Sinar mentari pagi rupanya tak mampu menembus tirai jendela yang tertutup rapat, sehingga kamar hotel pada pagi itu masih tampak gelap. Jangan tanya keadaan Zara dan Ara bagaimana, dua insan itu masih asyik terlelap dalam tidurnya lengkap dengan mukena yang masih dipakainya. Mereka sudah bangun, hanya untuk melaksanakan shalat subuh lantas tidur kembali. Bahkan Zara yang biasanya tak pernah tidur lagi selepas subuh, kini ikut terlelap bersama sahabatnya.
Jangan salahkan mereka, ini semua karena kondisi lelah dan tidur yang kurang. Semalam, pukul 21.35 WIB atau pukul 23.35 KST, pesawat yang ditumpangi oleh Zara mendarat. Dan sekitar setengah jam kemudian mereka baru sampai di hotel tempat mereka akan menginap selama empat hari ini. Karena hari sudah gelap, dua gadis itu hanya diam saja sepanjang perjalanan mereka menuju hotel hingga ke kamar mereka yang terletak di lantai dua puluh satu. Benar-benar melelahkan.
Namun rasa lelah dan pegal-pegal yang mereka rasakan selama hampir sembilan jam di udara telah terbayarkan begitu Zara menjatuhkan dirinya di atas kasur king size yang teramat empuk itu. Rasanya kasur itu seakan menelannya dan membuat siapapun yang berbaring di atasnya menjadi enggan untuk bangkit. Jadilah mereka berdua langsung terlelap sedetik begitu mereka berbaring.
Zara membuka paksa kedua matanya. Ia sudah terbangun dari tadi, hanya saja suasana yang dingin ini membuatnya malas untuk beranjak. Namun ia tidak boleh keterusan, maka Zara lagi-lagi memaksa dirinya untuk bangun dan meregangkan otot-ototnya. Dilepasnya mukena yang tadi masih melekat di tubuhnya, dan ia lipat dengan rapi. Dilihatnya Ara yang masih tertidur, dan Zara memutuskan untuk membiarkannya saja.
Zara lalu beranjak membuka tirai, sehingga cahaya matahari langsung menyerbu masuk dan seketika kamar yang tadinya gelap kini terang kembali. Membuat Ara terbangun.
"Zaraa! Tirainyaa!" Ara mengerang, berusaha memposisikan dirinya masuk ke dalam gulungan selimut untuk melindungi penglihatannya dari sinar matahari.
Zara tertawa kecil, "Sudah pagi, tahu! Ayo bangun, atau kita akan ketinggalan breakfast hotel!"
Demi mendengar kalimat itu, Ara langsung menyingkap selimutnya. "Oh iya! Ayo!"
Sembari menunggu Ara bersiap-siap, Zara mengalihkan pandangannya pada jendela besar di sampingnya. Dari lantai setinggi ini, berbagai kendaraan di bawah sana tampak begitu kecil. Tapi lihatlah, pemandangan langitnya bukan main, indah sekali! Zara baru kali ini melihat dunia dari posisi setinggi ini. Diam-diam Zara tersenyum, bersyukur bahwa ia menerima ajakan Ara. Kalau saja Zara kukuh menolak ikut, pasti ia tidak akan bisa merasakan melihat pemandangan seindah ini.
***
#Zara's POV
D-day
Pagi ini kami rempong sekali. Maksudnya, tentu saja Ara yang rempong. Sejak satu jam yang lalu ia sudah mengoceh tentang seberapa pentingnya konser ini baginya, juga berkali-kali mengingatkan agar jangan sampai ada barang yang tertinggal. Seharusnya ia mengingatkan dirinya sendiri sih, karena ialah yang membawa begitu banyak barang. Aku sih, tas selempang kecil saja sudah cukup. Toh sesungguhnya aku tidak berkepentingan di sana.
"Oke, tinggal sentuhan terakhir, ayo pakai parfum yang kemarin kita beli, Za!" Ara berseru girang sembari menyemprotkan parfum winter bear miliknya.
Aku pun mengikutinya, menyemprot parfum serendipityku di beberapa bagian seperti urat nadi, kerudung bagian leher, serta bagian lengan atas dari gamis yang hari ini kukenakan. Setelah memastikan semuanya siap, kami berjalan kaki meninggalkan hotel untuk menuju terminal. Kebetulan hotel yang kami tempati berada di tengah kota sehingga dekat dengan berbagai fasilitas umum. Dari terminal, barulah kami menaiki bus menuju venue yang hanya membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Are Different ||BTS Fanfiction||
Fanfiction[VERY SLOW UPDATE] Hanya sebuah cerita klasik dimana sebuah pertemuan tak disengaja bisa merubah begitu banyak hal. Hanya saja, kasus Zara ini sedikit rumit karena ia tak sengaja bertemu dengan salah satu artis ternama yang membawanya menuju banyak...