Berawal dari lamunan dan mimpi

51 4 4
                                    

Berawal Dari Lamunan Dan Mimpi
Ada  satu kelompok yang bertanggung jawab atas hampir semua perang dan pertumpahan darah di muka bumi. Kelompok jahat ini berjumlah kecil, namun begitu berbahaya. Bagaikan seekor gurita yang mematikan, tentakel-tentakelnya  menjulur untuk mencengkeram dan mencekik banyak korban tak berdosa,  yang kisahnya ditutup-tutupi agar tak terangkat ke permukaan. Bahkan para pemimpin dunia mematuhi dikte kelompok jahat ini dan gemetar saat berhadapan dengan mereka. Kehidupannya dipenuhi dengan propaganda, konspirasi dan diselimuti dengan aksi pemujaan yang keji.
# # #
Suasana pagi dengan berjuta embun  masih setia meyapa pori-pori, memberi ketenangan  dan kesegaran udara yang bebas polusi. Bahkan mentari pun masih malu-malu  untuk mengucapkan selamat pagi.
“Leh…. Sholeh……. ada tamu ….” Suara abah terdengar keras memanggilku, memudarkan kosentrasi wirid sejak selesai sholat Subuh.
“Siapa ya Bah…..”
“Pak Kades sama mas Sugeng. Ayo cepet keluar Leh….”
“Iya, siap Bah……”
Sebenarnya aku sedikit  keberatan karena target wirid  belum selesai. Aku juga heran, sepagi ini sudah ada orang yang  bertamu ke rumah, padahal baru jam 05.00 pagi. Tapi tak apalah, mungkin ada keperluan yang mendadak, karena yang datang adalah pak kades.
“Eh….. bang Sholeh….  maaf pagi-pagi sudah mengganggu.” Ucap pak kades setelah tersenyum dan menjabat tanganku.
Semua orang di desa memang aneh. Sudah jelas aku mondok  selama 10 tahun, tapi tetap saja  mereka tak mau memanggilku ustadz.
“Iya, nggak apa-apa pak kades. Tapi, ngomong-ngomong  ada perlu apa ya, kok sepagi ini sudah datang ke rumah?” Tanyaku berlagak wibawa.
“Anu bang Sholeh, warga desa kita ada yang meninggal…!” Ungkapnya singkat.
“Innalillahi……… siapa pak Kades?” Ekspresi wajahku mulai serius.
“Mas Riyan….!  Tadi malam dia jatuh dari motor saat memboceng temannya pulang kerja. Menurut kesaksian teman korban yang selamat. Motor yang mereka naiki sempat dilempar dengan  batang kayu besar, sebelum akhirnya oleng, hilang keseimbangan dan menabrak tugu pembatas jalan.” Jelas pak kades memberikan informasi.
“Anehnya lagi Bang……,  menurut kesaksian  teman mas Riyan yang sempat sadarkan diri sebelum pingsan. Ia melihat  tubuh  mas Riyan diseret ke semak belukar oleh tiga orang  yang memakai penutup  muka.” Timpal mas Sugeng dengan wajah tegang.
“Trus tubuh mas Riyan ditemukan di mana….?” Aku semakin antusias mendengar penuturan mas Sugeng.
“Warga yang kebetulan lewat, menemukan jasad mas Riyan tak jauh dari temannya yang pingsan.” Jawabnya.
“Apakah ada luka memar akibat  benda keras atau luka sayatan? Yang mengidentifikasikan suatau  pembunuhan atau tindak kriminal…?” Aku sedikit berlagak layaknya  seorang polisi.
“Nggak ada Bang. Jasadnya masih utuh, hanya luka memar, lecet  dan kepala  bersimbah darah yang terlihat normal, mungkin karena benturan dengan tugu pembatas ataupun aspal jalan..!!”
‘‘Hm…aneh…. benar-benar aneh….” Gumamku sambil meraba-raba bulu jenggot yang mulai tumbuh.
“Iya Bang…., kejadiannya memang  misterius dan menimbulkan trauma untuk warga yang lain…!” Pak kades  menimpali.
“Apakah sudah menghubungi polisi?”
“Belum Bang, pihak keluarga tidak setuju. Takut jika diautopsi, akhirnya permasalahannya jadi berkepanjangan”
Sejenak aku mencerna cerita yang disampaikan pak kades dan mas Sugeng. Tiba-tiba suhu badanku panas dingin, tak lagi memperdulikan kesejukan embun pagi.
“Maaf pak Kades, ngomong-ngomong apa yang bisa saya bantu atas semua kabar ini…?”
“Oh iya…. sampai lupa. Pak mudin di desa kita lagi gak ada. Katanya  pergi ke rumah mertua. Jadi, kita minta tolong  sama bang Sholeh agar mengurus jenazah hingga  ke pemakaman…” Jelas pak kades dengan senyum harap.
Aku  menelan ludah berat mendengar permintaan tolong dari pak kades. Mandiin jenazah….? Ya Allah…. itu terkesan menakutkan. Selama ini, di pesantren baru praktik  mandiin jenazah palsu alias mandiin teman yang  pura-pura jadi mayit. Tapi, apa boleh buat. Tak mungkin Muhammad Sholeh yang  terkenal di desa  sebagai santri sakti akan mengatakan tidak.
“Ehm….. ya udah kalau begitu, saya mau persiapan dulu, sekalian mau menyelesaikan dzikir..”
“Terimakasih bang Sholeh, kami tunggu kedatangannya.”
Pak kades dan mas Sugeng telah berlalu pergi. Sementara aku masih bingung dan mengingat-ingat  cara mengurus jenazah yang benar. Karena memandikan jenazah  tentu saja tak seperti memandikan adek kita yang masih kecil.
Yaps, hampir lupa kalau belum cerita. Baru dua minggu pulang ke kampung halaman, tepatnya  di desa Nusa Raya, kota Palembang. Aku sudah menjadi sorotan dan rujukan bagi masyarakat. Mungkin karena cerita dari santri-santri lain tentang seluk belukku di pesantren.
Bukan bermaksud sombong atau keGR-an, tapi sekedar takhdits binni’mah (mensyukuri nikmat dengan cara menceritakannya).  Karena selalu latihan fisik alias  ilmu bela diri di siang hari, akhirnya teman-teman memanggilku Bang Sholeh, katanya sih biar terkesan ganas. Sedangkan, karena  wiridan alias tawajuhan dan melek di malam hari, orang-orang pun menjulukiku mbah Sholeh. Katanya sih biar terkesan  angker. Dari dua panggilan itu, akhirnya  timbul sebutan baru untukku, yaitu bang Sholeh si santri sakti. Jeng…..jeng……
Aku pernah bermimpi ingin menjadi Ibnu Batuthah yang berkelana keliling dunia, dan memiliki berjuta pengalaman yang menakjubkan, hingga kisah beliau ditulis dalam buku tebal dengan judul “Rihlah Ibnu Batuthah”. Begitupun aku, ingin berkelana ke penjuru dunia, hingga kisahku dibukukan dengan judul “Rihlah Muhammad Sholeh.”
Aku juga pernah bercita-cita ingin menjadi seorang pemberani layaknya  Cheng Ho, pelaut muslim yang  berlayar ke berbagai negara. Hingga kesuksesan beliau dijadikan sebagai rujukan  bagi pelaut lainnya. Bahkan Vasco de Gama, Marcopolo dan Cristhoper Colombus tak bisa menandinginya. Yaps….. suatu saat semua orang akan membaca kisahku. Petualangan Muhammad Sholeh, yang akan terkenang  dan terukir indah dengan tinta emas sejarah dunia……hm…. alangkah indahnya.
“Sholeh…….!! Astaghfirullah…… ! Sudah ditunggu orang kampung, kok malah  asyik  ngelamun di depan jendela.  Sudah jadi ustass… masih aja suka ngelamun….” Omel ummi yang berdiri di depan kamar.
Huf….  aku kaget dibuatnya. Lamunan indah pun buyar entah ke mana….
Tak perlu berdandan rapih, karena aku bukan mau kondangan, tapi  mengurus jenazah. Motor matic second yang baru satu minggu dibelikan abah, sudah siap menunggu empunya. Jantungku mulai berdebar dan keringat dingin pun mulai memaksa menyembul dari pori-pori. Rumah kediaman mas Riyan sudah mulai dipadati warga yang melayat. Bendera kuning pun sudah tertancap sepanjang jalan. Baru turun dari motor, pak kades langsung  mendekat ke arahku.
“Bang Sholeh…….., dari mana aja, kok lama…..?” Tanya pak kades sambil nyengir.
“Emangnya udah pada nunggu ya Pak…..?”
“Nggak juga sih….he…he…..”
“Yah… kirain udah  nungguin saya. Trus,  kok pak kades buru-buru nemuin saya, emangnya ada apa?”
“Mau ngasih informasi baru Bang…. pak mudin ternyata sudah di rumah, sebentar lagi mau kesini”
“Alhamdulillah……..,” Ketusku sambil mengelus dada “kalau begitu saya pulang aja dech..”
“Waduh… ya nggak gitu juga  lah Bang. Mendingan sekarang abang periksa dulu  jenazahnya mas Riyan. Siapa tau Bang Sholeh bisa memecahkan permasalahan tentang janggalnya  kecelakaan  yang menimpa mas Riyan..”
Sejenak aku menimbang-nimbang tawaran pak kades. Tapi, ada betulnya juga perkataannya.  Itung-itung untuk menjaga reputasiku sebagai santri sakti. Kulihat keluarga  mas Riyan  masih menangis tersedu-sedu, suara mereka membahana memenuhi atmosfir rumah. Ah….  jadi tak tega melihatnya.
Jenazah mas Riyan masih terbaring tertutup kain selendang batik di atas ranjang. Kepalanya masih tampak diperban. Jika diamati dari darah yang membekas merah di kain perban, bisa disimpulkan  bahwa lukanya lumayan parah. Tapi bukan masalah luka  di kepala yang harus kuselesaikan. Melaikan cerita dari teman korban, yang mengungkapkan bahwa jenazah  mas Riyan sempat diseret  oleh tiga orang ke semak belukar. Itulah teka-teki yang harus kupecahkan.
“Maaf Pak…. apa saya boleh melihat-lihat keadaan jenazahnya mas Riyan..?” Izinku kepada pak Darman, orangtua mas Riyan.
“Iya Bang…. silahkan…” Jawabnya dengan mata sembab, mungkin ia sudah menangis semalam suntuk.
Tidak ada luka ganjil yang kutemukan, semua wajar-wajar saja. Tapi, jika cerita dari teman korban itu benar. Maka ada dua pertanyaan yang harus kutemukan jawabannya.  Pertama,  tiga orang bertopeng yang misterius itu menarik tubuh mas Riyan dalam keadaan hidup atau sudah  mati? Jika masih hidup, berarti  ini kasus pembunuhan. Kedua,  kalau sudah mati,  apa yang mereka inginkan?
Aku masih terus mencoba  menganalisa luka-luka yang ada. Tapi tetap saja, hanya luka lecet dan memar yang mungkin karena benturan dengan aspal jalan. Hampir  saja aku putus asa, hingga kutemukan sesuatu. Di bagian kanan leher korban, ada luka seperti  bekas suntikan atau tusukan jarum, tepat pada  pembuluh darah yang mengarah ke kepala.Tapi entahlah, aku juga belum tahu apakah dugaanku benar atau tidak. Lagi pula,  Sholeh bukanlah seorang detektif konyol seperti Abdul Kosim, dan juga bukan dokter.
Tak boleh bersikap gegabah, apalagi mengungkapkan kecurigaanku terhadap luka di leher jenazah kepada anggota keluarga. Karena itu  bisa menambah dalamnya luka kesedihan di hati mereka. Biarkan saja keluarga mengikhlaskan  kepergian  mas Riyan. Sedangkan kasus ini akan  tetap menjadi  teka-teki yang harus kuselesaikan.
“Assalamualaikum………” Salam seorang  laki-laki yang sepertinya sudah tua.
Ternyata  itu suara pak mudin. Syukurlah beliau sudah datang. Jadinya aku tak perlu susah payah untuk mengurus jenazah mas Riyan.
“Jenazahnya sudah dimandiin Bang…?” Tanya pak mudin sambil senyum menampakkan gigi ompongnya.
“Belum Pak…. saya baru datang dan melihat-lihat sebentar. Mari silahkan….”
Semua pengurusan jenazah dari  A-Sampai-Z, dari berangkat hingga kembali dari pemakaman diurus oleh pak mudin. Beliau begitu cekatan. Maklum lah, baliau sudah menjabat menjadi mudin sejak zaman dinosaurus masih imut, alias udah lama banget. Maka bisa dibilang dengan merem pun, beliau bisa menyelesaikan perkerjaannya.
Sore hari, setelah wiridan pagi petang. Aku kembali membuka cakrawala dunia yang tanpa batas dan bebas kuota. Yaps, tentu saja dengan melamun. Aku masih berfikir keras untuk memecahkan teka-teki mengenai peristiwa kecelakaan mas Riyan dengan temannya.
Sudah bukan hal yang baru, bahwa  jalur alternatif alias jalan trobosan untuk menghubungkan antara desa satu dengan desa yang lain, merupakan rute yang sering terjadi pembegalan atau perampokan di malam hari. Mungkin karena situasi jalan yang sepi dan di tengah-tengah pohon karet juga semak belukar.
Sedangkan cerita mengenai panarikan tubuh mas Riyan oleh tiga orang misterius bertopeng ke semak belukar adalah hal yang baru. Aku juga masih penasaran dengan luka yang ada di leher korban. Jika benar itu bekas suntikan, lantas untuk apa? Apakah  tubuh mas Riyan disuntik racun? Ah…. aku harus cari tahu….
Malam ini aku akan pergi ke TKP. Siapa tahu para penjahat  bertopeng itu akan keluar dan beraksi lagi. Untuk menunjang keberhasilan  dan keamanan, tentu saja aku tak sendiri. Di desa sebelah ada seorang santri yang termasuk teman seperjuangan ketika di pesantren, namanya Insan al-Kamil. Dia memang tak terlalu punya pamor sepertiku, tapi kemampuan bela dirinya juga cukup mumpuni. Dan satu hal lagi, Insan adalah putra  dari seorang santri legendaris, yang kisahnya  pernah diangkat ke dalam cerpen di sebuah majalah  paling keren di pesantren. Dengan judul, “lika-liku laki-laki yang terluka-luka”. Tak asing lagi, beliau adalah ustadz Irfan.
Sejak kepulangan beliau. Ilmu yang diperoleh di pesantren begitu tampak barokahnya. Yang bikin aku ngiler, kabarnya beliau dinikahkan dengan anak pedagang tajir keturunan Arab. Maka tak ayal, kalau kecantikan istri  beliau sudah menjadi ittifaq alias kesepakatan seluruh penduduk desa. Entah benar atau tidak, yang jelas sekarang udah tua.
Beliau juga dibangunkan  madrasah TK, TPA yang jumlah santrinya sudah mencapai seratus orang lebih. Malam ini, sebelum melakukan penyelidikan ke TKP, aku akan  meminta nasehat arahan dan minta izin utuk mengajak Insan.
# # #
Rumah Ustadz Irfan bisa dikatakan mirip bangunan masjid. Hal  ini tampak dari teras rumah yang meniru bangunan serambi masjid. Dengan bentuk kubah yang menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lainnya. Kaligrafi-kaligarafi indah pun banyak terpajang di dinding rumah. Semua ini semakin menguatkan testimoni  dari orang-orang yang mengatakan bahwa istri beliau adalah keturuan Arab. Hah…. entahlah, aku tak boleh memikirkan istri orang lain. Apalagi beliau adalah ulama’ di desa ini.
Aku mengatakan sejujur-jujurnya perihal kepentinganku untuk mengajak Insan pergi malam-malam. Juga kuceritakan  mengenai keadaan jasad mas Riyan. Perasaan khawatir jika tidak diizinkan ternyata salah. Beliau  justru senang dan  memberikan beberapa nasehat kepadaku, termasuk juga Insan yang duduk di depannnya.
“Saya bangga melihat pemuda yang  pemberani. Menjalani lika-liku kehidupan  dengan penuh perjuangan…hmm…..,” Untuk beberapa saat beliau tersenyum dengan pandangan kosong, seolah teringat sesuatu, “saya jadi ingat motto hidup yang sering didengungkan oleh  guru  saya ketika di kelas. Beliau bilang, hidup adalah perjuangan….”
Aku dan Insan saling pandang. Ia seperti  mentransfer kata-kata dari hatinya. Itu kan motto hidup guru kita juga.
“Saya izinkan kalian pergi. Saya juga do’akan  keselamatan untuk  kalian berdua. Pesan  yang terpenting adalah, jangan sampai lupa membaca ayat-ayat penjagaan yang biasa dibaca dipesantren….”
Setelah berpamitan  dan cium tangan. Kami segera melesat kencang menggunakan matic kesayangan. Rute  yang kami lewati adalah jalan alternatif dari desa Nusa Tunggal  ke desa Karang Sari, tempat penambangan batu bara yang puluhan tahun lalu menggusur  rumah keluarga Ustadz Irfan.
“Leh…. kita nggak bawa senjata apa-apa? Emangnya  mau ngelawan anak kecil!!” Tanya Insan dalam perjalanan.
“Kita kan jago bela diri San…..” Jawabku mantap.
“Kalau mereka  bawa pedang… ! Emangnya mau ditangkis…? Sejak kapan ente punya ilmu kebal Leh….” Sangkal Insan.
“Trus usulan kamu gimana San…?”
“Mendingan ke rumah pak kades dulu. Kita pinjam pentungan yang biasa dipakai patroli para hansip desa”
“Yaps… usulan bagus tuh… oke, kita OTW……”
Kami berdua sepakat mampir ke rumah pak kades untuk meminjam pentungan yang biasa dipakai patroli para hansip. Meskipun tak setajam pedang, tapi lumayan keras, itung-itung bisa digunakan untuk menangkis  pedang lawan. Setelah  dapat, kami hanya menjawab  singkat pertanyaan pak  kades “untuk mainan Pak….,” dan secepatnya menuju rute tujuan, tanpa menghiraukan wajah pak kades yang tampak penasaran.
Suasana jalan  sunyi senyap. Bahkan hewan-hewan melata seperti takut berpatroli di balik semak-semak.  Kami sengaja mengendarai motor  pelan-pelan, dengan kecepatan 20 km/jam.
“San….. antisipasilah keadaan…. jika ada tanda-tanda musuh menyerang, cepat melompat dan pukul mereka..!!”  Komandoku kepada Insan yang terlihat cemas.
Aku bisa melihat wajah tegang Insan dari kaca spion motor. Sudah lebih  300 meter melaju, tapi tetap tak ada tanda-tanda para pembegal yang menyerang.  Meski baru jam 22.00 malam, angin terasa kencang, ditambah suara burung hantu yang bersaut-sautan dan kelelawar yang terbang kesana kemari, membuat bulu kuduk merinding. Lebih-lebih lagi Insan, ia duduk di belakang dengan memegang erat bajuku.
“Santai San, jangan takut.  Terus aja baca ayat kursi….” Ucapku sok paling berani. Meski takut, aku harus menjaga reputasiku sebagai santri sakti.
“Leh….. Sholeh…. berhenti dulu…” Ketus Insan yang membuat jantungku hampir melesat. Aku deg-degan gak karuan.
“Ada apa………….?!!” Suaraku mendesis pelan.
“Lihat ke sebelah kanan, di bawah sana ada banyak orang membawa obor yang menerangi tepian sungai.” Jawabnya sambil menunjuk segerombolan orang di dekat sungai.
Kuhentikan laju motor tepat di atas jembatan. Secepatnya kumatikan mesin agar tak ketahuan. Sungai yang ada di bawah kami luamayan besar. Lebarnya kira-kira  5 meter, dan agak berbatu. Jika ikut pribahasa “air beriak tanda tak dalam” maka sungai ini pun sepertinya juga begitu.
“San……. kamu mau ke mana…..?!!” Panggilku pelan , kulihat ia hendak melompat menuju tepian sungai.
“Aku mau turun Leh…………. penasaran dengan mereka…..” Jawabnya singkat.
“Jangan gegabah San…. kita intip dulu dari tempat ini….”
Huf…. temanku yang satu ini memang aneh. Tadi dia ketakutan, sekarang justru semangat karena penasaran. Untuk beberapa saat, aku mengajaknya mengintip orang-orang yang sedang membawa obor di tepian sungai. Jarak kami dan mereka kurang lebih 100 meter. Wajah mereka tak terlihat jelas karena gelapnya malam, hanya remang-remang terkena sinar api obor. Jika melihat apa yang mereka kerjakan, sepertinya ini sebuah ritual. Tapi aku  belum tahu ritual apa.
Orang-orang yang memegang obor itu berdiri rapih di tepian sungai. Aku baru sadar suatu hal, bahwa sungai tempat mereka berkumpul itu ternyata pertemuan dua muara. Sungai  yang mengalir dari arah kami mengintip, tepatnya dari arah selatan, bertemu dengan sungai yang  mengalir dari arah utara. Dari pertemuan itu,terbentuklah aliran baru ke arah barat. Nah…. seingatku, bertemunya dua muara merupakan tempat berkumpulnya  makhluk ghoib. Maka tak heran bila tempat seperti ini sering digelar acara ritual  bagi para dukun.
“Leh…. aku udah gak sabar lagi menunggu! Mendingan kita cepat mendekat biar  semuanya jelas…” Ujar Insan tak sabar, dan segera berpaling pergi.
“San …… tunggu aku. Jangan gegabah!!”
Aku secepatnya bangkit menyusul Insan yang mencoba melompat turun dari pagar pembatas jalan.
“Aaakkrrrgg………!!” Jerit Insan yang membuatku kaget kepalang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 12, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Diary Santri SaktiWhere stories live. Discover now