"Percaya ga keajaiban itu ada? Sama, gue juga engga."
___________________________
Pergi ke pemakaman sudah menjadi ritual akhir pekan Eliza. Menjenguk temannya dari kecil.
"Rayaaa, inget ga sih dua bulan lalu waktu lo mau pergi buat selamanya, lo minta gue gaboleh sedih?" Eliza berusaha mengukir senyuman manisnya.
"Gue gatau harus gimana lagi sama hidup yang menyedihkan ini kalo lo aja ngelarang gue sedih."
"Lo ngeliat gue ga dari atas sana? Orang yang gue benci tiga hari lalu ke apartment gue mulu. Gue risih kan jadinya."
"Kalo aja lo masih tinggal di apartment gue, gue yakin lo pasti adu bacot sama tuh nenek lampir sampe dia pergi." Dadanya sesak, air matanya ingin tumpah.
"Iya gue tau, ga boleh nangis lagi. Nih gue elap air matanya."
"Gue kesini mau cerita, Ray. Lo tau Abi kan? Cowo yang waktu itu sempet jenguk lo bareng gue sebelum lo koma. Dia ngedeketin gue udah hampir berapa bulan ya? Gue lupa."
"Ga nyangka bakal ada orang yang pengen kenal gue. Menurut lo, gue open atau close aja nih? Sejauh ini sih dia baik. Gue kadang suka lupa buat pasang topeng kalo di deket dia." Eliza mengusap batu nisan Raya.
"Tapi gue tetep gabisa bedain mana tulus mana engga. Lo tau gue ga jago tentang itu."
"Oh iya, Ray. Makasih banget ya lo udah kenalin gue sama Farah dan Mila. Gue sayang banget sama mereka walau baru dua tahun kenal."
"Jangan marah ya. Lo tetep sahabat gue banget banget kok walau kepisah gini."
"Ray, gue pulang dulu ya? Udah sore."
Gue harap lo dateng di mimpi ya malam ini.
Eliza bangkit setelah menaburkan bunga pada makam Raya.
"Eliza Meeraya?" Suara yang sangat sering ia dengar belakangan ini.
Lagi-lagi dia hanya mengangkat alis kirinya.
"Lo ngapain disini? Udah mau malem juga. Ga takut apa?" Abi pura-pura ketakutan.
Namun hanya tatapan dingin yang di terima Abi.
Oke salah ngajak bercanda orang.
"Jenguk siapa?" Tenang aja, ga mungkin kok Eliza nanya duluan.
"Raya." Abi mengangguk. Dia paham pasti Eliza sangat merindukan Raya.
"Udah mau pulang kan? Temenin makan bakso cuanki dulu yuk."
Belum juga jawab ajakan Abi, nih orang udah mau pergi aja.
"Ayo dong, El. Sesekali."
"Ayolah pliss"
"Plis El." Eliza capek dengernya.
"Oke, tapi gue bayar sendiri."
Abi sumringah. "Emang siapa yang mau bayarin?"
Jika banyak orang akan kesal mendengar penuturan Abi barusan, Eliza justru hanya diam dengan alasan dirinya tidak suka keributan.
Bakso cuanki Pak Dudu. Kalo ga salah baca namanya sih itu. Bakso paling enak yang pernah Eliza makan, mungkin.
"Gimana? Enak kan?" Jorok, ngunyah sambil ngomong.
Eliza menganggukkan kepalanya sambil mengambil mangkok sambel.
"Ga boleh! Lo udah enam sendok ga pedes juga apa gila?" Niatnya sih baik, cuma biar Eliza ga sakit perut aja.
Tapi Eliza malah melempar tatapan sinis kepada Abi. Tangan mereka sama-sama memperebutkan mangkok sambel itu.
"Ga boleh, El." Abi memper-sinis tatapannya. Tak kalah sinisnya dengan Eliza.
Ada ide. Dia menundukkan kepalanya sedikit, rambutnya terurai kebawah hampir menutup wajahnya, tentunya masih menatap Abi.
Abi bergidik ngeri melihat Eliza yang menyeramkan.
"Batu lo! Awas aja sampe sakit perut!" Abi melepas tangannya dari mangkok sambel.
"Yang, kamu yakin mau makan disini?" Bisik cowo disebelah meja Abi dan Eliza kepada pacarnya.
"Kenapa sih, Yang? Enak tau baksonya."
"Aku liat pocong di dapur lagi melet, terus ludahnya masuk ke panci. Kaya nya buat penglaris gitu."
Mata keduanya membulat, mereka menatap satu sama lain dengan tatapan yang tak dapat diartikan.
Tatapan itu terputus saat Eliza buru-buru berdiri lalu melalui isyarat mata, Abi mengerti maksudnya.
Mereka berdua dengan cepat masuk ke mobil dan tanpa bicara apapun Abi langsung melajukan mobilnya.
Baru aja seperempat jalan, Eliza memukul lengan Abi sambil tangan kirinya menutup mulut.
Muntah. Iya, Abi sama Eliza muntah di pinggir jalan. Lagian gimana mau masuk perut kalo habis denger cerita kaya gituan.
Untungnya Abi selalu menyediakan air mineral di mobilnya, jadi bisa berguna buat kumur-kumur.
"Maaf, El. Gue gatau kalo ternyata ada ludah pocongnya. Mana gue sering lagi makan disitu."
Hweekk. Muntah lagi.
Ups salah ngomong.
Dari habis berkumur tadi, Abi menggosok punggung El untuk mempermudah mengeluarkan makanan yang sempat ia telan barusan.
Tangan Eliza mencari botol yang di pegang Abi kemudian berkumur-kumur untuk menghilangkan bau muntah di mulutnya.
Eliza berusaha berdiri tegap, namun tiba-tiba saja badannya lemas.
"Eh lo kenapa? Kena guna-guna?" Abi menangkap tubuh Eliza dan membopongnya kembali ke mobil.
"Perut, panas."
"Lagian di bilang sambelnya jangan banyak-banyak."
Abi kembali melanjutkan mobilnya menuju apartment sedangkan Eliza terus merutuki Abi dalam hati. Dasar ga punya otak, yang bener aja gue di ajak makan ludah pocong.
"Mau di bopong juga ke kamar?"
Selalu saja Eliza mendiamkan dan meninggalkannya di belakang.
"Ngapain ngikutin?" Kini mereka berada di depan kamar apartment Eliza.
"Mastiin lo selamat sampe kamar."
"El, jangan reflek ya." Tangannya mengelus kening El lembut.
Belum ada lima detik di elus, yang di elus malah nginjek kaki Abi. Mana kenceng lagi.
"Sumpah, El. Lo nyakitin gue mulu." Abi berjingkrak-jingkrak kesakitan.
Ngerasa bersalah? Dia lagi ga minat hari ini. Kemudian masuk tanpa memedulikan Abi.
Ting! Ting! Ting!
Huhh, Eliza tau pasti siapa yang mengiriminya pesan.
Abinaya
Makasih ya udah mau nemenin makan tadi, ya walau ga sampe perutJangan dipikirin ludah pocongnya
Good night, sayang banget sama El❤️
_____________________
May 18, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Antartica
Romance"Lo dingin, gue suka. Lo cantik, gue suka. Lo minim ngomong kaya gini aja, gue suka. Apasih yang ga gue suka dari lo? Masih gue cari tau sampe sekarang." Berharap seorang Eliza Meeraya akan luluh hanya karena pengakuan suka itu mustahil. Abinaya Mah...