Bora mengambil kamera analog dan bersiap memotret. Setelah ia menekan tombol, cahaya yang berasal dari blitz kamera menyilaukan pandanganku. Sangat silau hingga aku reflek memejamkan mata. Ketika membuka kembali, aku menemukan diriku berada di sebuah halaman luas. Tunggu... Aku merasa tak asing dengan bangunan di depanku. Oh, here we go again. Aku teringat sekarang. Saat mimpi buruk beberapa pekan lalu, aku sempat masuk ke dalam bangunan misterius ini dan menemukan diriku lain yang tampak mengerikan.
Suara pekikan sosok gadis mengalihkan atensiku pada bangunan. Aku melangkah perlahan dan menemukan sekelompok gadis tengah bermain kejar-kejaran. Entah aku tak mengetahui mereka memang sedang bermain atau melakukan hal aneh, mengingat bahwa ingatan ini muncul karena suatu hal aneh juga.
Di sana pula, aku menemukan diriku.
Bertepatan itu, perasaan familiar mengetuk hatiku. Sungguh, aku merasa pernah berada di sini. Bukan di mimpi melainkan di kehidupan nyata. Seragam yang para gadis kenakan terasa tak asing sekaligus membuatku menelan rasa ngeri yang belum kuketahui alasannya. Perutku seperti teraduk dan rasa mual mulai menghinggapi. Aku terjatuh, menunduk dan mencengkeram rumput untuk melampiaskan rasa perih. Tidak, Yoohyeon. Kamu harus fokus mengikuti memori acak ini. Tatkala aku mendongak, aku terperanjat kaget melihat gadis-gadis itu mengelilingiku sambil saling menggenggam tangan membentuk formasi lingkaran. Mereka mendongak, menatap langit. Mereka menyebutkan kalimat-kalimat yang tak kumengerti hingga langit yang cerah berubah menjadi kelabu, menimbulkan suasana mencekam. Tapi suasana itu tak berlangsung lama karena beberapa menit kemudian langit berubah cerah kembali.Salah satu gadis bersuara memecahkan keheningan. Siyeon bertanya, "Setelah ini, kita boleh bermain lagi 'kan?" gadis lainnya mengangguk memberi jawaban iya. Mereka pun berpencar, entah ke mana. Aku juga merasa bingung. Aku harus pergi atau mengikuti siapa? Aku berdiri, menepuk rok yang rupanya tidak kotor. Aku melupakan satu hal bahwa aku berada di dalam memori bukan di dunia nyata. Jadi, aku tidak perlu khawatir kotor terkena tanah.
Aku berjalan menuruti insting. Tanpa sadar aku berada di halaman belakang bangunan. Beberapa meter ke belakang dari bangunan terdapat hutan yang memiliki dua lorong dengan jalan setapak. Aku tentu saja enggan masuk ke dalam hutan. Lagi pula, aku bertemu Kak Minji di sini, aku akan memata-matainya. Sosok itu berada tidak terlalu jauh dari tempat aku berdiri. Aku melihat setiap pergerakan yang ia lakukan. Kak Minji terlihat fokus pada sesuatu di dalam semak. Tangannya memegang toples bening tanpa penutup. Gerakannya penuh hati-hati dan mengintimidasi. Setelah itu, ia bergerak cepat masuk ke dalam semak. Aku berlari ke arahnya, penasaran apa yang ia lakukan. Tidak berselang beberapa menit, Kak Minji berdiri dengan mengangkat toples bening tertutup yang berisi seekor laba-laba. Senyum merekah di wajahnya. Dia berjalan riang masuk ke dalam bangunan mirip asrama dari pintu belakang. Aku terus mengikutinya, masuk lebih dalam dan bergumam takjub. Bangunan ini luas sekali dan setiap detilnya membuatku tak hentinya berdecak kagum saat melihatnya.
Kak Minji masuk ke dalam ruangan seperti galeri yang menyimpan banyak sekali pernak-pernik. Dia menaruh toplesnya di meja. Senyumannya tak kunjung luntur, Kak Minji justru kini berjongkok dan menatap lamat laba-laba yang ia tangkap itu. Aku heran kepada dirinya. Apa yang membuat laba-laba itu sangat menyenangkan untuk dilihat? Bukankah hewan itu mengerikan? Ah, sialan. Aku jadi mengingat Nyonya Kim yang berubah wujud. Aku menggeleng-gelengkan kepala, menghapus bayang ngeri itu.
Ketika aku sibuk dengan pikiranku, sosok diriku yang lain datang menghampiri Kak Minji. Aku mengerutkan dahi tak mengerti ketika diriku yang lain itu menepuk bahu Kak Minji dan berbisik-bisik seolah ada sesuatu yang menunggu Kakakku hingga dia meninggalkan laba-laba kesayangannya. Aku semakin dibuat tak mengerti lagi ketika diriku yang lain mengambil kaca pembesar yang ia sembunyikan di balik tubuhnya. Dia menggerakan tangannya yang memegang kaca pembesar tepat di atas toples milik Kak Minji. Oh, gila. Sinting. Aku merasa mual lagi tiba-tiba. Gadis yang berwujud diriku itu sedang mencoba membakar laba-laba lewat kaca pembesar yang menjadi perantara antara panas matahari dan hewan malang itu. Aku bergidik ngeri ketika gadis itu tersenyum puas bahkan tertawa kecil saat asap mengepul di dalam toples. Sial. Aku tidak bisa menyingkirkannya dan menolong laba-laba itu. Aku berdecak frustasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
K-Pop Song fiction
FanfictionIrama derasnya hujan yang tak kalah keras dengan suara musik yang berasal dari speaker ponsel. Ya, disaat itulah sebuah lampu bercahaya kuning menyembul dari kepala seorang gadis remaja. Pena dan buku diambil sesegera mungkin lalu menorehkan segala...