Sore itu aku sedang menikmati jalan-jalan di pasar Cibaduyut. Aku berniat membeli sebuah dompet kulit untuk menggantikan dompet lamaku yang sudah robek. Aku memasuki sebuah toko pakaian dan aksesoris yang sudah terkenal di pasar ini. Aku melihat-lihat display dompet kulit yang tersedia. Bagus-bagus lho.
Tiba-tiba indra penciumanku menangkap aroma yang aku kenali. Aroma yang manis. Cokelat atau vanilla?
Ini aroma seseorang yang kukenal bertahun-tahun yang lalu.
Seseorang yang memiliki hatiku sampai saat ini.
Apakah dia ada di sini?
Ya Tuhan! Aku takut untuk balik badan, aku takut kalau aku tak melihatnya!
Namun aroma ini sangat menggodaku.
Dan aku nekat membalikkan badanku.
Satu.
Dua .
Tiga.
Mataku terbuka.
Aku melongo melihat sosoknya yang sedang memilih pakaian anak-anak.
Widiyan Yudhistira.
Sapa enggak, ya? Kalau disapa, apa dia masih mengenalku?
Perlahan kudekati dia. Sekedar untuk memastikan. Ya Tuhan, aroma tubuhnya benar-benar tak bisa membohongiku. Ini benar Widiyan Yudhistira!
"Widi!" panggilku padanya. Dia langsung menoleh. Awalnya ia terlihat terkejut, lalu saat melihatku, ia tampak sedikit tidak senang. Ia bahkan terdiam cukup lama. Makanya aku segera bertanya, "Udah lama enggak ketemu. Apa kabar?"
Ia tersenyum tipis dan berusaha untuk tidak menatapku. "Aku baik-baik saja. Kamu Ezra, ya?"
Dia masih mengingatku. Andai rasa canggung itu tak ada, aku pasti akan memeluk dia. Andai dia tahu betapa aku merindukannya.
"Ya, aku Ezra." Cuma itu yang bisa keluar dari bibirku. Tampan dan manis, Widi tak pernah berubah. "Beli apa ke sini?"
Widi menunjukkan keranjang belanjanya. "Pakaian untuk anak-anakku. Kamu?"
"Dompet kulit."
Kami begitu canggung, namun debar-debar cinta kembali kurasakan. Katakan padaku Widi, apa kau juga merasakan debaran itu?
Sialnya ponselku berbunyi!
"Boleh aku angkat telepon sebentar?"
"Tentu saja."
Sebal sekali. Ternyata ada masalah di peternakan dan karyawanku tak bisa mengatasinya. Ia bahkan butuh aku berada di sana. Aku menatap Widi yang tersenyum lebih tulus dari yang sebelumnya. Telepon berakhir, hm, aku benar-benar tak rela berpisah dengan Widi.
"Aku harus ke peternakan."
"Tak apa."
"Hm, boleh minta nomor teleponmu?"
"Hah? Nomor telepon?!" Widi terkejut dengan permintaanku. "Nomor teleponku..."
Ia menyebutkan setiap angka untuk menghubunginya.
"Terima kasih. Nanti kita minum kopi bareng, ya. Aku tahu tempat yang asyik untuk minum kopi."
"Hm, oke."
KAMU SEDANG MEMBACA
If You Were Mine 🌈
RomanceLENGKAP Saya benci Ezra. Jadi saya buat cerita seandainya Ezra meninggal. :D Angan hati seorang Ezra Yudhistira yang terabaikan.