Chapter 6

7K 1.3K 137
                                    

"Iya, lo nggak salah dengar... julukannya ayam kremes, stands for, ayah muda, keren dan gemes."

&&&

Di tengah ramainya pengunjung, dengan mudah, aku menangkap sosok Mas Arya yang baru saja memasuki Zwecker Bakery. Aku melambaikan tanganku untuk menarik atensi Mas Arya. Altan tengah tidur di pangkuanku, makanya, aku nggak bisa banyak bergerak, takut kalau-kalau dia terbangun.

Melihat lambaian tanganku, Mas Arya pun menghampiri. Wajah lelaki itu tampak sedikit kusut, mungkin mood-nya kurang bagus karena lelah setelah seharian bekerja. Meski begitu, Mas Arya tetap berusaha untuk terlihat ramah dengan menunjukkan seulas senyum, cukup untuk membuatnya terlihat lebih baik.

"Hai. Tidur ya?" tanya Mas Arya mengacu pada Altan.

"Iya. Capek main, terus ketiduran," jawabku. "Mas Arya mau langsung ngajak Al pulang?"

"Kayaknya saya makan dulu di sini. Saya belum makan dari tadi siang." Mas Arya duduk di sofa kosong di depanku, tapi tak lama, dia kembali berdiri. "Kamu mau pulang sekarang ya? Biar saya yang gantiin kamu di situ,"

"Ah, nggak apa-apa kok. Saya nggak lagi buru-buru pulang, jadi, nggak masalah kalau nungguin Mas makan dulu. Lagian, kalau kita tukeran tempat, takutnya Altan bangun. Dia baru banget tidur,"

"Iya sih, agak repot kalau dia bangun. Altan sering ngadat kalau tidurnya diganggu." Mas Arya manggut-manggut, "makasih kalau gitu."

Detik berikutnya, Mas Arya memesan makanan dan segelas iced lychee tea. Di Zwecker Bakery, tidak ada menu main course seperti nasi atau mie, jadi Mas Arya memesan croissant egg benedict yang menurutnya cukup untuk mengganjal rasa laparnya.

Selagi Mas Arya makan, aku mengisi waktu dengan membaca buku digital. Sesekali, aku mengawasi Mas Arya yang menikmati rotinya sambil memainkan ponsel. Bunyi notifikasi di ponselnya menandakan kalau laki-laki itu tengah chatting melalui WhatsApp. Aku yakin, dia tengah mengobrol tentang pekerjaan, karena beberapa kali Mas Arya terlihat berpikir keras, kentara dari dahinya yang berkerut halus.

Aku terkesiap saat Mas Arya tiba-tiba menatapku. Lelaki itu juga terlihat kaget begitu sadar aku sedang memandanginya, malah sampai tersedak dan terbatuk kecil.

Dengan cepat, aku memutar otak untuk mencari alasan agar nggak kelihatan freak banget. Gimana nggak disangka freak? Ketahuan ngelihatin dia makan coba. "Ada saus custard di sudut bibir, Mas," cicitku. Aku nggak bohong kok, memang ada saus di bibir Mas Arya. 

"Oh, iya ya?" Mas Arya meraih tisu dan mengelap sudut-sudut bibirnya. Dia tersenyum kecil, "thanks. Maaf ya, saya malah ngacangin kamu,"

"Nggak apa-apa kok, Mas, santai aja." Aku nggak percaya sama apa yang baru saja aku ucapkan. Aku menyuruh Mas Arya santai, padahal aku sendiri nggak bisa santai sekarang. Jantungku berdebar dengan ritme cepat, efek kejut dari ditatap tiba-tiba oleh Mas Arya masih belum hilang.

Mas Arya meminum iced lychee tea yang sedari tadi tak tersentuh olehnya. Dia menaruh ponselnya di saku celana, lalu melanjutkan makannya. Dia berdeham sebelum memulai percakapan denganku. "Kamu nggak pernah kelihatan lagi di Ekuitas Tower,"

"Ah, iya. Kontraknya udah habis sejak lama," sahutku. "Mas pernah lihat saya di sana selain waktu saya nabrak Mas?"

"Selama kamu kerja di sana, saya sering lihat kamu sama orang Jepang—yang waktu itu nyamperin saya untuk minta maaf. Siapa ya namanya? Kamikaze?"

Aku mengulum tawaku. "Kazehaya," ralatku.

"Oh iya, Kazehaya," sahut Mas Arya disusul dengan kekehan singkat. "Rasanya belakangan ini, saya lebih mudah mengingat wajah daripada nama."

New Interim+ [Tamat di Storial]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang