satu.satu

30 4 0
                                    

Ekal hobinya apa?

Pertanyaan itu selalu ditanyakan ketika gue masih taman kanak-kanak, entah itu oleh Ibu atau Guru di sekolah.

Hari itu, sepulang gue dari sekolah Ibu melihat buku pelajaran gue yang diberikan dari sekolah. Pada halaman pertamanya terdapat biodata singkat tentang pemilik buku.

Ibu menanyakan, kenapa gue mengosongkan pada kolom hobi. Gue menggelengkan kepala karena gue emang enggak tahu apa hobi gue dan apa yang sekiranya bisa gue jadikan hobi.

Ibu kemudian melambaikan tangannya pada gue yang duduk bersebrangan dengannya di meja makan kecil yang sederhana, memberikan gestur agar gue mendudukkan diri dipangkuannya.

Gue menurut, lantas saja Ibu mendekap gue dalam jeruji tangannya yang hangat. Tangannya yang lain mengusap rambut hitam lebat gue dengan penuh sayang.

Gue mendongak, menampakkan pemandangan wajah Ibunya dari bawah. Kemudian membalikkan pertanyaan yang biasa Ibu tanyakan.

"Hobi Ibu apa?"

Ibu menunduk, tangannya yang mengusap rambut gue berhenti, beralih ikut mendekap gue bersama tangannya yang lain. Wanita umur kepala tiga itu mendongak dengan pandangan menerawang. Baru gue sadari wajahnya terlalu tua untuk wanita usia awal tiga puluhan, raut kelelahan terpancar dari sorot matanya.

Ibu jelas butuh istirahat, kepergian Ayah beberapa bulan sebelumnya jelas membuat Ibu tertekan dan kepayahan mengurus gue yang saat itu berusia lima tahun sambil bekerja sekaligus.

"Dulu.." Ibu berucap serak, nadanya tertahan seperti orang tercekik. Otomatis kepala gua kembali mendongak.

"Ibu sama Ayah sama-sama suka membaca. Banyak buku yang sudah Ibu dan Ayah baca bersama."

Gue jelas enggak mengerti seperti apa rasanya benar-benar kehilangan Ayah. Kehilangan Ayah menurut gue waktu itu adalah tidak lagi memiliki teman bermain petak umpet bersama dan tidak ada lagi yang membelikannya mobil mainan lagi.

Tapi, waktu itu gue mengusap lengan ibu yang mengurung gue dengan lembut. Gue enggak tahu itu berguna atau enggak sebab gue hanya meniru Bu Guru yang sering melakukan itu ketika teman gue menangis..

Gue rasa itu bekerja, sebab Ibu lantas menatap gue dengan pandangan terharu dan mata berkaca-kaca.

"Kalau gitu Arja mau hobi membaca aja." Gue otomatis menceletuk.

Ibu tersenyum, kakinya yang menjadi tempat gue berpangku berayun pelan, turut membuat gue bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan lembut.

"Ada banyak hal di alam semesta yang bisa kamu jadikan hobi. Apa pun hobi Arja, Ibu selalu mendukung. Asalkan berada di jalan kebaikan, tentunya."

Benar kata Ibu. Banyak hal di alam semesta yang bisa gue jadikan hobi, dan memperhatikan si Cewek Berkacamata itu salah satunya.

* * *
Nama gue Duka Arjanta.

Orang-orang satu sekolahan biasa memanggil gue dengan Duka, alih-alih Arja-panggilan waktu kecil.

Enggak ada seorang pun yang enggak mengenal gue di SMU Batavia Jaya. Meski gue bukan orang kaya yang berkuasa, tapi setidaknya gue punya otak yang encer dan tampang rupawan. Enggak heran banyak cewek-cewek Baja-singkatan dari Batavia Jaya-yang tergila-gila sama gue.

Gue enggak bohong.

Contohnya sekarang ini.

"Maaf, gue enggak minat pacar-pacaran." Kata gue sambil membaca sebuah amplop merah jambu yang wanginya subhanallah kayak disiram kembang tujuh rupa.

Gue tetap membaca, meski gue udah tau isinya apa menilik dari warna amplop dan pipi cewek itu yang kemerahan saat memberikannya ke gue. Karena dengan cara menghargai surat-surat merekalah gue mengurangi rasa bersalah karena menolak mereka.

Cewek itu menggaruk belakang kepalanya malu. Jelas, sebab di sekeliling kami sudah banyak berkerumun siswa-siswi Baja yang sedang berbisik-bisik. Walau itu enggak berguna, sebab gue tetap mendengarnya.

"Gila berani amat tuh cewek. Udah tau Duka bakal nolak, masih aja mau nembak."

"Enggak ada malunya."

"Gila. Itu udah cewek ke enam puluh tiga yang Duka tolak secara langsung. Belum lagi surat-surat di lokernya."

"Gila lo, lo itungin?"

"Duka tiap hari tambah ganteng."

"Gue tambah suka sama Duka, dia selalu baik sama semua orang. Enggak heran banyak yang baper."

"Udah ditolak, mending pergi. Enggak malu apa?"

"Sok ganteng, cewek secantik Faya ditolak."

Yang awalnya bisik-bisik sekarang mulai terang-terangan, membikin kuping gue berdengung seperti mendengar suara lebah.

Gue menggapai tangan cewek yang baru saja menyatakan perasaannya kepada gue.

"Enggak ada yang salah dari menyatakan perasaan, justru gue salut sama dia. Udah berani nyatain perasaannya." Gue mengangkat tangannya yang berada dalam genggaman sambil mengayunkannya pelan.

Bukan berhenti, bisik-bisik siswa-siswi Baja semakin menjadi.

"Kalau dikatain anak satu sekolahan bisa bikin tangan gue digenggam kayak gitu sama Duka, gue ikhlas dunia akhirat."

"Beruntung banget, abis ditolak digenggam lagi tangannya."

Risih, gue menarik cewek yang kayaknya bernama Faya itu ikut menerobos kerumunan, meninggalkan dengung lebah yang sedari tadi menggangu pendengaran gue.

Gue melepaskan tangan Faya ketika sudah berada cukup jauh. Cewek itu masih menunduk, enggan menatap ke arah orang seganteng gue. Tangannya memilin di belakang tubuh.

"Hm. Duka, makasih ya udah belain aku depan anak-anak yang lain."

Gue tersenyum lebar, menampakkan lesung pipi di kedua sisi wajah gue.

"Enggak usah berterima kasih, emang seharusnya begitu kan, Faya?"

aro

Dilarang Baca IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang