mati. Namun, cerpennya yang akan datang tidak akan pernah mati kembali.

treasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang