Rintikan hujan di atas sana membuat gadis berkuncir itu tersadar dari lamunannya. Ia pun beranjak berdiri dari tempat duduknya dengan menghela kasar. Tidak menyangka akan mendapat kenyataan semenyakitkan ini."Saya permisi pulamg, kak." Pamit Syahir di dalam sana dengan tersenyum samar ke arah seniornya. Pemuda jangkung itu pun perlahan melangkah keluar dengan tangan kanannya yang memegang tongkatnya dan tangan kirinya yang berusaha meraba-raba sekitarnya.
Erisa yang masih berdiri di samping pintu masuk memandangi itu dengan perasaan sesaknya. Tidak tega sekaligus tidak terima kenapa cowok ini mendadak kehilangan penglihatannya.
"Lo belum pulang?" Tutur Syahir dengan mengerjap samar membuat Erisa berdehem pelan. Suaranya agak serak karena menangis lama di toilet tadi. "Ini gue mau pulang." Balasnya dengan menelan salivanya kasar. "Gue duluan kalau gitu," pamit Syahir sembari tersenyum tipis lalu melangkah pelan menyusuri trotoar dengan diiringi suara ketukan tongkatnya.
Erisa masih berdiam diri di tempat. Masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi. Erisa berharap ini adalah salah satu mimpi buruknya. Hanya mimpi yang tidak akan pernah menjadi nyata.
Erisa menipiskan bibir lalu berlari kecil mengekori Syahir yang hendak pulang ke rumahnya. Pemuda di depan sana masih melangkah tenang dengan cahaya remamg-remang di sekitarnya. Sebenarnya Erisa masih penasaran. Apa yang terjadi sampai Syahir menjadi seperti ini. Sejak kapan pemuda itu jadi begini. Kenapa Erisa tidak tahu-menahu tentang kabar buruk ini. Erisa ingin tahu.
Erisa menautkan alis saat Syahir tidak berjalan lurus ke arah rumahnya. Pemuda itu malah berbelok masuk ke jalanan sempit, tempat dimana rumah-rumah kost berada. Erisa makin menegakan tubuh saat pemuda itu menghentikan langkahnya di depan sana dengan merunduk dalam. Syahir seperti mengobrol dengan seseorang namun Erisa tidak bisa melihatnya dengan jelas karena dihalangi tembok rumah.
Syahir mengulum bibir dengan pasrah saat dihadang teman sekelasnya itu. "Mana uang yang gue suruh ambil? Kenapa gak lo bawa?" Sentak salah satu dari mereka dengan mengetuk-ngetuk kening pemuda itu kasar. "Gue gak bisa nyuri. Lagipula gue gak harus ngasih kalian setiap hari kan?"
"Ck. Elo tuh emang ngelunjak ya? Syukur-syukur orang buta kayak lo bisa ngontrak disini. Kalau bukan karena kita bertiga, elo akan jadi gembel diluaran sana. Walau status itu cocok sama lo sih." Kata pemuda yang paling kurus dengan tergelak membuat teman-temannya ikut terbahak sembari menabok-nabok kepala Syahir kasar. "Elo tuh seharusnya bersyukur. Kalau bukan karena gue, elo gak akan dapat kontrakan yang bagus kayak di tempat ini. Seharusnya elo balas budi. Masa cuma ngambil uang di tempat kerja lo gak bisa?" Kata yang lainnya dengan meraih tongkat Syahir sembari berjalan seperti otang buta. "Eh gue udah cocok gak nih jadi buta?"
Teman-temannya cekikikan dengan geli sembari mengangkat jempol mengangguk mengiyakan.
Syahir hanya menghela panjang. Pemuda itu pasrah saja diperlakukan tidak baik oleh ketiga teman sekelasnya itu. Lagipula Syahir tidak bisa melawan, dan tidak pernah berniat untuk melawan mereka. Karena percuma, setelah kapok membully Syahir mereka akan mencari target yang lebih lemah dari Syahir dan mengulangi perbuatan mereka. Daripada orang lain yang merasakan itu, lebih baik Syahir saja. Karena Syahir lebih pantas dibanding mereka.
"Heh ngomong dong. Kenapa diam aja, elo mendadak jadi bisu lagi?"
"Enggak. Gue cuma mau pulang,"
"Ck. Elo gak akan pulang sebelum lo bayar kita dengan sesuatu."
"A-pa?"
Ketiganya saling pandang dengan mengedipkan mata satu sama lain. Memikirkan satu rencana jahil untuk pemuda di depan mereka.
Salah satu dari mereka maju dan memegang kedua lengan Syahir menariknya ke belakang. Dan yang satu lagi bergerak memegang ponsel mereka. Yang terakhir yang bertugas melepas sabuk celana pemuda itu hendak menurunkannya membuat Syahir meronta meminta dilepaskan.
"Diem buta. Kita cuma ngambil video bagus buat lo elah," katanya tanpa dosa membuat Syahir mengeraskan rahangnya. "Buka resleting celananya." Titah yang memegang kamera membuat temannya mengangguk menurut. Namun, saat mereka hendak menelanjangkan pemuda itu, tiba-tiba ketiganya kompak terbanting di tanah dengan kasarnya membuat mereka meringis kesakitan.
Tendangan sekali putaran itu membuat ketiganya terbatuk sampai berdarah dengan salah satu dari mereka kehilangan gigi depannya. Syahir yang masih tidak tahu-menahu itu hanya mengerjap kebingungan membuat sosok yang kini merunduk membantunya berdiri menghela pelan lalu menoleh ke arah ketiganya.
"Elo siapa bangsat? Ngapain ikut campur?! Ini masalah gue sama si buta ini!"
"Ck." Decak sosok misterius itu lalu meraih kerah baju pemuda yang ngotot padanya dan menghadiahinya tonjokan kuat. "Ngomong yang benar." Balasnya dingin masih menatap ketiganya tajam. "G-gu-gue cuma main-main sama dia. Lagian dia itu teman sekelas kita." Jelasnya masih bergetar kecil memandangi sosok jangkung berhoodie hitam di depannya itu. "Kalau gitu, lanjut main sama gue." Kata sosok itu dengan berjongkok dan menatap tajam ketiganya. "Mau main apa? Patahin anggota tubuh, rontokin gigi, atau kehilangan salah satu fungsi indera kalian?" Tambahnya masih dengan rahang yang mengeras.
Syahir masih terdiam. Dengan menelan salivanya kasar. Tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Pemuda itu hanya berdiri menunggu sosok asing itu menyelasaikan aksinya.
"Ki-kita minta maaf. G-gue gak akan gangguin si buta itu lag---"
"Namanya Syahir." Potong sosok itu cepat dengan menabok pipi pemuda di depannya kasar. "Iya, iya maksud gue Syahir." Balasnya takut dengan tubuh bergetar kecil membuat sosok itu beranjak berdiri dengan mengibaskan tangannya menyuruh ketiganya pergi.
Ketiganya sontak berlari terbirit-birit dengan ketakutan. Mungkin tidak akan pernah berani menyentuh Syahir lagi.
"Terima kasih." Tutur Syahir tulus dengan tersenyum samar. "Gak perlu. Udah tugas gue," balasnya masih dingin sembari merendahkan tubuh meraih tongkat Syahir dan menyodorkan pada pemuda di depannya. "Kalau mereka masih datangin lo. Bilang ke gue."
"Heheh gak usah. Lagian mereka gak berniat begitu kok,"
"Jangan terlalu naif. Elo boleh kehilangan penglihatan lo, tapi jangan akal sehat lo."
Syahir menelan salivanya kasar mendengar omongan pedas itu. "Kalau elo terus-terusan pasrah dan biarin mereka nginjak-nginjak lo. Elo akan tetap jadi bulan-bulanan mereka. Setidaknya lo harus lawan mereka."
Syahir tersenyum miris dengan membasahi bibirnya.
"Gue lawannya gimana? Mukul mereka dengan cara meraba-raba? Atau tendang mereka asal-asalan tanpa tahu keberadaan mereka dimana?" Mendengar itu sosok jangkung didepannya mengeraskan rahang dengan menurunkan kupluk hoodienya. "Bisa. Asal lo mau. Gue bisa ajarin," balasnya membuat Syahir mengerjap kaget lalu terdiam. Entah kenapa merasa familiar dengan nada dingin orang di hadapannya ini.
Erisa yang masih berdiri di balik tembok rumah menegak kaget. Gadis itu sedari tadi berusaha mempertajam penglihatannya dan makin mengangguk membenarkan. Ternyata sosok di depan sana benar-benar seseorang yang ia pikirakn sekarang.
"Ternyata beneran Syahid?"
Bissmillah
Semangat komennya gengs.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ingin Menjadi Matamu
Teen FictionIjinkan aku menjadi matamu agar aku bisa menceritakan bagaimana indahnya dunia yang tidak bisa kau lihat. Ijinkan aku menjadi bagian dari hidupmu agar aku bisa selamanya berada bersamamu.