Mangkuk berisi nasi kare itu masih berada dalam genggaman Jiro. Ia meringis sembari menggigit bibir bawahnya, merasai pangkal tenggorokannya yang seperti dicabik-cabik tiap kali ia berusaha menelan.
Ia menyerah. Keheningan ini terasa janggal.
Matanya beralih memperhatikan sang adik yang masih bungkam dan bersandar pada tembok kamarnya. Ia melipat kedua tangannya dengan memalingkan muka ke arah pintu, membuat Jiro tidak dapat menangkap wajah mungil yang sangat ingin dilihatnya saat ini.
"Aku bisa jamuran menungguimu makan.'' Saburo akhirnya angkat bicara.
Jiro tersenyum.
Lihat, adiknya ini memastikannya agar makan dan minum obat dengan baik. Manis sekali."Kalau begitu coba suapi aku.'' Celetuk Jiro.
"H-HA?'' Kena. Akhirnya, untuk sesaat manik biru hijau cantik itu balik menatap dirinya. Namun dengan cepat pula sang pemiliknya membuang muka.
"Sibodoh ini sudah hilang akal rupanya.'' Ucapnya ketus. "Aah, atau otakmu menguap karena panas?''
Ini dia. Satu-satunya hal yang membuat kadar keimutan pada adiknya itu berkurang. Dan lagi, Jiro tak habis pikir. Ia tahu flu bisa menular. Tapi apa perlu Saburo menjaga jarak dengan berdiri di pojok kamarnya seperti itu? Ia kan cuma flu. Bukan pasien pembawa virus mematikan!
"Ha- ha- ha!'' Suara tawanya yang dibuat-buat ini lantas membuat alis Saburo berkerut dan menatapnya sinis. Sorot matanya itu, pasti ia berpikir aku sungguh gila, batinnya.
Tapi ia memang sudah gila.
Jiro lalu menggerutu, "Memangnya kenapa? Katanya mau merawatku? Kalau aku pasti akan melakukannya dengan senang hati untukmu.''
Saburo yang tampak tidak terima balas melotot padanya. Sungguh, gelagat adik kecilnya ini membuat Jiro gemas.
"Tidak butuh! Dan kenapa aku harus melakukannya untuk orang bodoh sepertimu? Kekanakan sekali.'' Saburo semakin ketus.
"Hee.. Lihat, bocah ini sudah lupa. Ooh, Sabuchan~ padahal dulu ia merengek saat sakit dan minta disuapi~'' Jiro mulai menggoda Saburo.
"Siapa yang bocah?!!'' Sekaplet obat melayang seketika, tepat mengenai pelipis pemuda berkaus hitam itu.
"Itta-!''
"Kalau kau punya tenaga untuk mengoceh, lebih baik berhentilah menyusahkan orang dengan kebodohanmu dan cepat minum obatnya.'' Ujarnya lagi dengan penuh penekanan.
"Saburoooo...'' Jiro balas mendesis. Lidahnya ingin berucap lebih namun rasa perih di dasar tenggorokan menahannya. Sayang sekali. Setidaknya usahanya cukup untuk memecah kesunyian. Meski ia jadi sedikit kesal karena adiknya ini tidak ada sopan santunnya sama sekali.
Akan tetapi Saburo benar. Ia harus sembuh sebelum niichan pulang. Ia pun berusaha mengulurkan tangan untuk meraih segelas air di atas meja. Terlalu jauh. Saburo memutar bola matanya, lalu membantu mengambilkan segelas air itu untuknya.
"Arigatou, na Sabu-''
Plak!
"Jangan sentuh-sentuh!!'' Saburo refleks menampar keras jemari Jiro yang hendak menepuk ujung kepala sang adik.
Jiro sedikit tersentak.
Saburo mendengus kesal.
Dibalik punggung telapak tangan yang menutupi separuh wajahnya, terlihat ujung telinga dan pipi si bungsu ini memerah.Apa sih yang membuatnya sesensi itu? Jiro tidak mengerti. Lalu ia mengambil alih gelas dari genggaman Saburo tanpa berkata-kata dan meminum obatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Impulse
FanfictionJiro x Saburo Mengapa? Tidak biasanya kakak adik yang dikenal berisik-dan-susah-akur ini jadi merasa aneh satu sama lain. Ada sesuatu yang menggelitik, sensasi asing yang memaksa mereka untuk berhenti di satu titik. Sesungguhnya mereka tahu. Ada ya...