47. Pengakuan Adriel

1.9K 164 45
                                    

"Mommy yakin, hati Alya sebenarnya tak karuan mikirin kamu."

Sean menghela napasnya sambil sesekali menengadah ke arah dimana pintu kamarnya berada.

"Setelah membuat kami panik dengan dipanggilnya dokter keluarga kita, kamu gak bisa jelasin apa yang akan kamu lakukan tentang ini? C'mon Sean, kamu udah dewasa!" Tambah Mommy Sean gemas karena hanya melihat putranya itu diam dengan tatapan penuh rasa bersalah.

"Dad sudah katakan dari awal, saat kamu memutuskan menikahinya." Kali ini Mr. Gordano bersuara dengan santainya.

Sean menatap ayahnya dengan sendu.
"Aku merasa tidak memiliki muka dihadapannya. Dan jika dia bertanya tentang ini, aku gak tau seberapa takutnya dan bersalahnya aku mengingat itu semua."

Mommy Sean mengusap pelan bahu putra yang tingginya sudah jauh melebihinya itu. "Perlu kamu ingat juga, kamu belum benar-benar meminta maaf pada Adriel."

"Sepertinya dia sudah mengatakan sesuatu pada Alya." Ucap Sean mengutarakan perasaannya.

Dahi nyonya Gordano itu pun berkerut.
"Wajar jika ia melakukan itu. Tapi, Mom yakin Adriel tidak akan melebihi apa yang kamu pikirkan."

Sean menggeleng. Ia bingung. "Sean gak tahu. Rasanya, Sean belum bisa mempercayai Adriel sama sekali."

"Apa kau juga belum menyesali perbuatanmu? Bagaimanapun juga, Adriel cukup menderita sejak itu. Dan dia tetap menjalani hidupnya hanya dengan harapan jika kau akan meminta ampunannya."
Ucap Mr. Gordano. Kali ini, ia tidak mengalihkan tatapannya pada tabletnya.

Gordano tahu, jika Sean sebenarnya belum mau meminta maaf pada Adriel, tapi putranya itu terlalu takut ditinggal oleh istrinya.

"Mom sama Dad hanya bisa memberimu nasehat. Dan jika yang kau takutkan adalah istrimu, tak perlu khawatir dia tidak akan meninggalkanmu dengan keadaannya sekarang." Tambah Mr. Gordano.

Mommy Sean pun menoleh tidak setuju. "Sayang, sebaiknya kau juga jangan meremehkan wanita. Kita tidak tahu apa yang ada dipikiran Alya sekarang."

Mr. Gordano hanya menghela napasnya mendengar ketidak setujuan istrinya akan ucapannya.
"But, she is pregnant."

"Justru karena dia sedang hamil. Apalagi, kita tahu jika kehamilan Alya itu rentan karena kondisinya. Jika sesuatu terjadi, bukannya tidak mungkin jika Alya akan meninggalkan Sean."

"Mom, don't say that!"
Potong Sean sambil memijat peningnya. Ia sangat pusing.
Kesalahannya masa lalu, memang tidak akan terlalu buruk jika dikatakan pada orang tidak pernah merasakannya.
Tapi, Alya pernah merasakan itu.
Dan Alya memiliki trauma pada satu kondisi.

Sean takut hal itu terjadi.
Dan belakangan, ia malah bingung.
Ia merasa menyesal mengajak Alya ke sini. Jika ia tahu Adriel juga datang, ia bisa menunda kedatangannya kemarin.
Sungguh salah ia tidak menanyakan perihal ini pada ayahnya sebelum mereka berangkat.

----------

"Udah selesai?"
Tanya Alya saat melihat Sean kembali.

Setelah ucapan ambigu Sean itu, Alya tidak memiliki mood untuk keluar kamar. Saat itu juga, pembicaraan mereka terpotong karena Mr. Gordano memanggil Sean ke bawah dengan perantara para maid.

Sean mengangguk.
"Maid akan mengantar makan malam kita nanti."

"Loh? Kita gak makan malem bersama?" Tanya Alya kaget. Padahal Mr dan Mrs Gordano sudah pulang kerumah.

"Enggak."

"Kenapa?"

Sean menghela napasnya dan menaiki ranjang lalu tidur disamping Alya. "Kakak butuh istirahat."

STILLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang