Prologue: Wasteland.

167 9 0
                                    

Dunia terbagi menjadi empat bagian besar yang terdinding rapi. Berdiri satu-satunya pemerintahan yang absolut di tengah-tengah, yang mengatur semua lapisan kehidupan. Mungkin sistem ini telah mengakar ratusan, atau ribuan, tahun yang lalu—tidak ada yang benar-benar tahu di dunia ini selain para ilmuwan Pusat yang bekerja tepat di bawah Pemerintah Dunia. Tidak ada yang lebih tahu daripada Pemerintah Dunia di Pusat, tidak ada yang paling benar di dunia ini selain Pemerintah Dunia.

"Aku juga beranggapan begitu," pria berpakaian lusuh membalas di antara sela nafasnya yang terengah. Mengangkut puluhan boks ini terasa sedikit ringan kalau sambil mengobrol. "Tapi, kadang aku heran."

"Yeah?" temannya membalas setelah lama tidak membalas. Boks yang baru saja dia pindahkan punya bau kayu yang berbeda, lebih elegan, dengan tulisan di atas kertas yang dilindungi sihir. "Aku masa bodoh dengan pemerintah. Selama aku bisa menebus dosaku di sini, aku ikut saja."

Pria itu berhenti mengangkut boks. Kewalahan. Matahari masih bersinar terik di pelabuhan Wain, kapal-kapal yang hendak menurunkan jangkar mendekat sangat perlahan. "Kau pernah ke Pusat?" tanyanya. Polos. "Pernah melihat semuanya?"

"Mana bisa orang sepertiku, atau kau, atau semua orang yang ada di kapal itu, bisa menginjakkan kaki di Pusat?" pria di sekitar mereka menyumbang tawa. "Buat pulang ke kampung halaman saja aku bisa mati. Bagaimana kalau ke Pusat."

Wasteland adalah mula dari lingkup Free Area, daerah yang tidak termasuk dalam 'dunia empat arah mata angin yang dipimpin Pusat'. Wasteland adalah rangkaian pulau untuk orang-orang tercoreng yang menunggu ajal menjemput. Banyak yang putus asa, hendak menggantung diri di sel yang mereka tinggali bertahun-tahun lamanya, tapi kalau mengingat konsekuensi dari mati di Wasteland? Mereka akan sadar dan kembali bekerja.

"Aku tidak ingin kerja terus setiap hari di sini. Menunggu panggilan untuk didakwa selama sepuluh tahun itu—itu konyol," pria itu memuntahkan kata-kata seperti zat beracun yang melubangi lidahnya. "Aku berharap ada keajaiban."

"Optimisme yang bagus," komentar yang lain, tidak tertarik dan masa bodoh. Boks-boks itu—dan yang akan datang—lebih menarik bagi pikirannya. Dia mengulang ucapan pria yang optimis itu dengan datar dan kosong. "Aku berharap ada keajaiban."

Chasing after Our EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang