Tersebutlah seorang pemuda sedang mengendap-endap mengintai sesuatu. Ia tengah berada di wilayah pedalaman, di mana listrik tersedia dalam pasokan yang minim. Punggungnya dibungkuk sebentar di bawah naungan pohon mangga besar yang di depannya dilindungi semak beluntas. Dalam keremangan malam purnama, Vontae Kim—si pemuda itu sedang mengintai mangsanya.
Percaya atau tidak, Vontae Kim adalah seorang pembunuh bayaran berdarah dingin. Wajahnya sekeras lempeng baja pembangun jembatan. Kata orang ekspresinya mahal; dia hanya akan membuat otot wajahnya bekerja jikalau sedang murka dan bahagia atas sebuah kemenangan—ah, tetapi ekspresi bahagianya pun langka.
Tatapan Vontae kini menajam intens pada sebuah objek. Tidak satu pun gurat main-main ada di wajah tampannya.
"AI-3, selesaikan misimu sebelum pukul sembilan malam. Kita akan dapat kekalahan besar jika kau gagal kali ini."
"Aku tahu. Lebih baik kau diam, keparat bau tanah," kata Vontae dengan suara beratnya yang mengalun bersama dayu angin kala itu.
Targetnya kali ini adalah seorang pria baik-baik, berpenampilan sederhana dan sangat dicintai masyarakat sekitar. Abai pada profil kebaikan target, Vontae hanya peduli dengan misinya. Dia tidak punya keterlibatan apapun dengan target.
Vontae Kim—seorang pemuda yang dua puluh lima tahun lalu terlahir ke dunia berkat seorang ayah pengedar narkoba dan ibu nyaris gila akibat serangkaian pembodohan cinta yang tak pernah Vontae mengerti. Dunia telah berlaku kasar sejak pemuda itu berwujud bayi baru lahir. Namun, genetika tak pernah bohong. Ia adalah putra tunggal ketua gang pengedar narkoba terbesar di dunia, terwarisi tekad dan keinginan baja dari ayahnya.
Anak itu benci ketika melihat ibu dan ayah bertengkar saling menyerapah, menyebut-nyebut barang haram dalam pertikaian mereka. Vontae benci kala Sang Ibu harus tergeletak lepas akal berulang kali akibat merasa menyerah menjalani kehidupan hina bersama Sang Ayah. Vontae juga benci tatkala menemukan ibunya terbaring dengan ceceran darah di sekujur tubuh dengan pisau atau benda tajam lain yang masih menempel di daging.
Mencapai final, Vontae muda betulan mantap bertekad untuk membunuh ayah kandungnya setelah melihat orang itu menyeringai kejam di balik tubuh kaku berselimut cairan merah milik ibu. "Dia berisik, harus mati! Kau jangan berisik seperti dia, mau mati pula, huh?" Kala itu, Vontae hanya seonggok anak manusia ringkih—tanpa daya. Maka anak itu bertahan pada sebuah rumah yang ia sebut dengan neraka paling enak.
Namun rupanya, Tuhan ingin sedikit menyaksikan permainan umatnya. Kelakuan kejam ayah masih belum mampu hilang dari kepala anak itu hingga beranjak remaja. Vontae muak, benci, dan takut. Berdasarkan logika dan insting anehnya, ia kemudian lari dari rumah. Vontae tahu ayah bisa dengan gampang menemukan dan menyeretnya kembali memasuki neraka dingin tempatnya lahir. Tetapi pria itu tidak melakukannya. Bahkan jika Vontae tidak salah persepsi, pria itu malah membiarkannya melewati gerbang depan tanpa buang-buang tenaga.
Entah, Vontae tidak tahu lagi harus bagaimana dengan keluarganya. Yang ia pahami, keluarga adalah sebuah konsep unrealistic dalam kehidupannya. Tidak ada ibu, tidak ada ayah, dia hanya sendiri. Dalam benak Vontae muda, semua trauma masa lalu itu tak akan hilang jika si lakon utama belum lenyap. Ia dengan kedua tangannya harus menebas kepala lelaki sialan itu.
Oke, mari sejenak melupakan semua masa lalu Vontae. Ingat, Vontae kita ada misi penting hari ini sebelum pukul sembilan. Dia tidak boleh gagal.
Dari penglihatan Vontae, pria paruh baya bernama Narjuna Rajasa itu tengah berjalan santai dengan sesekali menyapa orang yang lewat. Tidak, Vontae tidak akan tertipu dengan segala tampilan luar target. Ia telah menjumpai lusinan orang dengan sampul baik yang nyatanya di belakang diam-diam melakukan pekerjaan kotor. Vontae mendecak, lalu menggumam sebal dalam hati. Pikirnya, orang masa kini suka sekali bersandiwara. Dasar manusia.
Ada celah lima meter di depan Vontae yang tergolong kosong. Pemuda seperempat abad itu mendiamkan diri sejenak pada dahan pohon pinggir jalan. Dia diam, meranggeh segenggam apel dari saku jaket sembari tetap memerhatikan target. Beberapa kali muncul bunyi berisik yang nampaknya berasal dari pohon sekitar. Vontae abai, mengira itu hanya ulah hewan liar.
Dari jarak tujuh meter, Narjuna sedang bercakap-cakap dengan warga sipil. Ehem, pencitraan kelas murahan. Vontae muak, tangannya gatal ingin menembak Narjuna tepat di tengah-tengah tengkorak agar misinya cepat selesai.
Beberapa waktu berselang, Vontae memutuskan untuk kembali mengikuti Narjuna. Ia telah mendapat semua data pribadi target berdasarkan peretasan dan klu dari klien. Tetapi hingga saat ini Vontae masih belum paham ke manakah kaki penulis sekaligus pemilik percetakan terbesar di Indonesia yang merupakan targetnya itu akan berlabuh. Pasalnya, daerah yang saat ini ia pijak saja tidak pernah masuk dalam ulasan mengenai Narjuna Rajasa. Yakni Kalimantan Selatan, pulau tetangga dari domisili Narjuna sekeluarga.
. Dari gestur dan tampilan tubuh Narjuna, Vontae bisa mengartikan bahwa pria itu dalam masa santai dan tidak akan terlibat urusan pekerjaan. Apa targetnya sedang mencari inspirasi? Narjuna Rajasa 'kan seorang penulis handal. Tck, Vontae ingin fokus pada pengintaian, tetapi targetnya menumbuhkan banyak rasa penasaran.
Pembunuh bayaran berdarah dingin itu belum pernah merasa begini. Biasanya ia mampu menumpas mangsa dengan leha-leha saja. Hm, pantas saja klien Vontae menawarkan sejumlah bayaran yang tidak sedikit. Ah, apa pun itu, Vontae Kim tidak akan mengenal gagal. Demi ambisi membunuh ayah kandung bersama kenangan traumatis di otaknya, seorang Vontae Kim harus rela menerjang apa pun. Ia ingin hidup normal, bahagia tanpa diikuti kenangan kelam masa lalu. Vontae Kim, andai seseorang bisa menyampaikan, maka kau tidak harus menggebu dalam ambisi yang kotor. Memaafkan adalah jalan terbaik.
Hanya perandaian.
Tanpa sadar, Vontae telah sampai pada sebuah rumah sederhana yang kelihatan bersih dari luar. Target masuk ke dalam, Vontae tak punya pilihan lain selain ikut menyelinap. Tempat ini asing dan Vontae benar-benar tidak mengenal sejengkal unsurnya. Ia sedikit cemas. Dari luar, tidak ada penjagaan khusus layaknya tempat penting. Tetapi Vontae tidak boleh gegabah, ia masih belum mengetahui isi rumah tersebut.
Keberuntungan seolah berpihak pada Vontae. Ia menemukan celah untuk mengintip kondisi rumah. Dari balik dinding beranyam tipis yang telah usang dan koyak, Vontae bisa melihat dengan jelas bahwa di dalam sana Narjuna tengah mengajari beberapa anak kecil berusia di bawah sepuluh tahun untuk membuat jajanan. Mata Vontae terbelalak. Apa sesederhana ini? Untuk apa ia harus membunuh pria yang sama sekali tak pantas untuk dibunuh?
Genap seminggu ia mengintai Narjuna Rajasa dan tidak ada aktivitas mencurigakan yang target lakukan selain menebar kebaikan. Melalui kamera yang telah ia selipkan di area pribadi Narjuna Rajasa pun tidak ada unsur kejahatan yang pria paruh baya itu lakukan. Vontae tidak habis pikir, pria dengan kebaikan setinggi itu saja masih ada yang tidak menyukai. Dasar dunia!
Di bawah sinar rembulan yang dilingkupi gelap angkasa malam, Vontae dalam diam menyiapkan pistol berperedam suara. Pikirnya, sebentar lagi ia akan menemui kesempatan untuk melaksanakan misi. Namun entah mengapa dada pemuda itu serasa tercekat tatkala ia melihat Narjuna sedang bercerita hangat kepada anak-anak di sebuah kamar sederhana. Mereka bahagia dan penuh tawa meski berada di bawah naungan atap bangunan yang tak mewah.
Vontae berhenti bernapas sejenak, ia merasa tengah dilemparkan kasar pada masa kecilnya. Ia ingat jelas, pada suatu hari ia adalah satu dari beberapa anak tersebut yang asyik menebar tepung sementara ibu dan ayahnya serius membuat kue kering. Hari itu ia juga mendengar cerita dari ayah, tentang Kancil si rusa cerdik yang berkali-kali lolos dari maut akibat otak berliannya. Vontae ragu. Ia benar-benar berada dalam dilema besar. Semua ambisinya terasa tidak berarti.
Hatinya sakit, ia jatuh terduduk bersimpuh. Seorang pembunuh bayaran menangis tanpa suara. Vontae merengkuh dadanya yang sesak, menyadari sesuatu. Selama ini, ia hanya rindu akan suasana rumah yang biasanya. Tanpa tikai orang tua, lolongan ayah dan tangis pilu ibu. Ia rindu akan hari bahagia yang telah tenggelam ditumpuki beban masa depan.
Karir Vontae Kim sebagai pembunuh bayaran berdarah dingin bermuka datar telah usai, tetapi ia tetap tidak bisa menghapus trauma apapun yang melekat pada dirinya. Karena yang ia butuhkan bukan penghapusan, hanya balikan cinta dari masa lalu. Entah, Vontae tidak tahu lagi harus berbuat apa. "Ayah, ibu, Vontae merindukan kalian". Pemuda itu hanyut dalam tangis, lupa akan tujuan awal. Ia tidak peduli lagi jika setelah ini target akan memergokinya di sana. Ia menyesal, hanya itu. Ia telah mengorbankan banyak sekali nyawa pendosa maupun bukan, hanya demi ambisi kelirunya—buah dari rindu yang tak pernah terucap lagi tersampai.
Desir angin malam semakin nyaring, hawanya pun makin dingin. Namun Vontae belum juga bergerak untuk melakukan misinya. "Vontae Kim, ini sudah lewat dari pukul sembilan. Apa kau gila? Bangun dan buat target kita mati, Bodoh! Apa yang kau tangisi?! Jangan bertingkah konyol, ratusan juta dolarku akan lenyap!"
Tidak ada respon. "Vontae Kim!" bentak seseorang di seberang sana.
Selanjutnya, terdengar dua bunyi tembakan bersusulan. Target mati. Namun, Vontae Kim si pembunuh bayaran paling handal juga mati. Rupanya Vontae Kim lengah, menyepelekan grasak-grusuk di pepohonan belakang tadi. Bukan tingkah hewan liar, tetapi ulah rivalnya. Sang pelaku menyeringai puas, menanti cek bernilai ratusan juta dolar. Vontae Kim tertidur abadi diselimuti kabut dosa, sesal dan rindu yang tak pernah terobati.