(4)

10 5 2
                                    

              'Aku tak bohong. Dan tak bisa menyangkal. Kalau setiap yang aku temui itu sangat berharga.'
-Ardha Bumi Arseta-

       Setelah pertemuan singkatnya dengan Langit, Bumi merasa ada sesuatu yang membuat ia, bergetar. Entah pikiran atau hatinya. Ia merasakan sesuatu yang aneh dirinya. Seperti menemukan hal baru? B

Semangatnya kembali muncul setiap membayangkan wajah cantik dan ramah Langit. "Hei! Bisakah aku membeli sentermu?" Teriakan seorang pria berhasil membuyarkan lamunan Bumi. "Ten-tentu. Mau beli berapa?" Jawab Bumi.
"Sebenarnya aku tak membutuhkannya. Tapi aku melihat wajahmu seperti itu sepertinya aku... Err... Iba?" Ejek pria tersebut. Bumi mengeraskan rahangnya. Emosinya memuncak. "Wow wow.. santai man.. niat ku baik kan? Aku ingin membantu mu." Tukas pria tersebut.

"Dengar kan ini baik-baik tuan. Saya, berdagang karena memang ini pekerjaan saya. Bukan untuk DIKASIHANI." Ucap Bumi dengan sedikit penekanan diakhir. Bumi bukanlah tipe orang lemah yang hanya berharap pada bantuin. Justru ia lebih senang, kalau ia hidup dengan hasil kerja keras nya.

"Cih.. hanya pedagang saja, gayanya selangit." Pria itu berdecih pelan dengan tatapan meremehkan. Ia melemparkan beberapa uang receh kehadapan Bumi kemudian berlalu pergi. "TERIMALAH UANG ITU! AKU IKHLAS TENANG SAJA! AKU TAHU KAU BUTUH UANG!" teriak pria itu saat sudah berjalan sedikit jauh.

Bumi hanya bisa mendengus ia mengambili uang-uang yang berhambur dijalanan. Ia kumpulkan, kemudian ia masukkan kedalam kotak amal terdekat. 'manusia seperti itu apa tak punya otak?' batin Bumi.

Ia berusaha menetralkan emosinya. Ia harus kembali berjualan agar setidaknya hari ini ia dapat lauk yang cukup untuk dimakan.





Langit kali ini benar-benar jenuh dengan materi kuliah yang dibawakan dosennya. Ia sedang tak tertarik untuk belajar. Pikirannya sedang tak bisa diajak kompromi.
"Pak, saya izin ketoilet!" Seru Langit sembari mengangkat tangan kanannya. Dosennya hanya mengangguk dan mempersilahkan Langit keluar.

Sebenarnya tujuan langit keluar bukan untuk ke toilet. Tapi untuk merilekskan sejenak otaknya. Ia berjalan menelusuri koridor kampusnya sesekali menendang daun yang berjatuhan dilantai.

"Hai Langit!" Seseorang memanggil nya dari belakang membuat ia sontak menoleh. Langit memutar bola matanya malas saat melihat siapa yang memanggilnya. "Ada apa?" Tanya Langit datar. "Tak apa, hanya menyapa. Kau bukannya ada kelas?" Tanya orang tersebut.

"Lalu?" Jawab Langit singkat. "Harusnya kau dikelasmu sekarang. Bukan berkeliaran tak jelas disini. Masuklah. Jam pulang nanti, tunggu aku diparkiran." Ucap orang tersebut.

"Sudah berapa kali ku katakan, kalau aku tak mau pulang bersamamu Ganendra. Berhentilah mengajakku terus. Karena akan selalu kutolak" Jawab Langit.

Ganendra. Mahasiswa berprestasi dengan segudang prestasi dan berlimang harta. Wajah rupawan, juga asal-usul keluarga yang baik. Tapi Langit tak pernah menyukainya karena sifat angkuh dan liciknya.

"Ayolah... Kenapa kau selalu menolak? Apa yang kurang dariku? Bahkan banyak sekali yang menginginkan pulang bersama ku. Tapi kenapa kau menolaknya?" Tanya Ganendra tak percaya.

"Kalau begitu, ajak saja perempuan yang ingin pulang bersamamu. Mudah kan? Sudah aku ingin kembali kekelas." Ucap Langit kemudian berjalan pergi meninggalkan Ganendra yang masih terpaku. "Arrrgh! Ada apa dengan wanita itu?" Ia bermonolog sendiri.














Votenya boleh lah.. 💞
Makasih

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BumiLangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang