(1)

21 6 0
                                    

Malam mulai menggatikan senja yang telah lelah memperlihatkan cahaya indahnya. Jangkrik pun telah menggantikan posisi burung yang telas usai melantun.
Seluruh dunia sepi menikmati tenangnya malam yang datang.
Lain halnya dengan seorang pria mengenakan kaus dan celana bahan seadanya serta kaki tanpa terbalut alas tengah berjalan menjajakan dagangannya berharap habis. Walau ia sendiri pun tak yakin akan habis.
Bumi. Pria itu adalah bumi.
Ia termangu disudut jalan memandangi dirinya yang terpantul lewat jendela sebuah toko. Sejenak ia mengambil nafas berat kemudian kembali melihat kearah jendela.
"Mas, senternya masih ada?" Suara lembut seorang wanita menghamburkan pikiran Bumi. Ia segera berbalik dan menatap seorang wanita paruh baya dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya yang mulai keriput.
"Masih, Bu.. mau beli?" Seketika nafas Bumi menggebu gebu. "Saya mau satu mas. Berapa?" Wanita tersebut menyerahkan satu lembar uang dua puluh ribu. "Maaf Bu, harga senternya hanya 15 ribu. Sebentar saya Carikan kembaliannya." Tukas Bumi sopan. "Tidak usah ambil saja semuanya untukmu. Ibu pergi dulu ya" tanpa menunggu jawaban dari Bumi, wanita tersebut telah pergi meninggalkan bumi.
Setelah kepergiannya, Bumi memutuskan untuk pulang dengan hasilnya hari ini.





Tengah malam tiba. Pukul dua belas malam lebih tepatnya. Namun Bumi masih belum bisa memejamkan matanya. Pikiran tak bisa diajak untuk istirahat sejenak dari dunia.
"Tok.. tok..tok.." suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Bumi.
"Masuklah" jawabnya tak bersemangat. Munculah seorang pria yang jauh lebih tua usianya dari Bumi. Pria tersebut adalah Pak Dede. Paman Bumi. Pria yang dengan tangan terbuka menerima Bumi setelah kepergiannya dari rumah.
"Apa kau mengalami insomnia? Setiap malam kau sulit sekali untuk tidur." Seru pria itu sembari duduk disamping kasur Bumi. "Entahlah... Mataku tak bisa tertutup. Pikiran ku juga berat." Jawab Bumi lesu. "Maafkan aku tak bisa membiayai mu dengan layak. Harusnya seusiamu ini, kau harus kuliah. Tapi kau justru terbebani dengan pekerjaan yang belum seharusnya menjadi kewajibanmu." Pak Dede menatap Bumi haru. "Tidak! Aku justru berterima kasih kepadamu karena telah mau menerima aku. Aku tak masalah dengan aku yang sekarang." Volume suaranya makin merendah. "Kau bohong Bumi. Aku tahu, kau sedang memikirkan betapa kasihannya hidupmu. Maaf sekali lagi aku tak bisa membiayai mu dengan layak. Karena kehidupan ku sendiri saja, aku masih kesulitan. Tapi aku berjanji, akan membuat mu bahagia semampuku. Bahagia, bukan hanya karena harta kan?" Terlihat jelas senyum yang menyungging dari wajah keriput pak Dede. "Terima kasih." Jawab Bumi. Pikirannya menjadi lebih tenang sekarang. Setidaknya dia masih memiliki Pak Dede yang akan selalu menyemangatinya. "Tidur lah.. besok pagi, kau harus bekerja." Pak Dede beranjak dari tempat duduknya kemudian berlalu pergi keluar meninggalkan Bumi sendiri.

BumiLangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang