Raja tampak gusar menatap nanar sekitar. Ruangan dengan arsitektur luar biasa tampak memanjakan mata. Sfinks granit yang menghiasi istana menambah kesan mewah nan elegan. Namun itu tak cukup membuat risau di hatinya surut. Beberapa saat lalu penasihat kerajaan melaporkan masalah yang serius terkait penyakit yang mewabah desa bahkan kota di pinggiran timur. Wabah mematikan yang hampir melenyapkan setengah dari penduduk kota. Tak ada yang tau penyebab pasti datangnya wabah tersebut. Bahkan kasak kusuk terdengar perihal sihir besar mulai menguar.
"Ayah, istirahatlah kau tampak lelah." Seorang pria berperawakan gagah tampak mendekat. Sorot matanya sarat akan kehangatan.
Sang raja menghela nafas berat. Kekhawatiran akan negerinya begitu besar. Pikirannya sesak oleh kemungkinan-kemungkinan buruk. Bukan hanya perihal wabah mematikan itu tapi juga menyangkut putrinya yang hilang sejak beberapa hari lalu. Ia takut jika wabah ini akibat dari sihir yang ada dalam tubuh sang putri.
"Ayah?" tegur Rodhes menyadarkan sang raja bahwa sejak tadi ia tak sendiri. Senyum simpul sang pangeran sedikit meringankan hatinya.
"Ayah akan istirahat nanti. Sebaiknya kau segera membersihkan diri sebentar lagi makan malam tiba."
"Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan, Ayah?" Rodhes tahu kegelisahan sang raja bukan semata-mata karena masalah tersebut. Ada sesuatu yang lebih besar menggantung di hati dan pikirannya. Carut marut tercetak jelas pada guratan tipis yang menghiasi wajah rentanya. Ia seperti papan catur yang kehilangan bidaknya. Tampak kacau tanpa arah.
"Adikmu ... apa dia yang melakukannya?"
Pertanyaan mengejutkan itu lolos begitu saja. Rodhes yang mendengarkan hal tersebut pun menggelengkan kepala. Seburuk apapun sihir di dalam tubuh Asta dia tak akan mengkhianati negerinya, Rodhes yakin itu.
"Ayah, kau berkata apa? Itu tak mungkin ... dia putrimu," ingat Rodhes.
Sang raja tak menanggapi lebih. Ia segera berlalu meninggalkan ruangan besar tersebut. Menyisakan Rodhes yang merakan ngilu di hatinya.
Adik, kau harus pulang.
***
Setelah makan malam usai raja memanggil beberapa kaki tangan kerajaan. Menyerukan titah yang tidak bisa dibantah. Hal tersebut tentu saja membuat anggota kerajaan tercengang. Rodhes bahkan tampak murka mendengarnya. Sedangkan ratu sendiri tersedu sedan bersimpuh di hadapan raja. Namun, raja sudah memutuskan dan hal tersebut tak bisa dibatalkan.
"Segera urus semuanya dan lakukan secara tertutup!"
"Baik, Yang Mulia." Setelah itu mereka undur diri dari hadapan raja.
Rodhes yang melihat hal tersebut hanya bisa memendam amarahnya. Keputusan final sudah dijatuhkan dan lagi-lagi sang pangeran tak bisa berbuat banyak. Alih-alih menenangkan sang ratu dia lebih memilih keluar istana menyejukkan kepalanya di bawah hamparan gemintang yang berkerlip ria. Ia tak menyangka Asta akan diperlakukan sekejam ini oleh sang ayah. Setelah hukuman mati dan kepergiannya yang tak pernah dihiraukan, raja memutuskan hal yang tak terduga setelahnya. Berita kematian sang putri menjadi jalan terbaik menurutnya. Menutupi aib dengan aib lain yang lebih keji.
Henry Eden Gloucester hanya takut jika kemungkinan itu benar adanya. Menghindari kecaman demi menyelamatkan negerinya tentu hal yang terbaik. Perihal Asta yang memiliki sihir dalam tubuhnya tak banyak diketahui rakyat. Raja menyeru keras agar para pelayan maupun prajurit tak membicarakn hal tersebut dan jika itu terjadi maka hukuman mati sebagai gantinya. Oleh karena itu tak ada yang berani membicarakan ataupun mempertanyakan sang putri secara terang-terangan.
Lain hal nya dengan Rodhes, rasa sayang kepada sang adik begitu besar. Dialah yang paling tahu bagaimana keadaan adiknya selama di istana. Betapa tertekannya ia dengan segala perintah raja. Rasa sesal melesak mengerayaki ulu hatinya mengingat ia yang selalu diam dengan segala perlakuan sang ayah kepada Asta. Rodhes mengepalkan tangan kuat. Netranya menggelap dengan kedua alis menukik tajam. Jika tempo hari dia hanya berlaku seperti kuda jinak maka sekarang tidak lagi. Kali ini ia akan bergerak sekalipun panasnya tali gantungan menjadi akhir dari hidupnya.
"Aku akan menemukanmu dan kau akan segera meluruskan kesalahpahaman ini."
***
"Apa? Kau hampir membunuhnya?"
Arron mendesis mendengar pekikan nyaring Neil. "Aku hanya sedang mengujinya dan ternyata benar."
Pria tinggi kurus itu mendecih ucapan Arron tentu tak selamanya benar. Diam-diam dia juga menjadikan Asta sebagai percobaan sihirnya, Neil sangat tahu hal tersebut.
"Hal apa yang kau ketahui?" lanjut Neil.
"Pengendalian gadis itu terlalu lemah, kalung itu tak banyak berguna sebelum dia benar-benar dapat mengendalikannya dengan baik."
"Kalau begitu ajari dia cara mengendalikan yang baik." Neil berlalu dengan cepat mengantung jubah yang dipinjam Arron lalu menghampiri kembali pria tersebut.
"Semoga kau tak melupakan keadaan kepala keluarga Simpson," ucapnya mengalihkan pembicaraan dengan cepat.
Dua hari lagi ritual terbesar tiba yang berarti hal besar juga akan terjadi. Suatu keberuntungan jika mereka bisa mengagalkannya. Darah murni penyihir selalu menganggu Aiden terlebih pembangkang yang diam-diam menentang ajarannya. Hanya segelintir penyihir berdarah murni yang ia percayai dan itu pun sudah ia ikat kuat dalam belenggunya.
"Terima kasih telah mengingatkanku," ucapnya sambil lalu membuat Neil mengernyit. Terima kasih? Baguslah dia masih mengingat kosa kata itu.
***
Gimana? Masih betah bacanya? Semoga kalian gak bosen ya:D Silahkan keluarkan unek-unek kalian, guys. Percayalah kritik dan saran kalian sangat bermanfaat❤ See next part, papay👑
.
.
.
Didedikasikan untuk WFantasyClub SmallTown_ shianacaa
Opsi satu (Hilang Arah)
Jumlah 772 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Of Shypon
FantasyHari itu Asta menyadari bahwa takdirnya benar-benar kacau. Kesalahan yang sama sekali tak ia pahami justru membawanya pada lingkar kegelapan. Jangan berharap akhir bahagia karena tak ada kegelapan yang mau berbaur dengan terang. *** ||30 Days Writin...