Siang yang terik. Matahari di atas sana tak henti-hentinya membuat para siswa mengeluh saking gerahnya. Aku bahkan mengikat rambutku yang hampir sepinggang karena kepanasan.
Pukul dua lewat sepuluh menit. Kelas sudah dibubarkan sepuluh menit yang lalu. Aku kini sedang menunggu bis yang akan mengantarku menuju rumah.
Mama sudah mengajariku naik bis sejak aku kelas 5 SD. Aku yang memaksa, sebenarnya. Karena Mama waktu itu sedang pada masa sibuk-sibuknya. Bahkan terkadang aku sampai harus menunggu 1 jam untuk dijemput.
5 menit menunggu, bis yang kutunggu pun datang. Aku dan beberapa siswa lain masuk ke dalam bis tersebut.
Aku mengambil tempat di bagian sebelah kiri, barisan ke 3 dari depan, dekat jendela. Bis masih menunggu beberapa saat, memberi waktu kepada semua penumpang untuk naik.
Aku memilih untuk duduk tenang sembari menatap ke luar jendela. Melihat orang-orang yang berebut menaiki bis, satpam yang sibuk membatu menyeberang jalan, orang tua menjemput anaknya.
Hingga sebuah suara mengagetkanku.
"Hai, Rachel!"
Aku refleks membalikkan badan guna melihat si empunya suara, menatap laki-laki itu dengan raut bingung.
"Hai," sapaku balik.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya Rafa sembari menampakkan senyuman khasnya.
"Uh? Boleh," jawabku yang entah kenapa tiba-tiba merasa tidak enak ditatap seperti itu.
"Terima kasih."
Aku mengangguk. Eh? Apa arah rumahku dan Rafael searah, ya? Tapi selama masa MOS kemarin aku tidak pernah melihatnya naik bis ini.
"Rumah kita searah," ujar Rafa seolah menjawab apa yang di pikirkanku
Aku hanya mengangguk.
"Sebelum ini aku ke sekolah naik sepeda. Kau tahu? Itu sangat menyenangkan dibanding naik bus. Selain hemat biaya, itu juga sama dengan kita berolahraga, 'kan," ujarnya kembali membuatku terheran-heran.
Dia benar-benar bisa membaca pikiran orang lain, ya?
"Apa aku kelihatan seperti sedang membaca pikiranmu?"
Aku menoleh ke arah Rafa, terkejut. Bagaimana ia bisa tahu?
"Tidak. Aku tidak bisa membaca pikiran orang. Aku cuma menebak, mungkin kamu sedang memikirkan itu," jelas Rafael tanpa diminta.
Aku manggut-manggut.
Aku kembali menghadap ke arah jendela, teringat percakapanku dan Rafa di kantin tadi.
"Omong-omong, setelah ini, jangan cerita siapapun kalau aku mentraktirmu, ya ...," pinta Rafa tiba-tiba.
Aku menatap bingung ke arahnya.
"Memangnya kenapa?"
"Bahaya."
"Hah?"
"Iya, bahaya, 'kan, nanti yang lain juga minta traktir."
Aku menatap Rafa dengan heran. Kukira bahaya karena ia takut Via cemburu. Ternyata ....
"Oke," jawabku akhirnya, "terima kasih."
"Sama-sama," balas Rafa.
Bis yang kunaiki mulai berjalan. Kami masih sama-sama diam. Rafa kini sibuk mendengarkan lagu lewat ipadnya—sepertinya begitu, sementara aku masih setia menatap jalanan yang bis ini lewati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Glimmer Of The Sea
Science FictionKebanyakan orang bilang, legenda putri duyung itu tidak benar. Bahkan sampai sekarang, para peneliti masih berdebat soal keberadaan makhluk itu. Tapi, hei, di sini aku bukannya mau menceritakan kisah kehidupan putri duyung di bawah laut. Jangan sal...