Lama, lama sekali. Aku bahkan hampir lupa, tentang kapan terakhir kali jumantara terasa begitu cerah sebelum kamu datang. Tapi kenang itu barang kali tak akan pernah hilang, mungkin hanya memudar.
Tepat hari Sabat, pada rinci waktu ketika energi kehidupan tersisa semililiter. Teori bahwa manusia berasal dari pecah bintang menjadi benar. Karena bintang selalu memancarkan cahaya, sekali pun ia telah mati. Aku tahu, yang itu hanya keterbatasan dimensi. Tetapi, aku pun tahu, berdasarkan konspirasi rasa, hormon, sistem saraf, juga memori, kau tak pernah menjadi mati.
Cahaya milikmu menguapkan beban-beban penghisap energi kehidupan. Teori bilang, ini evaporasi. Sekali, dua kali, hingga kalian tak terhingga. Bersamamu adalah candu. Aku suka saat tubuh berlomba memproduksi endorfin, oksitosin, serotonin, dan dopamin sebagai respon atas presensimu.
Aku terbang. Kondensasi. Masih jelas mengenai suatu kejadian. Kita berdansa di bawah kapyuk paket-paket rezeki dari Tuhan, suatu waktu. Kamu tersenyum, pantas menuai selangit harga. Aku pun. Dengan tawa, waktu itu aku berbisik tepat di telinga kirimu. "Aku ingin tahu, apa gerangan pemicu bahagiamu?"
Bukan menjawab, kamu malah mengeratkan peluk. Lantas wajah manismu tengadah, lagi-lagi menggelar senyum paling menawan. Ah, jangan lupa akan tetes air yang memberkahi tiap kelok maha karya Tuhan itu. "Kamu!" sepenggal bunyi dari mulutmu.
Seakan mimpi. Biar pasti, kupinta kamu mengulang. "Kamu! Kamu bahagiaku!" Telak, kita berciuman. Ah, tidak. Tepatnya, aku yang lebih dulu mencium bibir lembut itu.
Di lain waktu, kamu terheran menatap bongkah ringkih anak kucing pada gendongku. "Kotor, Jem." "Enggak. Dia sekarat," jawabku dengan muka khawatir. Kemudian, kita berakhir di bangsal rumah sakit hewan. Aku tak pernah tahu para dokter melakukan apa pada si kucing, tetapi malam itu terasa panjang. Di sela kantuk, kamu sempat-sempatnya bersandar di bahu. "Jestamma, kamu baik."
Tak ada paham yang datang, maka kubiarkan kamu terus bercakap dengan mata menuju ruang di mana si kucing ditindak. "Hanya kubayangkan, suatu saat nanti, kamu akan duduk di tempat yang serupa. Bedanya, yang di dalam sana itu aku. Aku sekarat, berusaha menetaskan kehidupan lain."
Manis, manis sekali. Hingga aku lupa akan suatu hukum alam. Telah terlalu tinggi, aku perlu jatuh. Maaf, aku menyerah. Kamu tetap cerah, tak ada ubahnya. Hanya aku yang semakin jauh, maka kamu terkadang memudar. Aku jatuh, kembali ditumpuki beban. Aku bersyukur kamu tetap. Ya, wajah manismu harus selalu diberkahi bahagia. Mereka bilang, kamu bersalah atas membuat kebersamaan dengan manusia hina dina dari lautan. Tak apa, gadis manis. Mereka benar. Tidakkah kesadaran mampir sejenak dalam pikirmu? Kamu dari langit, aku dari lautan. Pada akhirnya, aku kembali ditangkup ibu Gaia; pulang pada lautan. Prespitasi.