1

31.6K 2.1K 32
                                    

Hari ini, adalah hari Sabtu. Hari terakhir para karyawan bekerja. Mereka cukup semangat saat harus menyelesaikan pekerjaan. Karena malam harinya, mereka bisa hang out, senang-senang dan refreshing.

Marisa Adriana, adalah salah satu pegawai kantor yang tak sabar menunggu malam Minggu. Karena di malam itu, dia bisa jalan-jalan bareng kawan kantornya. Dengan perasaan bebas tak perlu khawatir akan bangun kesiangan.

"Marisa? Apa pekerjaanmu sudah selesai?" Marisa yang sedang mengecek hasil pekerjaannya langsung mendongak, menatap bosnya.

"Sedikit lagi, Pak. Ada apa?" Risa balik bertanya pada bosnya yang sudah berusia lanjut itu. Walaupun sudah tua, tapi tubuhnya masih terlihat bugar.

"Jika sudah selesai, masuk ke ruangan saya. Ada yang harus saya bicarakan padamu," ucap bosnya yang bernama Hendra itu.

"Baik, Pak. Nanti saya datang setelah pekerjaan saya selesai," jawab Risa dengan hormat. Hendra mengangguk lalu melangkah kembali memasuki ruangannya. Sementara Risa, diam kebingungan di kursinya. Ada hal apa hingga Hendra memanggilnya? Biasanya, jika ada apapun, Hendra akan langsung mengatakannya tanpa perlu bicara berdua di ruangan tertutup.

Terlintas pemikiran buruk dalam benak Risa. Namun, Risa segera menepisnya. Dia sudah bekerja selama tiga tahun menjadi bawahan Hendra. Dan selama itu juga, Hendra tak pernah berbuat macam-macam padanya. Malahan, Hendra memperlakukan Risa seperti anaknya sendiri.

Tak mau banyak berpikir hingga menghabiskan waktu yang lama, Risa pun kembali fokus pada pekerjaannya.

***

Satu jam kemudian, Risa selesai dengan pekerjaannya. Seperti perintah Hendra sebelumnya, setelah pekerjaannya selesai, Risa tak langsung pulang. Dia masuk dulu ke ruangan Hendra. Penasaran juga, apa yang akan dikatakan bosnya itu.

"Duduk dulu, Ris," ucap Hendra. Kini, Risa duduk berhadapan dengan Hendra di sofa. Di hadapan mereka, ada teh hangat dan juga kue lidah kucing sebagai camilan.

"Ada apa ya, Pak?" Risa mulai bertanya, karena sangat penasaran. Ditambah, dia sudah sangat ingin pulang dan pergi hang out dengan teman-temannya.

"Ini terkait pekerjaanmu, Risa." Hendra menjawab dengan suaranya yang begitu rendah.

"Pekerjaan saya, Pak? Apa saya melakukan kesalahan?" Risa bertanya panik. Takut-takut kalau saja dia tiba-tiba dipecat.

"Jangan panik dan takut. Kamu tidak melakukan kesalahan apa-apa kok. Hanya saja, mungkin kamu akan pindah ke kantor pusat di Jakarta." Hendra langsung menjelaskan. Gemas sendiri melihat Risa yang panik.

"Loh, kenapa memangnya, Pak?"

"Jadi, kemarin dari pihak kantor pusat telepon. Bertanya ke setiap kepala cabang perihal sekretaris. Kantor pusat butuh sekretaris untuk direktur utama. Dan harus yang kinerjanya bagus. Ke belakang-belakang, sekretarisnya cuma modal tampang dan pintar saja katanya. Gak ada yang bisa memuaskan direktur utamanya dalam pekerjaan."

"Saya pikir, kamu cocok. Ya, jabatanmu juga jadi naik loh, Ris. Kamu jadi sekretaris direktur utama perusahaan. Gajimu juga tambah besar."

Risa terdiam sesaat mendengar itu. Senang, karena Hendra percaya dia bisa jadi sekretaris yang benar untuk direktur utama. Namun mendengar kata Jakarta, membuat Risa sedikit ragu. Ya, karena dia mempunyai suatu kenangan yang tak ingin dia ingat di Jakarta.

"Kepala cabang yang lain juga bilang kalau mereka sering gonta-ganti sekretaris. Ada yang kinerjanya bagus, langsung menikah dan dilarang kerja sama suaminya. Ada yang awet kerja, ya gitu. Kurang giat dan sering malas-malasan." Hendra menyambung penjelasannya.

"Bagaimana? Jika kamu mau, saya bisa hubungi kantor pusat kalau kamu sanggup. Kalau kamu gak mau, ya gak apa-apa. Hanya saja, sayang kalau kamu tolak, Ris," ucap Hendra lagi. Risa masih terdiam dan berpikir. Menjadi sekretaris direktur utama dengan gaji yang besar, siapa yang tidak mau? Tapi, Risa juga harus banyak berpikir dulu. Memikirkan resiko yang mungkin terjadi.

"Bagaimana? Saya butuh keputusan kamu hari ini, Ris. Biar bisa konfirmasi ke kantor pusat."

Risa menunduk dan menatap lantai marmer yang dia pijak. Kalau menolak, maka dia sudah menyia-nyiakan kesempatan yang jarang terjadi.

"Baik, Pak. Saya mau," putus Risa pada akhirnya. Hendra tersenyum lega mendengarnya.

"Baguslah. Malam ini, kamu bersiap. Besok berangkat ke Jakarta. Hari Senin kamu mulai bekerja," ucap Hendra memberi instruksi.

"Ini, alamat apartemen yang akan kamu tempati. Jadi sekretaris direktur utama memang disediakan tempat tinggal oleh perusahaan. Kamu jadi bisa menghemat uang karena tak perlu bayar sewa." Hendra tertawa pelan, bercanda. Risa yang mendengar itu ikut tertawa.

Tangan Risa terulur, mengambil selembar kertas dari tangan Hendra. Membaca nama gedung dan alamat yang tertulis di sana. Risa sedikit membelalak kaget. Gedung apartemen yang mewah.

"Sekarang, pulanglah. Ucapkan selamat tinggal pada semua rekan kerjamu di sini," ucap Hendra. Risa mengangguk. Dia bangkit berdiri dan berpamitan. Setelah berpamitan, Risa pun pergi meninggalkan perusahaan.

***

Di sebuah kediaman mewah di kota Jakarta, ada sebuah keluarga yang sedang melaksanakan makan malam bersama. Dua pasang suami istri, dan seorang pria dewasa yang masih melajang. Anak bungsu keluarga Pratama.

"Ndra, Papa dengar, kamu memecat sekretarismu lagi." Irwan Pratama, sang kepala keluarga berbicara.

"Iya."

"Apalagi alasannya? Dalam satu tahun ini sudah banyak kamu memecat sekretarismu seenak jidat," tegur Irwan gemas.

"Pa, mereka tak bisa bekerja segiat dan sebaik Kinan. Mereka cuma bisa pamer wajah saja. Kinerjanya nol," jawab Andra, anak bungsu keluarga Pratama. Kinan, adalah salah satu sekretaris yang benar-benar bagur kinerjanya. Sayang, setahun yang lalu dia menikah dan berhenti bekerja.

"Itu benar, Pa. Beberapa kali aku ke sana mereka selalu memasang wajah menggoda. Wuih, benar-benar wanita salah tempat." Yudha Pratama, sang anak sulung ikut berbicara. Dan ucapannya mengundang delikan tajam dari sang istri yang tengah mengandung.

"Jangan cemburu gitu dong. Aku juga tidak suka. Makanya, pasti Andra juga tak nyaman punya sekretaris yang gak bisa profesional," ucap Yudha lagi. Istri Yudha, Briana langsung memalingkan wajah dengan raut cemberut.

"Benar itu, Ndra?" tanya Sukma, ibu sepasang kakak adik itu.

"Apa yang Kak Yudha katakan benar. Makanya aku memecat mereka semua," jawab Andra.

"Kalau begitu, biar Tiara aja yang jadi sekretarismu, Ndra." Sukma memberi usul. Yudha dan Andra sama-sama melotot mendengar itu.

"Tiara? Dia itu seorang model, Ma. Mana bisa dia bekerja jadi sekretaris direktur utama," protes Yudha. Walaupun bukan dia yang jadi direktur utama, dia ikut tak setuju.

"Ya, kan Andra bisa mengajarinya. Tiara itu kan wanita yang lugu dan pintar. Pasti bisa bekerja dengan baik," ucap Sukma lagi.

"Sudahlah. Jangan terus berdebat," Irwan menengahi perdebatan istri dan anak-anaknya.

"Jadi, nanti hari Senin bagaimana, Ndra?" tanya Irwan.

"Kepala cabang di Surabaya bilang kalau sekretarisnya bisa diandalkan. Dia sudah menyuruh sekretarisnya untuk pindah ke sini dan menjadi sekretarisku," jawab Andra.

"Bisa di percaya?" tanya Yudha menyelidik.

"Dia bilang, sekretarisnya bisa profesional dan kinerjanya bagus. Ya, aku harap tidak mengecewakan," jawab Andra.

"Semoga saja benar. Agar kamu tak gonta-ganti sekretaris lagi," celetuk Sukma. Mereka semua mengangguk setuju.

_______________________________________

Hai hai...
Bagaimana???
Jangan lupa vote dan komennya ya...

Ex SpouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang