Aku perlahan mengerjapkan mataku dan mengernyit begitu merasakan cahaya lampu merangsek masuk ke pandanganku. Aku mencoba menggerakkan jari-jariku yang terasa begitu kaku, lalu coba membuka mataku lagi setelah tadi menutupnya kembali. Bau obat-obatan yang menusuk itu memasuki indra penciumanku, setelahnya aku merasa kembali lemas saat tahu aku berada di rumah sakit. Aku menoleh ke kanan dan kiri, sepertinya tidak ada siapapun di ruangan ini selain aku.
Aku baru saja ingin memejamkan mataku lagi karena pening tiba-tiba mendera seisi kepalaku, tapi suara pintu yang terbuka membuatku menahannya. Semoga saja itu hanya dokter.
"Ra?"
Harapanku pupus ketika mendengar suara yang kukenal, ia bukan dokter. Itu adalah Mark. Bukannya aku tidak mengharapkan dia datang, tapi pasti setelah ini akan banyak pertanyaan yang dilontarkan. Entah karena aku pingsan, atau karena Baejin.
Omong-omong, aku mengingat dengan jelas kok apa yang terakhir kali terjadi sebelum aku pingsan, tapi aku kaget mengetahui akan bangun di rumah sakit.
"Jangan bergerak, aku panggil dokter dulu," ucap Mark. Ia lalu berjalan ke sebelahku dan memencet tombol di samping ranjang yang memang dimaksudkan untuk memanggil dokter. Aku melirik Mark yang wajahnya kalut itu. Tangannya bersedekap sambil menatap tanganku yang diinfus.
"Jangan ngomong dulu, aku nggak mau kamu kenapa-napa lagi," ucapnya datar seperti tahu aku kan bertanya sesuatu ke dia. Aku penasaran bagaimana aku bisa berakhir di rumah sakit, tentang keadaan Baejin, lalu bagaimana Jisung, Heejin, dan Yuna?
Pintu ruang rawatku kembali terbuka, kali ini dokter yang masuk dengan dua perawat di belakangnya. Satu perawat membawa papan jalan dan pulpen yang kupercaya untuk mencatat perkembangan keadaanku, satunya lagi mendorong trolley yang berisikan cairan dan suntikan. Aku yakin aku akan tinggal lebih lama di sini, setidaknya sampai tubuhku bisa berfungsi dengan baik lagi.
"Nora, ya? Gimana? Ada perasaan pusing atau nggak?" tanya dokternya membuatku mengangguk pelan.
"Ini wajar, ya. Karena kamu baru aja bangun setelah pingsan beberapa jam. Dari yang sudah saya pantau sih, kamu udah pingsan selama tiga jam, itu nggak dihitung dari saat kamu baru pingsan. Kata temen-temen kamu, kamu pingsan di sekolah, gitu?" tanya dokternya lagi, aku kali ini kembali mengangguk. Fakta yang mengejutkan begitu tahu aku pingsan tiga jam.
"Baik, saya cek suhu dulu, ya. Takutnya kamu ada gejala tipes," ucap dokternya. Perawat yang tadi mendorong trolley memberikan termometer. Lalu, dokter menempelkan termometer itu di telingaku, selanjutnya ia melihat angka yang tertera di termometer.
"Kamu sepertinya shock aja, nak. Saya nggak bisa diagnosa asal-asalan, tapi bisa jadi kamu ada trauma. Atau mungkin kamu memang trauma atas hal-hal yang seperti itu, jadi kamu nggak sadarkan diri. Mungkin nanti bisa dicek lagi,"
"Suhunya normal, kamu bisa pulang besok. Untuk malam ini, kamu dirawat dulu karena tubuh kamu masih rentan untuk pingsan lagi, besok siang ada Psikiater yang ngecek kamu, karena kamu pingsan setelah ngeliat teman kamu melakukan hal itu, mau ya?" tanya dokter membuat tubuhku yang rileks langsung menegang. Aku langsung menatap Mark dengan tatapan memohon, aku tidak mau diperiksa Psikiater, itu menakutkan.
Mark berdeham pelan.
"Dok, baiknya saya bicarakan dulu dengan orangtua Nora. Saya akan minta izin dulu pada orangtuanya, nanti akan saya kabari lagi di pemeriksaan pagi," interupsi Mark yang membuatku tenang lagi. Dokternya menoleh dan tersenyum kepada Mark.
"Boleh," ucap dokternya. Eh, tidak ada yang menyinggung tentang biaya administrasi? Kukira dokternya akan membahas itu karena kami pasti datang tanpa wali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delicate [Mark Lee]
FanfictionMark yang harusnya menjadi kekuatanku di saat-saat terburukku perlahan memudar. Entah mengapa ia justru malah menjadi kekuatan bagi seorang perempuan di masa lalunya. Dan aku cuma bisa terbaring menyedihkan di sini, merelakan kepergiannya tanpa mem...