19. Aku merindukanmu

105 20 13
                                    

Here we go~ semangat sampai epilog yehet!

.

.

.

Wajah yang selalu menghantui mimpiku perlahan memudar. Senyuman gigi kelinci semanis madu perlahan lenyap. Suara berat yang terngiang-ngiang di telingaku ikut terbang bersama angin dingin bulan Desember. Bahuku merosot. Tubuhku serasa terbakar rasa kecewa.

"Park Jihoon?"

Senyuman Jihoon tidak luntur barang sedetik pun. Laki-laki itu justru melambaikan tangan kecil. "Long time no see, Choi Yena."

Hentikan fantasi bodohmu, Choi Yena! Aku dapat mendengar teriakan yang bergaung di dalam kepalaku. Apa yang kau harapkan saat ini, Yena? Jelas-jelas manusia yang berdiri di hadapanmu adalah Park Jihoon, bukan yang lain, bukan laki-laki itu.

Jihoon menampilkan raut muka kecewa, namun hanya berlangsung sedetik, karena senyumnya kembali terpancar. Aku nyaris merasa silau karenanya. "Apa-apaan ini, kau tidak merindukanku?" Jihoon melangkah sejengkal. "Bagaimana kabarmu?"

"Ah," buru-buru aku mengubah raut wajahku, mencoba terlihat senormal mungkin. "baik. Bagaimana denganmu?"

Jihoon merentangkan dua tangannya lalu memutar tubuh. "Bagaimana kelihatannya."

Mau tidak mau aku tersenyum. "Never better."

Percakapan kami mau tidak mau terus berlanjut dengan panjang dan lama, sepanjang dan selama kedua pasang kaki kami saling bersahutan berjalan di atas bumi bersalju. Tidak ada percakapan yang istimewa selain menanyakan hal seputar kesehatan kami, studi, bagaimana kabar keluarga masing-masing. Hanya itu. Dan Jihoon masih terlihat sama, bahkan warna rambutnya.

Seharusnya kami bisa berhenti di mana saja, tapi percakapan yang terlalu asyik membuat kami berdua tidak sadar sudah sampai di depan rumahku.

"Terimakasih sudah mengantarkanku pulang." Aku menarik bibir untuk tersenyum. "Aku masuk dulu ya. Hati-hati."

"Tunggu, Choi Yena."

Aku yang telah berbalik memunggunginya terpaksa kembali menghadapnya. Jihoon tidak melanjutkan kata-katanya walau aku sudah menunggu dengan dua alis naik. Laki-laki itu terlihat ingin mengatakan sesuatu namun tidak yakin bagaimana untuk mengatakannya.

"Katakan saja, aku akan dengarkan."

Akhirnya dia tidak punya pilihan lain. Jihoon menilat bibir dan mulai berkata lirih, "Aku... merindukanmu."

Speechleess. Aku membatu, tidak beraksi. Beraksi, maksudku, terdiam. Tapi aku tidak menunjukkan gestur senang maupun sedih, terkejut saja tidak. Harusnya Jihoon tahu, bahwa aku sangat ingin mendengar kalimat itu, namun bukan olehnya, meski dia sendiri berhak mengatakannya.

Setidaknya aku tidak perlu menolak mentah-mentah kalimat itu, "Terimakasih."

Dan Jihoon memilih untuk tidak membiarkanku mengabaikannya, "Isi pesanku yang dulu itu, aku serius."

"Park Jihoon, aku—"

"Aku hanya ingin satu kesempatan." Kedua netra Jihoon memancarkan aura permohonan yang tinggi. "Satu saja."

***

08 Juni 2025

"Ayahku terlilit hutang dengan keluarga gadis itu hingga terpaksa menjualku." Jihoon tertawa di tengah ketidaklucuan di sekitar kami. Aku tahu laki-laki itu sedang menertawakan dirinya sendiri. "Namanya Jang Wonyoung. Aku sendiri tidak paham kenapa aku justru dijadikan tumbal. Lihat cincin ini, statusku adalah tunangannya sampai bocah itu lulus kuliah."

Yohan 2020 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang