1. Definisi Urat Malu

170 10 1
                                    

Aneth

—————

"PAK CEPET PAK ANETH UDAH TELAAATT!!!! "

GUE menarik, mencabik, mencakar, dan menggaruk-garuk jaket hitam-hijau bapak ojek yang gue naiki saat ini. Tak lupa juga gue pukul-pukul helmnya saking gregetnya.

"Iya neng, sabar atuh ini juga udah mau nyampe! " teriak bapaknya dengan logat khas sunda.

Dan benar, tak sampai lima menit gue udah sampe di depan gerbang kampus. Gue sebenernya juga udah tau sih kalo gak jauh lagi, cuma gue pingin ngedramatisir keadaan aja. Ehe.

Dengan cepat gue turun dan menyerahkan satu lembaran hijau tua, lalu beranjak pergi, "KEMBALIANNYA AMBIL AJA YA PAK! "

"EMANG UDAH PAS ATUH NENG!! WONG GENDENG! " Kayaknya bapak itu dari Sunda tapi udah lama di Jawa, jadinya kecampur gitu hihi. Lucu.

Mengabaikan teriakan bapak ojek, gue pun langsung berlari memasuki area kampus. Gue mengedarkan pandangan gue kesana dan kemari, terlihat sudah banyak maba yang berbaris rapih dengan fakultasnya masing-masing.

Gue jadi bingung. Barisan fakultas Arsitektur dimana, ya?

Eureka!

Mata gue dengan cermatnya menangkap rambut ikal hitam-kecoklatan milik Della yang berbaris paling belakang. Della itu sahabat gue dari SD, dan kita sering sekelas dari dulu. Kini pun kita masuk universitas dan fakultas yang sama. Maklum. Bespren poreper.

Tanpa babibubebo lagi gue pun segera mengendap menghampiri Della. Gue rasa gue cuma telat beberapa menit doang, pasti gue masih aman!

Dengan lincahnya kaki gue berjalan cepat, dan setengah meter lagi gue akan sampai ke tempat dimana Della berada.

Krek.

"Akh! " Langkah gue terhenti dan rasa sakit menjalar di kepala bagian kiri gue.

Perlahan gue melirik ke arah kiri.

Astaga!

Ada dada bidang seorang cowok.

Hmm.

Siapa, ya?

Tapi tunggu!

Ini kenapa gue kehenti, ya? Tangan dia gak nahan gue kok.

Pandangan gue terus naik ke atas. Dan mata gue semakin melebar begitu menyadari bahwa ternyata rambut panjang kusut gue terkait dengan kancing paling atas milik cowok yang ada di samping gue ini!

Pantes aja!

"Kamu telat? " Suara bariton yang rendah dan terkesan dingin terdengar, membuat gue merinding seketika.

Gue mendongak lebih atas lagi.

Akhirnya gue dapat melihat wajah cowok itu. Maklum. Dia tingginya udah kayak tokyo tower, sementara gue tingginya kayak boneka chukky. Eh. Tapi boneka chukky serem njir. Gue kan cantik. Ehe.

"Lari sepuluh putaran. " tegasnya.

Ah. Sial. Gue pikir semuanya akan berjalan lancar. Lagian gue kan gak telat-telat amat! Ketua panitia di depan juga kayaknya belum ceramah apa-apa! Berarti gue belum telat!

"Tapi, Kak. Kayaknya saya belum telat, deh. " sanggah gue.

"Lima belas putaran. " Si dugong! Malah ditambah sama dia. Kena badai petir juga runtuh lu tiang! Gausah sok asik!

Sabar.

"Hehe, Kak mending Kakak tanya aja sama Ketua Panitia di depan sana dia kan belum mulai apa-apa berarti saya belum telat, Kak. Kakak nahan saya kayak gini bikin saya tambah telat!! " celoteh gue. Bodo amat mau dia senior kek. Dia kan bukan Ketuanya! Tapi kok sok banget, sih!

MY HUSBAND IS MY SENIOR : UNSEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang