BAB II Bahar

40 4 2
                                    


Lama sudah aku tak berbaring di pondok kayu bambu ini, suasana kampung halaman memang tiada duanya, pepohonan menari dengan gemulainya, burung-burung bersorai menyuarakan siapa yang berhak berada di alam ini.

"Grussakkkk". Tiba-tiba bunyi semak-semak mengagetkanku. Ku hampiri semak tersebut sekitar lima langkah kaki untuk menuju semak tersebut. Ku singkap semak tersebut, anehnya tak ada apa-apa dibaliknya.

"Ali". Suara seseorang yang serasa tak asing.
"...". Ku berbalik, dan benar saja.
"Kau Ali kan". Tanyanya meyakinkan.
"Ba...har". Tanyaku ragu.
"Ya Ali, Aku Bahar, lama kali kau tak kemari, kakek kau bilang kalau kau datang kemari, langsung lah, aku berlari kemari, ingin lihat teman suksesku, bagaiman...". Sahutnya seperti biasa, panjang lebar, bak berdongeng.
"Aku tak lagi di Jakarta, sekolah itu tak cocok denganku". Jawabku menyembunyikan kebenarannya.
"Ah, tak usah kau cerita, sekolah itu pasti tak cocok dengan kau, haha". Sambungnya.

Bahar pun menarikku, dan bilang kalau pondok rahasia menantiku di tengah hutan. Sepanjang jalan menuju pondok tersebut Bahar bercerita banyak tentang dirinya. Dan tak sengaja berpapasan dengan seorang perempuan dengan rambut panjang terurai yang berbeda arah dengan kami. Sesampainya di pondok, kukira bakal langsung rebahan tapi tidak ternya aku diharuskan memanjat terlebih dahulu.

"Hei, Ali, kau liat tak perempuan tadi, namanya Ayu". Bahar seperti mampu membaca pikiranku.
"Yang mana Har". Ku tanya dia balik.
"Ah, kau, belaga tak liat pula, bidadari secantik Ayu kau tak liat, buta kau ya". Ejeknya padaku.
"...". Aku hanya menghela nafas.
"Jadi kapan kau pindah ke sekolah ku, biar samaan kita". Sambungnya.
"...". Aku hanya diam.
"Ali, kau sepertinya ada masalah, ceritalah padaku, kau tau kalau Bahar ini adalah pendengar terbaik sepanjang masa". Cakapnya mulai mengintrogasi.
"Aaa..h, tak ada apa-apa Har, aku hanya sedang meratapi keindahan kampung kita, tak ada di kota Har". Jawabku berdalih.

Setelah itu, Bahar berhenti berbicara dan ikut memandangi hutan bersamaku, entah kenapa seakan Bahar mengetahui yang ada di dalam kepalaku, memang dialah teman sejak kecil yang mana kukenal dia sebagai seorang yang luar biasa dalam hal bicara-berbicara, sekalipun harus memakai bahasa para teatrikalisasi puisi, dia pasti akan menjadi aktor utama.

"Allahhuakbar... Allahhuakbar...". Kumandang adzan terlantun indah dari toa Masjid Qalbun Salim.
"Li, turun, sholat zuhur". Bahar memecah keheningan.
"...". Aku hanya diam, bingung kenapa Bahar tiba-tiba sealim ini ya.

Kami pun langsung bergegas menuju sungai untuk berwudhu dan berlari menuju Masjid Qalbun Salim yang tak begitu jauh dari pondok Bahar, sekitar 700 meter. Namun tak kusangka ternyata bukan gerbang depan masjid yang ditujukan Bahar, melainkan sebuah pohon besar yang sudah diberi pijakan kayu untuk memanjatnya, dan pohon ini membengkok ke halaman belakang masjid. Aku pun takjub dengan kuasa sang pemilik alam ini, ada aja jalan untuk hambanya yang ingin beribadah kepadanya.

Selesai sholat, entah kenapa aku tak melihat Bahar. Dan satu hal lagi, sepertinya aku merasa tak mungkin Bahar yang kukenal berubah menjadi sealim ini, malah dia biasa mengajakku untuk pergi keluar masjid membeli pentol Mang Jajang saat sholat teraweh. Aku akui aku memang juga jarang sholat, semenjak di Jakarta, tapi ada kejanggalan yang kurasakan setiap adzan berkumandang.

Jakarta, 17 Mei, sejak hari itu aku merasa adanya kejanggalan tersebut, ibuku selalu bilang "Bangga kali mama, melihat kau rajin sholat Li, Ali, bangga mama nak". Aku pun bingung dan tak jua ku utarakan padanya. Aku berpikir lebih baik mama bahagia melihat apa yang dia lihat dari pada dia tahu kebenarannya.

Sejak saat itu, aku berpikir bahwa di rumahku terdapat seorang malaikat yang selalu membuat mamaku senang, wajar kubilang karena mama memang seorang yang taat. Namun bernasib naas menikah dengan seorang yang berubah setelah menjadi seorang yang bergelimang harta, memang laki-laki baru kaya ya gitu deh, foya-foya.

"Assalamu'alaikum". Seseorang dari belakang menepuk pundakku.
"Wa'alaikum...sallam". Jawabku sambil memalingkan badan ternyata Bahar.
"Oy, pa haji, kenapa kau tinggalkan aku sendirian di hutan". Sambungnya.
"...". Aku pun tersentak dan bingung.
"Brader, rajin kali kau ya". Sambung Bahar.

Bahar pun mengajakku menuju lapangan bola, dan mengatakan kalau di lapangan ada acara tarung. Acara tarung merupakan acara yang turun temurun diadakan di kampungku. Tapi hal ini mengingatkan ku pada seorang pengecut, seorang laki-laki yang menyakiti ibuku. Terlihat seorang sudah tersungkur tak berdaya, saat kami berhasil ke depan menerobos kerumunan.

"Yah, kalah dia". Cakap Bahar lesu.
"Siapa dia Har?". Sahutku.
"Ucup, Li, anak Mang Ujang." Jawab Bahar.
"Oh, Mang Ujang tukang pentol". Sahutku
"Bukan Li, Mang Ujang jawara tahun lalu, jadi sekarang anaknya Yusuf yang gantiin Mang Ujang, semenjak Mang Ujang kecelakaan". Sambung Bahar panjang.

Pertontonan itu pun bubar dan Yusuf di bawa oleh dua orang anak buah Mang Ujang. Tak berhenti disitu Bahar yang lama tak berjumpa dengan ku menuntunku lagi menuju lumbung padi yang sudah tak terpakai lagi dan di dalamnya ada sebuah meja panjang dan bangku-bangku dari kayu lebih tepatnya hanya potongan kayu yang disusun mengelilingi meja.

"Jadi ketika kau mencariku di sore hari, aku pasti ada disini". Ujar Bahar.
"Tapi Har, untuk apa kau berada disini?". Tanyaku padanya.
"Besok pagi kau datang ke pondok di hutan, dan akan kutunjukkan sesuatu". Jawabnya kemudian.
"Oke lah, aku pulang Har". Sambungku sambil menepuk bahunya.
"Hei, Ali, kau tau tak jalan pulang". Tanyanya mengejek.
"Aku baru satu tahun di Jakarta, kampung ini tak secepat itu berubah". Balasku padanya.

Hari yang panjang kulewati dengan seorang sahabat yang tak tahu bakal jadi apa nantinya, setidaknya hari ini membuatku melupakan kepingan demi kepingan permasalahan duniawi yang tiada habisnya, hariku ditutup dengan pergantian sang surya dengan ratu rembulan yang terlihat saling sapa dan tersipu malu, dan warnya jingga di langit bak lukisan indah yang membuatku selalu bersyukur bahwa Tuhan yang telah menciptakanku membagi keindahannya kepadaku kapan pun aku menginginkannya.

Dermaga: Alea Menunggu Cincin Dari SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang