Karma 1: Mabuk Atau Nafsu?

7.7K 87 2
                                    

Ditinggalkan seorang Ayah menjelang remaja memang merupakan sebuah pukulan yang berat. Namun itu tidak bisa dijadikan alasan aku menjadi 'nakal' versi ibu. Sekarang Ibu sudah angkat tangan dan tidak lagi keras seperti pada awal setelah ayah meninggal. Keras tetapi rapuh, sering ku dapati beliau menangis setelah menghajar aku. Juga mata beliau bengkak setelah bertengkar denganku bila malam bertengkar dengan ku.

"Jery... umurmu sudah kepala dua sekarang. Kamu sudah cukup dewasa untuk menentukan hidup kamu".

Ibu menghela nafas di sela kalimat yang begitu diatur rapi.

"Ibu dan Putri -adikmu- (Ibu memandang Putri sebentar) mengharap kamu berhasil. Ibu belum bisa terlalu membebanimu untuk menjadi tulang punggung keluarga... (suara ibu agak tercekat)".

Aku jadi berkaca-kaca lalu aku sujud dan ibu memelukku. Tidak perlu kata-kata lebih jauh lagi.  Itu terjadi saat aku meminta ijin untuk kost, alasanku supaya lebih dekat kampus karena terlalu lelah pulang balik rumah. Apalagi sudah semester mendekati akhir. Semakin banyak tugas dan praktek yang menyita waktuku. Apalagi cuaca yang tidak menentu, sebentar panas dan sebentar hujan.

Yang sesungguhnya adalah supaya aku bisa lebih dekat dengan Om Bara. Lelaki empatpuluhan yang sudah  berkeluarga. Sebaya dengan ibuku. Aku merasakan kehangatan yang tidak kudapat dari BF-BF ku sebelumnya. Meski sebaya ibu, tapi anak-anak Om Bara masih kecil, paling besar saja baru kelas 2 SD. Aku sering bersama mereka.

Di keluarga Om Bara aku di kenalkan sebagai mahasiswa magang di kantor Om Bara. Ya memang benar, semester lalu aku magang di kantor desain interior milik Om Bara. Dari situlah hubunganku dengan si Om menjadi dekat.

"Jer, wajahmu kok mirip Pak Bara ya... jangan-jangan jodoh!" begitu celetukan Vina, sekretaris Om Bara.

Om Bara sangat puas dengan hasil kerjaku sehingga aku diberi tanggung jawab lebih besar untuk mendesain kantor pemerintah. Kami sering bersama berdiskusi hingga larut malam. Semua orang sudah pulang dan sekali kami menginap di kantor. Itulah malam pertamaku dengannya.

***

"Jer.. ini sudah jam 1 pagi loh..." ujar Om Bara sambil melihat arloji di tengah kerja kami.

Aku juga tahu Om... dari tadi Ibu sudah berkali-kali SMS. Melihat begitu semangat Om Bara terhadap proyek ini aku jadi tidak enak kalau meninggalkannya sendiri.

"Bapak mau dibuatkan kopi lagi? Atau mau pulang?" ujarku sopan menawarinya.

Aku masih belum beranjak dari depan monitor besar. Om Bara mendekatiku. Rasa berdebar selalu muncul kalau dekat Bapak satu ini. Badannya yang besar tampak matang dan hangat kalau saja bisa bersandar. Ingin rasanya tidur di dadanya. Hmmm...

"Loh kok rancangannya dirubah lagi... mana tempat tidur yang di sini?" Jari Om Bara menunjuk tepat di belakang kantor direktur jenderal. Suaranya agak meninggi tidak wajar.

"Sengaja kuhapus, Pak. Kukira itu kantor kan..." ujarku polos.

"Kamu ini seperti tidak tahu saja seperti apa pejabat itu..."

"Kelelahan, maksudnya?"

"Bukan. Mereka menyiapkan tempat buat mereka nge-sex. Mereka semua suka ngentot...".

Itu kata-kata paling kasar yang pernah kudengar dari Om Bara. Kulirik mejanya, sebuah botol Brandy ada di sana. Entah sejak kapan Om Bara mulai menenenggak minuman beralkohol itu. Sepertinya dia agak mabuk.

"Hei.. kamu (dia tampak kesulitan mengingat namaku) mau ngentot sama aku tidak...".

Aduh runyam sekali keadaannya. Mana tidak ada orang lagi. Om Bara menenggak habis gelasnya. Aku merebut gelas itu dan membimbingnya ke sofa di tengah ruangan. Aku ke luar ke arah lift namun semua  sepi. Bisa saja aku memanggil satpam di bawah tapi itu akan jadi gosip segedung besok. Aku kembali ke dalam.

KARMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang