Bersamaan dengan garis cahaya matahari pertama yang menembus horizon, seutas kilat menyambar dari darat, membelah langit hitam dengan kecepatan yang melampaui batas kemampuan manusia. Jimin menoleh ke arah Taehyung secepat sendinya bereaksi.
"Kau lihat itu?" Jimin berbisik, pupilnya membesar dan takut berenang-renang di wajahnya.
Berjalan mendekati jendela, Taehyung menengadah. Perasaan takjub yang membuat bulu kuduknya berdiri tegak menerpanya seperti gelombang tsunami. Langit tidak lagi hitam tanpa bintang. Tembakan petir yang menggedor jantung itu menciptakan gurat-gurat menyerupai nadi biru metalik yang berkilau di langit. Membelahnya, menyala, menghasilkan gemuruh raksasa yang menggetarkan kaca jendela dan degup jantung. Belum selesai mereka membeku di tempat, tembakan baru meluncur bagai meteor safir yang melawan gravitasi dan meledak di langit.
Warna biru melebar di sana, terurai, seolah bagian dari langit tengah dilalap oleh api. Telinga Taehyung bergetar sakit, udara mendadak berat seolah mendeteksi adanya bahaya besar yang akan meluluh-lantakkan Omerta.
"Pasukan Resistance," Jimin bersuara dengan susah payah dan gigi bergemeletuk. Saat pandangannya bertemu dengan mata Taehyung, warna biru yang menakjubkan itu terpantul di sana—di dua bola mata yang—demi Pusat yang terkutuk. Taehyung jatuh mimpi di saat begini?! "Taehyung?!"
Taehyung tidak merespons, mulutnya terbuka seolah rangkaian kata membeku di pangkal lidah bersama seluruh inci di tubuhnya. Matanya terbuka lebar hingga Jimin takut bola mata yang kini pucat dan kosong itu menggelinding jatuh dan pecah terinjak. Taehyung berada di situasi ini—situasi di mana dia berada di periode waktu yang sebelumnya Taehyung lihat di mimpi-mimpinya.
Taehyung telah melihat kejadian ini. Taehyung telah menerima pesan dari masa depan bahwa Resistance akan datang menyerang Mylva. Taehyung sudah tahu.
Keadaan ini menjadi jawaban bagi pertanyaan yang membebani hubungan persahabatannya dengan Taehyung. Lega, khawatir, bingung, kagum, sekaligus panik membanjiri perasaan. Sambil menunduk meraih belakang lutut Taehyung, Jimin membatalkan glamor yang menyamarkan penampilan mereka. Pintu Perpustakaan berdiri tidak jauh, pijakan Jimin tegas dan cepat, pun ada Taehyung yang masih mematung di gendongannya. Saat mereka hendak menyeberangi lapangan rerumputan menuju aula yang tersambung langsung dengan pintu keluar bawah tanah, satu-satunya akses keluar kastil rahasia yang hanya diketahui Pendeta tertentu, bola api mendarat dan meledak tepat di depan mata Jimin.
Jimin terhuyung mundur, berlari memutar. Pegangannya pada tubuh Taehyung mengerat. Pendeta yang terbangun oleh serangan Resistance bergerak lambat; mereka malah bengong menyaksikan Jimin menggendong Taehyung melewati aula. Sempat Jimin membuka kamarnya dan mengambil tas serta tongkat yang terbungkus rapi di atas lemarinya.
"Taehyung," Jimin menyelipkan tongkat itu pada genggaman Taehyung yang longgar namun perlahan-lahan menggenggam erat seolah jari-jarinya mengakar di situ tanpa sadar. "Jangan dilepaskan. Itu milikmu. Aku bertaruh nyawa menyimpan tongkat itu."
Jimin kembali menggendong sahabatnya dan lekas berlari menyusuri koridor. Di antara ledakan-ledakan yang semakin keras dan riuh sorak-sorai Resistance dari kejauhan, samar terdengar suara-suara tak asing menyerukan 'O-Omega Taehyung! Demi kesucian Omega, Devorus dan Ϊtira, Park Jimin membawa Omega Taehyung!'.
Beberapa Pendeta mulai bergerak efektif. Mereka berhasil mengejar karena Jimin berlari kian lambat. Gaun tidur mereka berkibar, putih dengan sedikit noda dan lubang-lubang. "Pendeta Park!" dua—tidak, tiga—Pendeta yang lebih besar menghalangi Jimin. "Demi Oracle dan utas waktu yang pernah beliau lihat... Pendeta Park, Pendeta Tinggi akan memenggal kepalamu yang telah memperlakukan seorang Omega dengan tidak mulia!"
Ketakutan akan gagal menyelamatkan Taehyung dan kabur dari tempat terkutuk ini menyelimuti tangan kirinya dengan getaran gugup luar biasa. Jimin mendengar kabar kalau beberapa dari pasukan Resistance bisa terbang. Beberapa mengatakan mereka mengendarai naga. Kapanpun, salah satu dari bola api yang sedang membakar di luar sana bisa terlempar ke sini dan melahap tubuh mereka hingga jadi debu. "Minggir!" Jimin menyalak galak menyadari tidak ada waktu yang tepat untuk berdiskusi.
Seperti mengabulkan kepanikan yang melanda, lontaran bola api tak bertuan mendarat di belakang Jimin, membuat darah merosot turun di wajah tiga pendeta itu. Jimin akan tertawa kalau dirinya tidak berada di kondisi mental yang serupa. Dia memanfaatkan rasa takut di wajah mereka sebagai kesempatan untuk menggunakan Gira di tangan kirinya.
Gira adalah senjata alami keturunan Yue-Gia yang meningkatkan daya suatu anggota tubuh. Jimin memiliki Gira di tangan kirinya, sehingga kemampuan meninjunya punya daya tempur luar biasa.
"Maaf," tangan mungil itu menyentuh Pendeta yang paling kiri. Pria itu menatapnya bingung sebelum Jimin mendorong mereka menyamping dengan sedikit tekanan di Gira-nya, membuat mereka terdorong ke arah kanan jauh sekali, melintasi rerumputan, dan berakhir menabrak dinding di ujung sana dengan pekikan yang tersamarkan oleh gemuruh petir yang menyambar-nyambar di langit bersemburat keemasan. "Aku sudah gila," Jimin berkata pada dirinya sendiri, membetulkan letak Taehyung di gendongannya dengan tangan yang bukan Gira-nya, dan kembali berlari.
"Jimin," suara lemah itu hampir tidak terdengar kalau saja kepala Taehyung tidak berada di bahunya. "Jimin, kita salah jalan."
"Hah???" lutut Jimin serasa mengundurkan diri.
"Aku melihat kita di menara tertinggi," Taehyung masih belum benar-benar kembali. Jimin tidak merasakan seinci tubuhnya bergerak, bahkan rahangnya saat dia bicara. "Seorang Elementalis bertopeng hitam akan datang."
"Topeng hitam? Kau tidak salah lihat? Semua Resistance mengenakan topeng merah," Taehyung tidak lagi menjawab. Tidak ada jalan selain mengikuti intruksi Omega yang jadi sahabatnya ini! "Sial. Kamarmu—kamarmu ini hampir menyentuh langit—aku tidak akan—sial, oke. Oke, kubawa kau ke sana, Taehyung!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing after Our Ends
FantasySejarah akan mengukir perjalanan mereka. Melewati daratan Timur, menembus Free Area, melupakan batas-batas manusia untuk melakukan perjalanan lintas dimensi. Demi satu kesepakatan yang merupakan simpul bagi setiap takdir. Bagi purnama darah yang ber...