Bab I Karet Gelang

56 5 0
                                    

"Karet Gelang". Hanya sebuah ibarat kata, kau hidup seperti tak tau kapan kau akan putus, tapi itu pasti, seperti karet gelang ketika saatnya rapuh tiba dia tak akan mampu menapiknya. Namun ketika dia mampu hadir di tengah helai rambutmu dan tersimpul rapi dan erat, disitulah dia berarti, kecil dan tak banyak orang tahu. Pagi ini aku duduk dengan ditemani segelas teh panas, asapnya tertiup jauh terbawa angin, seketika itu aku berpikir mungkin itulah bentuk angin, seperti orang yang sedang menari, indah dan menenangkan, tapi seketika itu juga aku mematahkannya, mungkin seperti orang yang sedang kebingungan, dia hanya ikut saja kemana arus membawanya, itulah angin.

"Sluurrrtt". Ku seruput teh yang sudah berubah menjadi dingin. Angin yang tadi kubahas mungkin mendengar bahwa dia tak seindah orang yang sedang menari, lalu dia kembali dan membawa awan hitam untuk mengutarakan kesalnya. Aku pun pergi mengabaikannya, masuk ke dalam kamar dan memutar musik sambil bernyanyi mengikuti liriknya.

"Sementara, ingat lagi mimpi, juga janji-janji, jangan kau ingkari lagi. Percayalah hati lebih dari ini, pernah kita lalui...". Terputus aku bernyanyi. Aku menghela nafas panjang merenungi bahwa kesalahanku dan aku harus meminta maaf dengan diriku sendiri. "Kita harus bertahan brader". Teriakku keras di dalam hati. Memang kehidupan mengalir tak tentu arah bagai sebuah arus, yang kita harus bertahan di dalamnya, memilukan memikirkan semua kegagalan dan masa lalu. Tapi semuanya berharga karena hasil ini berawal dari mereka.

Ini tentang kisah seorang anak dengan keunikan yang hampir membuatnya ingin hilang dari dunia ini. Dissoative identity disorder (DID), atau yang lebih dikenal dengan sebutan Multiple Personality, inilah yang terjadi pada diriku. Muhammad Ali seorang petinju professional asal Amerika Serikat yang sangat terkenal dimasanya, dengan prestasi-prestasi luar biasa dan mampu ciptakan sejarah dalam hidupnya yang juga tercatat di dunia. Dan nama tersebut sekarang melekat di sebalah kanan almamater SMA Insan Bangsa. Sebuah sekolah tersohor diseluruh negeri ini karena hanya para konglomerat yang mampu memasukkan anak-anaknya ke sekolah ini. Sekarang aku mampu memijakkan kaki dan duduk dengan bangga. Tapi hal ini tak berlangsung lama, sejak hari itu tiba semuanya hancur seperti sebuah puzzle yang selangkah lagi kau akan menyelesaikannya tiba-tiba tak sengaja tersenggol oleh kucing betina dengan bulu putih dan pita merah jambu, yang membuat semuanya berhamburan kemana-mana.

"Ini siapa Pah? jawab Pah jawab". Teriak Ibu sambil memegang HP.

"...". Papah hanya diam dan berlalu dihadapanku.

Setelah pulang sekolah, kulihat ibu sudah tersendar di depan pintu kamar dan seketika bangkit berusaha menyembunyikan sedihnya ketika aku datang.

"Mah, mama kenapa?". Tanyaku ragu.

"Mama gak papa Li, itu makan siang udah mama siapin". Mama menjawab sambil merapikan guci yang pecah.

"Sini biar Ali aja". Jawabku tak menghiraukannya.

"Ali, ganti baju, lalu makan". Nadanya agak meninggi.

Aku pun beranjak ke kamar, disertai perasaan takut dan bingung karena melihat keadaan ibu yang sebenarnya tak mampu dia sembunyikan dariku, kesedihan yang entah berapa lama dia rasakan dan akhirnya berakhir juga. Sejak saat itu, tanggal 21 November menjadi awal kepahitan, dan mengharuskan aku bersama ibu pergi kembali ke kampung halaman, dan menanggalkan seragam SMA Insan Bangsa. 180 derajat kehidupan berubah, seorang remaja tak akan tahan dengan ini semua.

22 November, aku pergi meninggalkan semuanya, dan kembali duluan ke kampung, karena ibu harus mengurus kepindahanku ke sekolah baru di kampung nanti. Ibu mengantarkanku ke rumah Paman Helman, dan meminta paman mengantarku ke stasiun bis. Sepanjang jalan aku hanya tertunduk, menikmati suasana hening di dalam pikiranku yang mengalun. Kulihat paman seperti mengerti akan kesedihan yang kualami dan berusaha menghiburku dengan memutar lagu kesukaanku dan ikut menyanyikannya bak penyanyi professional yang membuat senyumku tipis. Sepanjang jalan dia nyanyikan berulang-ulang hanya untuk menghiburku, aku akui itu usaha yang melelahkan karena aku tahu Paman Helman tak suka dengan lagu dengan genre ini, yang membuat rocker jadi membley, untung saja kekuatan kesediahan ini mampu menahan tawaku, karena jujur saja paman Helman tak cocok menyanyikannya dapat dibilang suaranya yang melengking seperti microfon rusak hanya merusak nada syahdu menurutku lebih baik biar speaker saja yang bernyanyi, tapi itulah usaha seorang paman.

Tibalah distasiun, menuruni mobil paman serasa seperti badai yang membalikkan kapal seorang nelayan dan menumpahkan semua buruan mereka bahkan nyawa mereka.

"Ali, kemarilah". Paman menghentikan langkahku.

"...". Aku hanya menunduk dan menghampirinya.

"Bawalah ini Li". Paman memberikan kotak yang tebuat dari rotan.

Kotak itu langsung kumasukkan ke dalam tas tanpa menghiraukan apa yang ada di dalamnya.

"Kita, akan bertemu lagi". Ucap Paman Helman.


Dermaga: Alea Menunggu Cincin Dari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang