"Inka ..."
"Hm."
Dia tersenyum, pesimistis. Bisa kurasa gerak tubuhnya yang gelisah, siratan dari anggota gerak yang jauh dari kata tenang. Berulang kali, matanya terantuk pada ponsel di pangkuan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Gak pa-pa," jawabnya dengan ringisan serta nada yang rendah.
Henti. Tak ada lagi patah kata yang terucap dari Dyah Sagara Langking. Sebuah pemikiran merasuk jahil dalam kepala, tapi aku bergeming. Tidak ada salahnya beralih fungsi menjadi pengamat sosial dalam waktu tertentu, 'kan?
Maka, lima menit kemudian Dyah Sagara Langking bangun dengan sentakan dari duduknya yang tepat di sebelah kiriku. Langkahnya tergesa, beberapa kali hampir berlari. Hingga pada kali terakhir 'lihatan mataku, ia benar-benar berlari, kencang tanpa lihat jalan.
Dalam hati, kutertawakan secara kecut tindakannya. Bohong. Tidak ada satu manusia yang gamblang menjelaskan masalahnya ketika dihadapkan dengan, "Kenapa?" Di balik, "Gak pa-pa," selalu ada kondisi yang bukan normal.
Kenapa? —Gak pa-pa
No one knows. Hanya Tuhan, dengan kuasa-Nya.
Manusia itu rumit. Mereka selalu punya banyak alibi. Belum lagi, jika ada lebih dari satu kepala. Andai aku bisa tahu isi pikiran manusia, maka akan kutemukan benteng berbeda yang menahan semua ungkapan masalah mereka. Gengsi, takut, kawatir, tidak ingin, atau mungkin ... dia memang hanya baik-baik saja tanpa masalah.
No one knows.
Kau tidak bisa mengharapkan manusia lain akan mengerti di balik engganmu berdasar opini, "Kalau nanti dia kepikiran, gimana? Everybody has their shits, right?" Halah, tai.
Pada faktanya, tidak akan terjadi respon apapun ketika 'gak pa-pa' diucapkan. Mungkin hanya sepintasan peduli yang lewat dalam benak orang lain, dengan basa-basi yang telah kelewat basi kemudian. Tapi yang perlu kau ingat, sebelum jatuh respon, ada 'gak pa-pa' yang telah terucap. Manusia berotak paham dengan benar bahwa mereka punya batas. Lantas, tidak ada yang mau menerobos untuk sekadar lancang.
Pagi ini, Dyah Sagara Langking terlalu kentara untuk disebut sedang bermasalah. Entah. Percuma, 'kan? Saat ada 'kenapa', hampir selalu ada jawaban 'gak pa-pa' untuk selanjutnya. Lalu semuanya menjadi serba salah. Miris. Betapa aku pun pernah demikian.
Dulu sekali, ketika sendiri adalah pilihan terbaik. Aku terlalu takut. Takut untuk membuatnya turut jatuh kala aku jatuh. Aku bisu. Menyimpan rapat-rapat segala luka-duka dalam brankas milik pribadi. Hingga dia datang dengan sorot mata marahnya. Bukan ... bukan marah lagi, namun itu adalah sinar kekecewaan. Tingkatan kemarahan yang paling tinggi.
Lantas, ia pergi. "Jangan naif. Sakit bilang sakit, marah bilang marah, gak bisa bilang gak bisa. Yang prioritas itu kamu, bukan orang lain."
Kemudian, aku baru sadar. Kecewa miliknya saat itu adalah kecewa untukku. Untukku yang masih suka kawatir dengan ornag lain tapi lupa diri. Untukku yang selalu tersenyum di atas pesakitan agar orang lain turut tersenyum. Untukku yang sengaja mengambil alih tugas kelompok agar orang lain ringan.
Aku telah belajar. Maka, 'gak pa-pa' segera pudar dalam daftar panjang kosa kata di otakku. Sebagus apapun kertas pembungkusnya, bila isinya bangkai pasti tercium juga. Pada akhirnya, berhenti berpura-pura adalah yang terbaik.
Seseorang tidak akan pernah disalahkan untuk berbagi cerita. Untuk berbagi luka, cita, juga rasa. Hanya jika pihak kedua telah mengiyakan, tentu.
"Inka!" "Ya?" "Lihat Dyah?" "Barusan pergi. Kenapa?"
Lagi. Pemuda jangkung di hadapanku memberi reaksi yang hampir serupa dengan milik Dyah Sagara Langking. Kata 'kenapa' yang kuucap seolah bertindak sebagai penyelidik tingkat senior, menguak pelbagai situasi. Jadi, apakah memalsukan keadaan adalah bakat manusia-manusia jaman sekarang?
Dia sejenak menimbang secara gugup. Fokus matanya berpindah-pindah sesuai detik. Ada canggung yang terselip di antara kami. Kubiarkan. Sakit bilang sakit, marah bilang marah, gak bisa bilang gak bisa. Sepertinya, hipotesaku sedang menuju titik terangnya. Ada yang tidak baik-baik saja. Semenit.
"Mmhm, itu ... anu, barusan dapat kabar. Bapaknya Dyah kecelakaan. Kecelakaan dalam perjalanan ke sini, katanya."
Booom, dasar manusia. See? Apa ini sesuai dengan, "Aku sengaja gak bilang, nanti orang khawatir sama repot,"? Pagi ini, satu drama kehidupan sumbangan dari Dyah Sagara Langking berakhir dengan kunjungan ramai-ramai anak sekelas di rumah sakit tempat Bapaknya dirawat. Jadi, yang repot, yang kawatir, itu siapa? Bukan kamu sendirian, 'kan?
Makanya, lebih baik ungkapkan. Buang sungkannya, 'gak pa-pa'-nya silakan dibenamkan ke dasar pikiran.