Konferensi Meja Panas

19 1 1
                                    

Jani duduk dengan punggung yang tegak, tatapan matanya tajam dan lurus ke depan seperti sedang pelatihan militer. Tepat di hadapannya, ada Rizal yang duduk sambil menatap pantulan dirinya sendiri di kaca meja. Sesekali ia mengangkat wajah tapi sebisa mungkin nggak melihat ke arah Jani. Sebab, tiga kali mata mereka bertemu, tiga kali pula ia dipelototin oleh Jani. Di samping Rizal, ada Ibu-ibu berambut pixie cut warna blonde hasil duduk berjam-jam di salon sampai pantat kram. Di samping Jani, ada ibu-ibu berjilbab panjang dan sekilas mirip Jani tapi versi lebih sejuk kayak air pegunungan.

Mereka semua, bersama guru BK, Pak Hadi—wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, dan wali kelas masing-masing, duduk mengitari meja persegi panjang yang ada di tengah-tengah ruang BK.

"Dia harus minta maaf karena udah bikin anak saya kayak gini!" ibu Rizal menunjuk Jani dengan emosi, lalu beralih menatap Rizal yang wajahnya lebam-lebam dengan tatapan iba.

"Karena Rizal pantas digituin." Kata Jani datar. Mendengar jawaban Jani, ibu Rizal mendelik nggak terima.

"Jani." desis ibu Jani dengan perasaan sungkan. "Nggak sopan, Nak."

"Tapi, Bun—" Jani hendak membantah, tapi ibunya mengisyaratkan untuk diam.

"Begini, ibu-ibu" Pak Hadi, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, menengahi. "sebaiknya kita biarkan dulu Jani dan Rizal menjelaskan bagaimana kronologi kejadiannya."

***

(Beberapa jam yang lalu...)

"Anu kemana ya ?" Gika menghampiri Jani yang sedang melipat seragamnya. Mereka baru saja kembali dari kamar mandi untuk mengganti seragam karena sebentar lagi wakunya pelajaran olahraga.

Jani melirik tempat duduk Anu. Sejak datang tadi pagi, Jani cuma melihat tas Anu disana dan sampai sekarang, pemiliknya nggak juga muncul. Arman juga nggak tahu Anu pergi kemana karena waktu ia datang, tas Anu sudah ada disitu. Anu bahkan melewatkan jam pelajaran pertama dan kedua. Sepertinya, ia juga akan melewatkan pelajaran olahraga.

"Iya, tumben banget. Masa latihan teater ?"

"Mana ada latihan teater pagi-pagi." Yayin nimbrung sambil merapikan rambutnya yang diikat ekor kuda.

"Iya juga sih."

"Kalian sudah nelfon Anu ?"

Gika dan Jani menangguk. "Nggak diangkat."

"Sama, aku juga nggak diangkat."

Yayin, Jani, dan Gika mulai mencemaskan Anu yang nggak biasanya menghilang tanpa kabar. Anu nggak mungkin bolos, ia terlalu baik dan lurus untuk melakukan kenakalan-kenakalan macam itu.

***

"Gimana ?" Yayin penasaran.

"Nyambung, kok." Kata Jani sambil terus menempelkan ponsel ke telinganya. "Tapi nggak diangkat."

Yayin, Jani, dan Gika sedang duduk melingkar sambil berteduh di bawah pohon Angsana di pojok lapangan. Begitu Pak Hartawan menutup pelajaran olahraga hari ini, ketiga sahabat itu nggak sabar untuk kembali mencoba menelepon Anu yang sampai sekarang nggak juga kelihatan. Sedangkan penghuni XI IPA B lainnya kembali ke kelas untuk ganti baju.

"EH, EH, ANU NELFON BALIK!!" Jani heboh sendiri saat melihat ada panggilan masuk dengan nama Anu di layar ponselnya.

"Buruan angkat, buruan!!" Yayin dan Gika juga nggak kalah hebohnya.

"Halo, Nu. Kamu dimana ? Bentar-bentar, aku speaker dulu." Kemudian Jani menjauhkan ponselnya dari telinga dan mengaktifkan fitur loudspeaker

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Putih Abu-Abu dan MejikuhibiniuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang