1. Aku Titip DendamKu

178 69 66
                                    


Terdiam menjadi caraku untuk meredam hantaman yang keras dari caranya mengulurkan undangan. Tiga tahun menjalani waktu bersama dengan kata cinta yang saling kami ucapkan. Nyatanya tidak cukup menjadi alasan untuknya bertahan.

Lantas di café, tempat kami biasa bertukar rasa, dia mengambil dari dalam tasnya undangan berwarna merah terang. Namun berisi kegelapan yang mencekam. Ia meletakkannya di atas meja dengan sangat ringan bagai anai-anai yang berterbangan. Lalu dengan jemarinya yang biasa aku genggam, ia mendorong undangan itu sampai tepat di bawah wajahku.

Aku hanya diam ditemani tepian mataku yang kian memanas.

Aku harus apa? Cukup jelas bagiku bahwa siang adalah tentang terang dan malam tentang petang. Seterang itulah, sampul undangan yang tertulis dengan tinta emas. Sebaris nama gadis yang sebelumnya menjadi kekasihku, disandingkan dengan goresan nama yang bukan namaku.
Sepetang itu pula kehancuran yang meminang hatiku. Lantas karena terlalu banyak umpatan yang ingin aku sedekahkan pada perempuan fakir akan cinta di depanku ini, malah aku yang dibuatnya miskin kata-kata hingga aku terdiam. Dia, sang pujaan hatiku, tidak cukup bodoh untuk memahami kehancuran perasaan yang ia peras sampai tak tersisa untuk aku tenggak. Aku tidak bisa berkata-kata. Mengapa bukan namaku yang bersanding dengannya, melainkan lelaki lain?

"Maafkan aku Fajar." Ucapnya lirih.

Kata maaf? Aku benci kata itu harus dia ucapkan. Harus aku apakan kata maaf itu? Kebiasaan buruk bagi siapapun yang menjadikan kata maaf sebagai tameng atas rasa tidak bertanggung jawab. Sejujurnya di kepalaku berputar-putar akan hal yang ingin aku sampaikan atau bahkan aku umpatkan. Namun sayang, seribu kali sayang sebagaimana rasa sayang yang telah dia campakkan. Aku tidak mampu meluapkannya dengan sempurna.

"Aku dijodohkan orang tuaku."

Baguslah, dia berinisiatif menjelaskan. Setidaknya aku memiliki kesempatan untuk merubah nama lelaki lain di undangan itu menjadi namaku. Pernikahan itu bukan keinginannya. Melainkan orang tuanya. Dia masih mencintaiku dan aku akan berusaha menyelamatkan hubungan kami. Aku cukup legah melihat ada sedikit cahaya untukku berjuang. Tidak mengapa sumber cahaya tidak berlimpah. Setidaknya aku bisa mengais-ngais di sela-sela keberadaanya.

"Aku bilang aku dijodohkan orang tuaku. Aku harap ini bisa menjadi alasan untukmu melepaskanku."

"Apa?"

Cukup kejam caranya menjelaskan padaku.

"Katakan padaku, bahwa kamu tidak mencintai lelaki pilihan orang tuamu! Cukup katakan TIDAK dan aku akan perjuangkanmu. Mari berusaha membatalkan pernikahan itu!"

"Tidak mungkin Fajar. Undangan itu sudah disebar. Aku tidak ingin mempermalukan keluargaku."

"Tetapi kau sudah mempermalukanku."

"Tidak Fajar. Aku tak melakukan apapun. Cobalah mengerti!"

"Kau juga harus mencoba mengerti!"

Dia menarik napas dalam "Ini tidak akan berhasil."

Aku tercengang mendengarnya  berkelit. Dialog panjang ini sungguh tidak aku harapkan. Seharusnya dia cukup menjawab bahwa hanya aku yang dia cintai dan aku sungguh berani berjuang demi dia.

"Apa maksudmu Mirna? Tiga tahun tidak berarti bagimu?" Tanyaku dengan nada pelan dan membujuk. Sambil aku genggam dan menyapu lembut permukaan punggung tangannya.

"Tiga tahun kamu tidak berhasil memeroleh restu dari keluargaku."

"Itu karena Ayahmu menginginkan menantu yang kaya dan aku masih berjuang menjadi seperti yang Ayahmu harapkan." Ucapku dengan intonasi yang jelas untuk meyakinkan Mirna.

"Maksudmu keluargaku haus akan Harta?"

Tenggorkkanku tercekat. Mirna seolah membuat tenggorokanku hilang suara sampai terdiam sejenak.

"Maafkan aku Mirna. Bukan maksudku seperti itu. Aku mencintaimu Mirna." Jelasku padanya. Aku mencoba menenangkannya. Meski aku tau, kenyataannya, keluarga Mirna sangat mempertimbangkan harta dan jabatan.

Mirna menghela napas, "Dengar! Ini semua percuma. Aku tau kamu mencintaiku. Maka relakan hubungan ini demi kebahagianku! Aku tidak pernah menyesal telah menjalani waktu berdua denganmu. Tapi aku harap kamu dewasa. Berhentilah berjuang!"

Penjelasan cukup panjang hanya untuk bermaksud mengatakan putus.

"Kau mencintainya?"

"Maafkan aku."

"Sejak kapan?"

"..."

Seharusnya aku tidak bertanya sejak kapan. Ini adalah penghianatan. Seharusnya kata maaf menjadi jawaban telak bagiku. Masih saja aku mengais pengharapan padanya. Kini bahkan aku sudah tidak bisa memikirkan bagaimana menjatuhkan harga diriku lebih jatuh lagi. Ingin aku mengemis padanya, tapi sayangnya dia telah mengusirku sebelum aku mengulurkan tangan padanya.

Aku mengigit lidahku kuat-kuat. Bibirku menahan getaran yang hendak mengeluarkan suara tangis dari artikulatoris. Cukup hargaku sudah jatuh di hadapannya. Tidak untuk air mataku. Aku laki-laki, meski perih aku mampu berpura-pura tidak ada apa-apa.

Aku menghela napas panjang.
"Kamu benar Mirna. Ini percuma. Jika sudah menjadi keputusanmu. Walau sepihak aku bisa apa? Aku akan hadir dalam pernikahanmu."

"Itu yang aku harapkan. Aku yakin kau akan menemukan penggantiku. Meski tak sebaik diriku. Jika itu takdirmu. Kau tidak bisa lari. Aku harap kita bisa menjadi teman. Simpan undangan itu dan datanglah ke pernikahanku!" Ucap Mirna dengan nada seolah bersimpati padaku. Dia memintaku menyimpan undangan itu seperti memerintahkanku untuk menyimpan luka yang parah. Bangsat kau Mirna! Sejauh mana kau inging mencacah hati yang sudah parah?

"Tentu aku akan datang. Aku tidak akan melupakan penghianatanmu dan aku tidak akan melewatkan untuk mendoakanmu secara langsung di pernikahanmu. Semoga kamu tidak akan bahagia dengan pernikahanmu."

"Kau!" Kata Mirna dengan nada tidak suka.

Sungguh aku tidak tahan lagi untuk berlama-lama menyakiti diri sendiri dengan diskusi ini.

"Permisi! Luka ini tidak akan aku terima dengan gratis." Kataku sambil berlalu pergi.

Aku heran. Apa benar-benar tidak berasa dia? Menjadi teman? Seberapa banyak Mirna telah mengurangi timbangan atas perasaanya padaku hingga dia mampu menghapus gambaran diriku sebagai kekasih untuk menjadi sebatas teman? Aku tidak bisa seperti itu. Sulit bagiku merubah statusnya di hatiku. Tetapi jika dia mau. Masih ada ruang kosong dalam status musuh dan dendam dalam bilik hatiku dari sisi tergelap. Aku akan membalasmu Mirna!

****
PLEASE VOTE

Wah ini intro pertama. Rasanya deg degan. Menurut kalian seperti apa cara penyampaianku? Please spam ya atau coment. Sukur2 vote. Kasih aku semangat buat nerusin cerita ini

After LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang