1. When You Love Someone

18 7 2
                                    

Huft, jadi begini ya cara memulai cerita-cerita yang biasa kubaca. Baiklah, baiklah. Kita mulai saja dengan basa-basi dan perkenalan yang hambar.

Namaku Nora, Shin Nora. Sayang sekali aku bukan Nora, kucing yang didamba-dambakan Jisungㅡteman sekelasku yang seperti tiang itu. Aku menduduki tahun kedua di Sekolah Menengah Atas di Seoul. Keluargaku tidak baik-baik saja, tapi sekarang sudah baik-baik saja. Uhm.. bagaimana ya menjelaskannya.

Baik... tapi tidak kembali seperti semula. Bunda dengan Papa dan Ayah dengan Mom. Sekarang sih aku tinggal dengan Bunda dan Papa. Dan bisa dikatakan... uhm.. katakan saja kami baik-baik saja.

Ok, apa yang terjadi dalam keluargaku itu tidak usah dibicarakan lagi, karena lumayan rumit untuk dijelaskan.

Apa lagi yang harus kujelaskan tentang diriku? Tinggi? Aku 150cm alias hanya seukuran dengan ibu jari Park Jisungㅡmaaf aku menyebutnya lagi, dia satu-satunya temanku. Ah, teman! Ok, dia bukan satu-satunya, sih. Aku masih punya Heejin dan Yuna. Tapi, Jisung itu yang paling tau aku karena dia sudah menjadi teman sejak aku kecil. Karena rumahnya ada di seberang rumahku, sih.

"Noraaa!!!" Teriak Mark di seberang halte bis, tempatku menunggu bis pagi-pagi.

Ah, aku lupa memperkenalkannya. Dia Mark Lee. Jangan kaget tapi kami sudah menjadi sepasang kekasih selama hampir satu tahun. Ceritanya panjang dan aku nggak mau kalau harus menceritakannya. Karena itu ada hubungannya dengan mantannya. Ah, aku benci kata mantan.

Mark menoleh ke kanan dan kiri di bagian zebracross saat lampu lalu lintas berwarna merah. Ia langsung berlari kecil menghampiriku di halte.

"Hey, pagi banget. Tumben?" Tanyaku. Mark tersenyum singkat sambil menggenggam bukunya.

"Aku semalam nggak bisa tidur, Ra. Aku takut kesiangan, jadi aku udah siap-siap ke sekolah dari jam 4 pagi. Yah, taunya masih lebih pagi kamu," respon Mark. Ah, pantas saja matanya itu.. ugh bagaimana ya menjelaskannya?

Mengerikan. Bagaimana bisa dia tahan dengan mata merah dan berkantung itu. Sudah dipastikan ia akan tertidur pulas di sekolah.

Baju seragam musim dinginnya membalut tubuhnya sampai menutupi lengan. Ia terlihat lebih lucu kalau memakai seragam musim dingin dibanding seragam musim panas.

"Loh? Terus gimana kalo kamu ketiduran pas pelajaran?" Tanyaku lagi tidak ingin memutus obrolan.

"Ya, minta tolong Jeno bangunin. Lagian, hari ini juga nggak ada pelajaran yang penting-penting banget. BP apalagi, aku bosen banget harus dengerin Son Ssaem berceloteh tentang pentingnya menjaga kesehatan mental lah, tentang pentingnya menjauhi narkoba lah, dan masih banyak lagi. Aku lelah setiap minggu dijejali hal yang sama!" Rutuk Mark sambil menggaruk-garuk kepalanya yang memang tidak gatal sepertinya. Aku cuma terkekeh geli.

Benar, Son Ssaem senang sekali mengangkat topik-topik penting untuk remaja seusia kami seperti tentang pergaulan, bullying, mental health, minat bakat, dan masih banyak lagi. Tapi, ya memang sih pasti ada orang-orang seperti Mark ini yang tidak begitu suka hal itu.

"Ya, mau gimana lagi. Memang itu pekerjaanya. Masa dia mau ngajarin Matemaㅡ Ah! Bisnya!" Ucapku terpotong ketika bis yang kami tunggu sudah sampai di depan halte.

"Ayo!"

Mark mendahuluiku. Saat pintu bis terbuka, ia menjulurkan tangannya agar aku mudah menaiki tangganya. Yah, walau dia kerepotan dengan buku di tangan kirinya. Aku cepat-cepat membalas uluran tangan Mark dan menaiki bis.

"Pagi, Pak!" Sapaku sambil tersenyum pada supir bis yang memakai seragamnya. Pria paruh baya itu balas tersenyum kepadaku.

Mark yang masih menggenggam tanganku menuntun ke bagian kursi agak belakang. Ia menyuruhku duduk di bagian samping kaca tanpa berkata apapun. Ia tahu tempat favoritku.

Delicate [Mark Lee]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang