Bumi Mahardika Abisatya

6 2 0
                                    


Selamat sore menjelang malam, tepatnya di kala matahari mulai turun dari porosnya menukik tenggelam dengan perlahan menuju ke arah Barat yang membuat mata enggan berpaling untuk menatap sinar jingga bernama senja yang hanya berlalu singkat. Duduk tegak dengan kaki menekuk tak lupa baju seragam berdebu yang melekat dan sepasang sepatu hitam yang perlahan pudar berwarna abu.

Menelisik jauh seperti tertarik ke dimensi masalalu 18 tahun yang lalu tepatnya tanggal 20 Mei 2002, seorang wanita hebat bertaruh nyawa melahirkan seorang bayi laki-laki dengan sekuat tenaga dan dengan nafas tersengal tepat matahari perlahan tenggelam. Bumi Mahardika Abisatya bapak memberikan aku nama itu, remaja biasa yang jauh dari kata sempurna, jika kalian mengira aku adalah anak dari pemilik perusahaan besar yang hidup bergelimang harta maka kalian salah, aku adalah anak seorang petani yang bekerja dari matahari terbit dan sampai senja menyapa.

Tinggi badanku 180 cm, tubuh tegap tak gemuk namun juga tak kurus dan punya warna kulit sawo matang dengan garis wajah tegas, alis tebal, mata tajam dan lesung pipit di kedua pipi. Mungkin kalian mengira aku adalah pria yang jadi incaran remaja perempuan yang suka tebar pesona dengan datang ke sekolah mengendarai motor gede dengan jaket kulit dan kacamata hitam maka kalian salah, hanya ada sepeda ontel tua milik bapak yang kadang rusak entah itu roda atau rantai sepeda dan warna cat yang mulai mengelupas wajar karena usianya sudah seperempat abad.

Lupakan tentang sepeda ontel warisan bapak, biarkan aku lebih dalam menarik kalian masuk mendengarkan kisahku ini. Aku, panggil saja Abisatya seorang siswa kelas 3 di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di Semarang.

Semarang dikenal dengan nama kota Atlas, semboyan ini digencarkan pada masa kepemimpinan bapak Muhammad Ismail, kala itu beliau menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Ternyata Atlas adalah singkatan dari Aman, Tertib, Lancar, Asri dan Sehat. Seperti semboyannya Semarang adalah kota istimewa penuh dengan keberagaman, setiap sudut kota Semarang menjadi saksi bagaimana caraku diam-diam menatap seorang perempuan dengan rambut sebahu menenteng setumpuk buku tebal berjalan dengan hentakan kaki mantap menyusuri jalan setiap pagi ke arah barat dan berhenti di sebuah gedung besar untuk menuntut ilmu.

Aku tak tahu namanya kala itu, ingin bertanya pun rasanya nyaliku terbang mengudara dan hilang entah kemana, terserah kalian mau bilang aku pengecut atau apa, tapi sungguh hanya dengan melihatnya secara diam-diam pun aku sudah lega mungkin karena ini pertama kalinya aku menatap kagum seorang perempuan selain ibuku.

Entahlah tapi akan ku pastikan dulu apa aku benar-benar jatuh cinta atau hanya sekedar kagum saja. Yang pasti gadis mungil itu selalu mengacaukan pikiranku setiap harinya, aku selalu melihat bayangannya ketika dia berjalan menyapa ramah orang yang lalu lalang. Dan bodohnya setiap pagi aku selalu berangkat sekolah lebih awal untuk sekedar melihat dia secara diam-diam kurang lebih 3 bulan dan berlanjut sampai 3 tahun lamanya.

Sabriya Adaire Nabila namanya, itu yang ku tangkap dari gosip yang beredar di sekolah, sejak pertama masuk namanya cukup tersohor untuk ukuran anak baru tak hanya seangkatan saja bahkan kakak kelas pun tidak ada yang tidak kenal dengan sabriya, parasnya yang ayu dan sikapnya supel membuat siapa saja mau berteman dengan dia.

Bola matanya yang coklat terang membuat siapa saja berbinar menatapnya, sejauh ini yang kulihat banyak laki-laki menatapnya kagum termasuk aku, tapi versiku beda aku menatapnya kagum secara diam-diam seperti sekarang cantik.

"cantik"

"apanya?" aku menoleh bingung.

"itu senjanya cantik"

"O-oh iya memang" agak gugup aku menjawabnya.

Efek terkejut masih belum hilang karena aku pikir dia bisa menebak isi pikiranku, tapi ternyata tidak. Aku kira dia semacam cenayang atau apalah itu yang bisa membaca pikiran orang.

"Bumi, pulang yuk udah mau gelap." jika yang lain memanggilku dengan Abisatya, dia justru memanggilku Bumi katanya biar beda nggak kaya yang lain, dia memang konyol.

"yuk," aku tersenyum menatapnya.
"udah puas liat senja nya?"

Matanya berbinar seperti anak balita yang melihat permen warna warni dan menatapnya penuh minat, sungguh menggemaskan bukan?.

"belum, sejak kapan aku bosan lihat senja, senja buat aku candu dia terlalu indah untuk di lewatkan, besok kesini lagi kan?"

Aku mengangguk sebagai respon.

Berjalan beriringan melawati jalan setapak menuju parkiran sepeda ontelku. Tak ada yang istimewa dari sepedaku hanya ada jok sederhana yang terbuat dari besi tak ada busa yang melapisi agar nyaman di duduki.

"udah, let's go" ujarnya bersemangat dibelakang dengan berpegangan tasku.

Aku tersenyum dan mulai mengayun sepedaku pelan diiringi langit yang mulai petang dan angin yang berhembus pelan. Semudah ini aku mencintai keindahan Semarang entah karena budayanya, peninggalan sejarahnya, kenangannya, keramah tamahan warganya, dan tentunya gadis bernama sabriya yang ikut andil dalam kisahnya.




Gimana?

Mohon diingatkan ya kalau ada yang salah.

Jangan lupa vote dan comment biar lebih semangat lagi.

Dadahh....

-Srini-

BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang