Adnan melihat ke arahku, aku hanya tersenyum tipis. Aku memutuskan untuk berpisah di persimpangan bersama Zachery. Rasanya sangat canggung. Aku memilih untuk beranjak ke aula, sedangkan Zachery ke ruang osis. Hari yang menyebalkan.
Ruang aula begitu ramai dan padat. Melihag senyum adik - adik ini membuat hari ku sedikit berwarna.
"Ra, Hery mana?"
Adhila menghampiriku dengan mic dan jadwal yang digenggamnya.
"Ngga tau, Dhil. Ilya mana ? Aku mau nanyain soal pengeluaran."
Adhila tak berbicara ia hanya menunjuk satu bangku didepan, pasti Ilya berada dibawahnya dengan kacamata, buku dan uang yang berserakan. Banyak sekali temen - teman yang menyapa ku. Itu membuat aku sedikit lupa apa yang terjadi hari ini.
Aku bertanya kepada Ilya tentang pengeluaran acara ini, ia menjelaskan dengan detail segalanya. Aku hanya mengangguk dan meninggalkannya lagi. Aku hendak menghampiri Yusron yang berada di depan pintu.
"Woy, bu sini"
Aku tersenyum ketika Yusron meminta ku untuk menghampirinya. Dia hanya bertanya tentang kabarku dan kabar Hery. Aku tidak mengerti kenapa semua orang selalu menanyakan Hery kepadaku. Aku kan bukan siapa - siapanya. Kenapa tidak bertanya saja pada Imel. Aku kesal.
"Aku baik, Hery lagi seneng banget kan jadian sama Imel."
Yusron meng-oh kan saja. Ia memilih tidak membahas itu. Beberapa detik kemudian, aku larut dalam obrolan berdama Yusron dan beberapa rekan osis ku yang lain. Tiba - tiba Adhila menarik tanganku, aku kaget.
"Dicariin Hery."
Aku tak menjawabnya. Di pikiranku pasti ini soal osis. Sampai di ruang osis aku mendapati Hery tengah duduk di ruang "senior". Ia melihatku, lalu melihat ke arah sepatuku yang lupa aku lepaskan. Aku berjalan mundur keluar, hanya untuk melepaskan sepatu. Ini pasti soal laporan yang lupa aku berikan pada dia.
"Kamu kenapa?"
Seketika aku berubah menjadi keong, aku hanya menjawab "hah" berulang kali. Hery tak berekspresi sedikitpun. Menambah kebingunganku saja. Ingin rasanya aku tonjok muka dia. Gemes.
"Semenjak aku ngomong kalo aku jadian sama Imel, kok jadi murung?"
"Hah? Gak juga."
Usahaku kali ini adalah memalingkan pandangan. Aku duduk disebrang Hery dengan memeluk lutut.
"Kamu tau, aku jadian sama dia karena kasian, kan?"
"Gak tau dan ga mau tau sih. Kan bukan urusan aku."
Hery memutar bola matanya.
"Cih."
Aku menatap lurus ke jendela.
"Kenapa ya manggil aku? Ada yang penting?"
Hery kembali menatapku. Ia tak bersuara sedikitpun. Jantungku rasanya ingin copot sekali saat itu. Aku memilih beranjak dari duduk ku, lalu meninggalkan Hery sendirian di ruang osis. Kenapa Hery selalu mempermainkan perasaan ku? Kadang, seolah - olah dia suka sama aku. Tapi kadang juga dia mengabaikan aku kaya aku ini bukan siapa - siapanya dia. ¾ cowo emang kaya gitu ya, berengsek.
Bel istirahat berbunyi, aku memutuskan untuk pergi ke kelas ku. Kelasku tidak terlalu jauh dari area aula. Aku berjalan sendiri dengan langkah lambat tentu saja aku melamun juga. Sampai di kelas, aku memilih tempat duduk. Aku sendiri. Karena dikelas temanku hanya Hery dan Yusron. Mereka jelas bakalan satu bangku. Aku memilih bangku yang agak jauh dari bangku mereka berdua. Rasanya bakalan bener - bener canggung. Kenapa aku harus bersikap kaya tadi ke Hery? Kan harusnya biasa - biasa saja. Selalu begini, menyesal dengan kelakuan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Patience
Romanceketika keadaan yang menyatukan kita dalam ikatan janji suci, apa yang harus kita lakukan?