Dream Catcher // What: Lucid Dream

30 1 0
                                    

Malam datang, bulan menyapa dan suara hewan nocturnal beradu dengan gemerisik dedaunan. Malam semakin larut, kantuk menguasai tubuh tapi mata seakan enggan untuk terpejam. Aku menatap langit-langit kamar yang mendapatkan sinar bulan melalui celah jendela yang tertutupi tirai tipis. Menghela napas untuk kesekian kalinya, aku memaksakan diriku untuk tertidur lagi. Namun, usaha itu gagal.

Menatap langit kamar kembali, tanganku bergerak ke atas. Tersenyum kecil ketika mendapati sinar bulan melekat di kulit tangan. Meregangkan jemari-jemari seakan ingin menyentuh lampu di atas, tiba-tiba aku merasa pening di kepala. Pandanganku goyah. Aku berusaha memfokuskan pandanganku pada telapak tangan. Berhasil. Sayangnya, tak lama setelah itu, pandanganku menghitam. Satu hal yang aku ketahui adalah sebuah fakta bahwa aku dipaksa untuk tertidur oleh sesuatu yang tidak kuketahui.

Sekarang, dadaku terasa ditekan, sesuatu mencekik leherku. Indra penciumanku tidak bisa bekerja optimal. Aku kesulitan untuk bernapas.

Seseorang... Tolong aku!

Aku terbangun dari tidur dan mendapati diriku sedang menatap telapak tangan. Napasku terengah-engah, keringat membanjiri pelipis dan suhu tubuhku yang memanas. Ini bukan lah kondisi yang bagus, Yoohyeon. Di tambah lagi, aku merasa deja vu. Aku beranjak lalu bersandar pada tembok sambil memasok oksigen rakus, membuatku sesekali terbatuk.

Setelah merasa tenang, aku turun dari ranjang dan menghampiri jendela. Membuka tirai perlahan, mataku menangkap bulan purnama yang berwarna aneh. Merah. Bulan purnama saat ini berwarna merah. Aku beralih bergerak membuka pintu yang menghubungkan balkon. Aku berdiri di balkon dengan niat melihat bulan itu secara jelas. Tapi, alih-alih melihat bulan, penglihatanku seakan ditarik pada satu sosok yang sedang berdiri di bawah sana. Sosok yang menatapku dalam. Mataku seakan terkunci, aku tidak bisa mengalihkannya barang sedetik pun. Napasku tercekat saat sosok itu menyeringai. Jantungku bertalu hebat. Rasa ngeri menekan pikiran lebih dalam ketika raut penuh makna itu mengirim teror absolut ke sistem saraf pusat.

Suara serak sosok itu sukses membuatku menggigil, "Selamat datang, Nona." aku bergerak mundur, ingin pergi dari balkon tapi nihil. Tubuhku membeku di tempat. Sosok itu menggenggam sesuatu yang tidak aku ketahui. Tapi, ketika dia menggerakkan tangannya ke samping. Aku mengetahui apa yang ia genggam. Sosok itu menggenggam pasir dan ia sedang menjatuhkan pasir itu dengan perlahan. Bersamaan hal itu, tengkukku meremang seketika. Terdengar desisan sesosok makhluk lain di belakangku. Tanganku mengepal hingga buku-buku jari memutih. Aku merasa terkepung saat ini. Di depan, sosok gadis bertudung merah tengah menyeringai puas. Di belakang, sosok berupa asap yang tidak ingin kulihat sedang mencekikku pelan.  Aku ingin menangis, menjerit dan kabur. Namun, tubuhku terkunci oleh sosok itu. Aku tidak memiliki kekuasaan atas tubuhku sendiri.

Cekikan pada leherku menguat seiring pasir yang dijatuhkan sosok bertudung merah itu semakin sedikit. Ketika sosok itu memperlihatkan telapak tangannya yang sudah tidak menggenggam pasir lagi atau dengan kata lain semua pasir telah dijatuhkan seluruhnya, sosok berbentuk asap di belakangku mencekikku dengan kekuatan lebih bersama teriakan yang memekakkan telinga.

Gelap, hampa dan sunyi adalah deskripsi tentang keadaan di sekitar ketika aku terbangun. Aku memegangi leherku yang perih. Aku berdiri, meniti langkah hati-hati sebab takut terjerembab. Aku merasa dipermainkan oleh sesuatu yang tidak diketahui. Setelah mengalami insomnia lalu bertemu makhluk mengerikan dan kini aku tersesat di tempat antah-berantah. Aku tahu perjalanan mimpi buruk ini masih panjang.

Suara nyanyian terdengar. Aku mencari sumber suara itu tapi tak dapat menemukannya. Lama-kelamaan suara nyanyian itu mengeras diikuti suara tawa memilukan. Aku dibuat pusing olehnya. Di saat itu lah, aku menemukan celah terang di ujung jalan. Aku berlari menuju celah itu, segera memasukinya. Cahaya terang membuatku menyipitkan mata sebentar. Setelahnya, aku lagi-lagi berada di tempat yang tidak kuketahui letaknya. Aku hanya menemukan diriku berada di depan bangunan tua. Aku berjalan penuh hati-hati mengelilingi bangunan yang mirip rumah penduduk Belanda di film dokumenter yang pernah kutonton. Aku memutuskan untuk memasuki rumah itu meski aku tahu bahwa diriku tidak akan menemukan hal baik di sana.

K-Pop Song fictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang