Prolog

23 3 2
                                    

Happy reading😊😘

•••

Ada sesuatu yang tak usai ketika matahari terbenam.

Senja menjadi tanda bersambungnya cerita kita.
Tak ada jawaban atas pertanyaan, tak ada kesepakatan atas perbincangan, tak ada pernyataan atas kenyataan yang terungkap.
Pembicaraan usai seketika itu juga. Menggantung, dan sulit untuk ditebak.

Semua ada pada dirimu, jawaban, kesepakatan, pernyataan.

Katanya, tak ada kisah yang berakhir sedih, jika kisahmu berakhir menyedihkan, maka percayalah kisahmu belum berakhir.
Maka kuputuskan mempercayai kisah kita belum berakhir.

Meski aku tak tahu kapan kelanjutannya akan dimulai.
Meski aku tau, tak ada harapan ketika melihatmu berbakllik, pun dengan apa yang aku percayai belum tentu dapat terbukti.

Satu hal yang pasti ada dalam hatiku,

Aku menunggumu.

Menjawab pertanyaanku, meraih kesepakatan atas perbincangan kala itu, juga pernyataanmu.
Mungkin aku sedikit masih mengharapkanmu. Karena percayalah, yang aku rasakan tidak akan pernah bisa kamu bayangkan.

Annasnii

...

Senja masih di sana. Semburatnya masih menguasai langit. Aku terdiam, di atas pohon beranting lebat menatap lurus senja. Banyak yang bilang aku periang, cuek, juga jaim. Banyak yang bilang aku malas, dan kurang bersih. Tapi, saat di atas pohon ini. Aku merasa inilah aku yang sebenarnya. Dengan buku dipangkuan, pulpen ditangan, dan senyum dibibir. Baru saja beberapa kalimat aku rangkai dan kutulis dalam buku. Menggambarkan perasaanku kali ini.

Rindu.

Yah saat menatap senja aku rindu. Atau tidak? Apa memikirkan-nya bisa dikatakan rindu? Atau hanya sekedar mengingat? Atau mungkin perasaan sesaat? Pastinya itulah yang aku rasa saat ini. Kembali mengingat hal yang pernah terjadi disini. Kenangan yang ingin ku lupakan, namun tetap selalu teringat.

Tidak banyak yang berubah sejak enam tahun berlalu. Selain aku yang tumbuh menjadi seorang muslimah yang insyaallah selalu merindukan rasul-Nya. Bagaimana kabarnya? Aku tak pernah tahu itu. Katanya dia akan kembali, namun Ia melarang untukku menunggu.

"Allah sudah mengatur semua. Kau tunggu atau tidak, jika kita ditakdirkan, maka kau dan aku pasti akan bersama." Sejenak terdiam, menaruh tangan hangatnya di atas kepalaku dan mengusapnya perlahan.

"Aku hanya tidak ingin kau dipenuhi harapan yang tidak pasti. Aku tidak ingin kau terlalu menunggu hingga menolak takdir yang Allah tetapkan padamu. Cukuplah kita jalani dan berserah pada-Nya. Teman kecil yang aku sayangi dan akan selalu ku sayangi." Lanjutnya setelah diam cukup lama. Pun salam mengakhiri perbincangan kala itu.

Dia pergi. Dan aku mengetahuinya setelah keesoka harinya mama mengatakan padaku. "Leon pergi. Kenapa tidak kau antar Ia ke bandara?" Kata mama kala itu melihatku baru saja keluar kamar dengan tampilan berantakan tanda aku baru saja bangun dari tidurku.

Aku masih ingat sehabis mendengar mama mengatakan itu, aku berlari ke rumah sebelah yang tak lain adalah rumahnya. Sunyi. Yang kudapat hanya sunyi. Tak ada mobil hitam yang terparkir ditempat biasanya, tak ada sepeda putih yang biasa Ia pakai memboncengku, tak ada Tante Rima yang tengah menyapu. Kemana mereka? Om Ali-pun tak terlihat membaca koran di teras rumah.

Lesu aku kembali ke rumah. Menangis memeluk mama. Mama hanya balas memeluk dan mengusap punggungku. Tak bertanya apapun. Beberapa hari yang lalu Mama baru mengatakan bahwa Ia bahkan sengaja tak membangunkan ku pagi itu, karena permintaan Leon. Dan benar saja. Jika aku terbangun kala itu, bisa dipastikan aku akan menghalanginya untuk pergi. Entah bagaimanapun caranya. Apalah daya enam tahun sudah berlalu dan aku tahu kenyataannya baru beberapa hari yang lalu.

Sampai saat ini tak ada kabar. Seolah hilang dan terlupakan. Rumah yang dulu menjadi tempat bermainku kini tampak tak terurus. Sebab si pemilik hanya membeli tanpa menempati. Aku bahkan yakin jika ingin menempati rumah itu, harus dilakukan renovasi besar-besaran. Mengganti atap yang bocor, mencat ulang dinding yang berlumut, mengganti perabotan yang lapuk. Yang aku tahu saat ini hanya Ia benar-benar pergi, tanpa pamit, ahh tidak dia pamit namun disaat aku tak mengerti maksud perkataannya yang hanya melarang untukku menunggu.


Tapi, tanpa diketahui siapapun, aku menunggu. Hatiku menolak untuk tak tetap menunggu.

•••

Semoga kalian suka. Mohon kritik dan sarannya, dan tekan bintang dibawah hehehe.

Salam sayang, Anny :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

About the Actual LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang