🍝—Saat Daisuke terbangun, sang istri sudah tak berada di sampingnya. Yang tersisa hanyalah kehangatan tubuh Haru yang masih menempel lekat pada selimut yang mereka bagi berdua. Di sela mengumpulkan energi untuk kembali beraktivitas, matanya menemukan secarik kertas yang tertempel pada layar televisi.
Aku ke pasar dulu. Ga bakalan lama, tenang aja.
-HaruDaisuke otomatis menghembuskan napas berat. Ia berjalan keluar dari kamar dan menyadari bahwa sang istri belum menyediakan apapun untuk dikonsumsi. Berhubung ia lapar, tanpa basa-basi ia pergi menuju dapur, mengabaikan peringatan Haru seminggu yang lalu untuk tidak pernah menginjakkan kaki ke dalam wilayah kekuasaannya—dapur.
"Dapur membencimu," kata Haru pada suatu hari.
Daisuke tidak bisa memasak. Ataupun menyentuh alat memasak. Intinya apapun yang berkaitan dengan memasak. Sejatinya ia adalah tuan muda yang keinginannya akan selalu terkabul hanya dengan menjetikkan jari saja. Belum lagi selera pangannya sangat tinggi membuat koki rumahnya pusing tujuh keliling. Setidaknya sampai Daisuke mengenal Haru.
Pemuda supel itu mengajarkannya apa arti bahagia tanpa mengeluarkan uang sebanyak dirinya. Semuanya serba sederhana. Dan hal favorit Daisuke adalah ketika mereka pergi berkencan hanya dengan mie instan di tepi sungai. Ternyata mie instan enak. Dan esoknya Daisuke memiliki produk mie instan sendiri yang dihadiahi makian Haru.
Tapi bukan itu yang ingin Daisuke masak sekarang. Karena ia tidur bermimpikan makanan yang berhubungan dengan negara Italia—pasta, Daisuke berniat untuk membuatnya.
Daisuke mengambil panci lalu mengisinya dengan air. Setelah itu menyalakan kompor dan meletakkan panci itu di atasnya. Sampai sini, semuanya berjalan mulus. Diambilnya pasta di dalam lemari dan dimasukkan ke dalam panci. Berselang lima menit, Daisuke merasa bosan hanya diam memelototi panci dan memutuskan untuk menunggu sambil menonton televisi. Sekali lagi diingatkan, dapur membenci Daisuke.
Di lain tempat, Haru yang tengah menawar sayur mayur mendadak merinding.
***
🍝—Satu jam berlalu, Daisuke belum juga sadar bahwa ia tengah memasak. Pria di umur dua puluh tahunan itu sibuk berkutat dengan laptopnya, sudah beralih dari televisi karena tayangannya kurang menghibur. Dan saat itulah pintu apartemennya terbuka, menampilkan Haru dengan sejumlah tentengannya yang berat. Sebagai suami siap siaga, Daisuke segera beranjak menghampiri Haru untuk membantunya mengangkat belanjaannya.
"Kok belanjanya banyak banget?"
Haru meregangkan otot-ototnya yang kaku sehabis berjalan jauh dengan beban banyak. "Belanja bulanan. Kulkas kita udah kosong." Daisuke hanya mengiyakan.
Baru saja Haru memasuki ruang keluarga, keningnya berkerut. Diciumnya dalam-dalam dan Haru berkata, "Dai-chan, kamu masak?"
Yang ditanya tiba-tiba mematung. Daisuke membalas tatapan Haru ambigu. "Oh, iya."
Haru buru-buru mengambil seribu langkah menuju dapur dan menahan napas setelah melihat kelakuan sang suami ketika ditinggal belanja. Panci gosong. Benar-benar gosong. Tidak ada air yang tersisa, bahkan pastanya menempel pada permukaan panci, yang jatuhnya menjadi kerak membandel.
"DAISUKE!!!"
***
🍝—"Nggak ada lagi yang namanya Kambe Daisuke masuk ke dapur. Mau di dalam rumah atau di luar rumah, sama aja. Emang takdir dapur benci sama kamu."
Haru misuh-misuh sambil berusaha menyikat panci gosong yang berhasil nol. Panci itu sudah tak bisa digunakan lagi. Sang istri mengerang frustasi saat mengingat bahwa panci itu merupakan panci favoritnya.
"Ah, kamu gimana, sih. 'Kan aku udah bilang jangan masuk dapur, masih aja masuk. Jadinya begini, 'kan."
Merasa bersalah dengan Haru yang mulai berkaca-kaca, Daisuke memilih untuk mendekatinya. Dipeluk sang istri dari belakang dengan kepala Daisuke disenderkan pada ceruk leher Haru.
"Maaf."
Daisuke memang bukan pria yang romantis. Tapi Haru tahu permohonan maaf itu tulus. Haru menggenggam lengan Daisuke yang melingkat di pinggangnya, membalas pelukan sang suami.
"Jangan diulangi, ya."
Daisuke semakin mengeratkan pelukannya.
"Hm."
***
🍝—Tujuh tahun kemudian, si kecil Kambe duduk di sofa ruang keluarga dengan damai. Sampai hidungnya mencium aroma-aroma tidak mengenakkan dari arah dapur.
"Maaa, Papa ngebakar dapur!"
"KAMBE DAISUKE!"
.
.
.
.
.
Hai, semua!
Book ini terinspirasi dari salah satu tweet yang aku baca kemarin. There was an urge for me to write it down so here it is!