bagian 14

130 22 7
                                    

Ketenangan menelusuri bagian-bagian tubuhku. Setidaknya inilah yang memang aku butuhkan setelah keruwetan hari ini. Aku tau aku baru tersadar tapi aku diamkan diri ini menerima ketenangan sesaat. Benar-benar hening, tempat aku terbaring begitu empuk, sesuatu yang menutup tubuhku memberikan kehangatan tak tertandingi. Aku butuh ini.

Menit berikutnya aku mulai membuka mata. Visualisasi pertama yang ditangkap oleh kedua mataku setelah tak sadarkan diri adalah atap mobil berwarna abu tua. Perlahan aku beranjak duduk dan tahu tempat aku berbaring itu adalah jok depan mobil yang sengaja bagian senderan punggung diterlentangkan. Sesuatu yang membalut tubuhku merupakan jaket berbahan kain yang cukup tebal dengan warna cokelat beraksen polosan.

"Dua jam delapan belas menit," Cukup membuatku kaget saat mengetahui Kak Gemilang duduk bersandar di punggung jok mobil lainnya, dia tengah memandangku. "Menurutku istirahatnya belum cukup." Tuturnya.

Aku mencoba mengingat kejadian sebelum tak sadarkan diri. Kita lewati bagian bejat Kak Beni, kemudian aku berlari dan saat pandangan samar itu ada siluet seseorang dan dia memang benar Kak Gemilang. Meskipun pandanganku samar tapi aku ingat betul pandangannya terhadapku. Rasa kasihan. "Kamu pingsan di dekat ATM kampus. Untungnya Aku belum pergi jauh." Lanjutnya. Aku mundur sedikit menjauhi, mengingat perkataan Kak Beni bahwa banyak kating jurusanku yang ingin mengagahi ku. Dia bisa saja salah satunya. Terlebih ketika dia lanjut mengatakan, "Beni ngelakuin sesuatu ya?" Aku sudah siap meninju jika dia melakukan hal yang sama.

"Dia tidak pernah kapok, haruskah aku beri pelajaran padanya?" Ekspresinya... Ini ekspresi temuan baru. Sangat baru. Aku tidak pernah melihat Kak Gemilang seserius ini. Dia cukup menakutkan ketika mengucap kalimatnya. Dia... Berapi-api. "Ya atau tidak?" Aku mencoba menyadarkan diriku. Apa maksud dari perkataanya masih harus aku proses tapi dia terlihat tidak begitu sabar menunggu jawabanku.

"Aku haru pulang, Kak." Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Secara tidak sadar Aku ganti gaya bahasa ku padanya karena dia memulai obrolan dengan subjek Aku-Kamu. Dan jawabanku ini tidak diterima baik olehnya. Dia mengalihkan pandangannya yang sedari tadi mengarah padaku. Dia tidak puas dengan jawabanku karena itu bukan jawaban dari pilihannya.

"Aku parkir depan gang menuju kosan mu. Sengaja, biar kamu tenang." Aku tidak sadar sebelumnya, tapi ketika aku melihat keadaan sekitar ini memang benar pemukiman tempat kosan yang aku sewa. Bunyi bip menyertai aksiku yang masih melihat keadaan. "Pulanglah, istirahat." Kata Kak Gemilang. Aku melepas jaket cokelat itu, menggulung rapih dan ku sodorkan pada Kak Gemilang. Dia diam, tidak menerima. Aku simpan di dashboard mobil.

Sebelum keluar dari mobil aku ucapkan terima kasih padanya. Bagaimanapun dia sudah menyelamatkanku, memberiku tempat ketika aku tak sadarkan diri. Meskipun berbagai hal negatif menyertai pikiranku –dia bisa melakukan apa saja ketika aku sedang tak sadarkan diri, tapi aku mencoba membersihkan pikiran tersebut terhadap orang yang mencoba menyelamatkanku. Baru berjalan beberapa langkah menuju mulut gang, aku merasakan sesuatu hinggap di bahuku. Jaket cokelat tadi menempel lagi di tubuhku. Saat berbalik, Kak Gemilang ada di hadapanku kali ini. "Pakailah." Itu yang dia ucapkan sebelum kembali masuk ke dalam mobil dan mesin mengaum tanda menyala. Mobil pun berlalu pergi.

Sesampainya di kamar, aku langsung berbaring. Jaketnya masih menempel dipunggung ku, aku benci karena ada alasan aku harus menemui Kak Gemilang atau dia harus menemui ku.   Jaket sialan ini. Dari mana dia tahu kos ku, apa maksud perkataan menyeramkannya, aku hempaskan jauh-jauh pikiran-pikiran tersebut. Bagaimanapun aku harus istirahat.

Aku melaksanakan hariku seperti biasa. Perban dikakiku sengaja aku lepas sebelum mandi pagi tadi. Pergi ke kampus pagi hari, berpura baik-baik saja. Mengubur dalam-dalam kejadian semalam. Mereka—teman-temanku termasuk Azka—tidak tahu apa yang terjadi dan aku tidak berpikiran sedikitpun untuk memberitahu mereka. Meskipun mencoba setenang dan senormal mungkin, entah karena perilaku apa tapi Azka mulai bertanya padaku. Dari nada suaranya ia cukup mengkhawatirkan ku, terlebih dia menjadi penyebab luka di kaki kananku—meskipun secara meluas sebenarnya juga salah mereka yang saling mendorong.

One Thing Before EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang