Pagi sekali nenek membangunkanku untuk sholat subuh, sungguh nyawa ini masih belum terkumpul sepenuhnya. Bau masakan sudah tercium sepagi ini, tapi aku tak berniat makan sepagi ini, menikmati waktu libur memang harus digunakan semaksimal mungkin, dan ini juga merupakan hari terakhir aku libur, karena mama hari ini akan datang dan mengurus sekolahku besok.
“Ali, hari ini kamu masuk sekolah”. Kata nenek sambil menyerahkan seragam sekolah.
“Nek, mamakan belum mengurus kepindahanku”. Jawabku pada nenek.
“Nenek sudah mengurusnya cepatlah kau mandi, nanti kita berangkat bersama”. Sambung nenek meyakinkan.
Dengan perasaan bahagia bercampur kesal karena hari terakhirku bermalas-malasan ternyata berakhir semalam. Aku pun bergegas mandi karena ini merupakan hari pertamaku menginjakkan di sekolah baru, dan mungkin hal pertama yang harus kulakukan adalah menemukan seorang Bahar dan semoga saja aku sekelas dengannya. Setelah selesai bersiap aku langsung menuju ruang makan dan makan bersama kakek.
“Sekolah juga kau akhirnya”. Kakek memulai percakapan sambil mengambil lauk di hiring.
“Padaha Ali kira bakal satu hari lagi kek”. Sambungku.
“Sekolahlah sampai ke negeri Cina”. Kakek mulai berujar.
“Jauh Cina kek, tapi ngomong-ngomong hebat main caturnya, belajar dimana kek, dan kenapa Ali tak pernah tahu”. Sambungku.
“Tanyakan pada Bahar, dia sepertinya tahu banyak tentang kakek”. Jawabnya
“Ah, Bahar memang”. Sahutku sambil menyelesaikan makan.
Setelah selesai makan aku kembali ke kamar dan memeriksa kembali barang bawaan, memastikan tidak ada yang tertinggal. Terlihat diluar telah berhadir mobil BMW 2002 ti, mobil klasik milik kakek. Tapi aku bertanya siapa yang akan menyetir mobil itu, kakek masih makan dan tak mungkin menunggu kakek, kalau nenek berasa tak mungkin aja sih, karena umur mereka yang sama-sama menginjak setengah abad.
“Ayo kita berangkat”. Tepuk nenek mengagetkanku.
“Pakai itu nek”. Tanyaku padanya.
“Ayo buruan entar kau terlambat”. Sahutnya kemudian meyakinkan.
Bunyi mobil BMW 2002 ti, mulai terdengar setelah pintu rumah terbuka. Dan benar saja taka da siapa-siapa yang akan menyetir di dalamnya.
“Nek, kita, tapi nenek”. Aku mencoba meyakinkan .
“Naiklah, dan pasang sabuk karena kita akan ngebut”. Sahut nenek.
“SMA Arum I kan nek”. Tanyaku.
“Kita tidak akan kesana hari ini”. Jawab nenek membingungkan.
Tapi aku hanya bias ikut dan takut untuk menolaknya. Nenek mengemudi menyusuri jalanan kampung dan melawati SMA Arum I dan anehnya tidak terlihat anak-anak SMA Arum I dan tiang bendera juga sudah terpasang oleh bendera merah putih yang berkibar diterpa angin. Sepanjang jalan aku berpikir kalau hari ini benar-benar hari yang aneh, dan nenek hanya asik mengemudi tanpa memberitahu akan kemana. Seiring berjalannya mobil ini, aku mulai mengingat kalau jalan ini menuju ke Tugu Teratai. Terlihat dari kejauhan banyak sekali orang-orang berkumpul, dan semakin mendekat kulihat ternyata mereka adalah para siswa-siswi dari berbagai sekolah di daerahku.
“Nenek akan turunkan kau disini”. Sambil mengecilkan musik yang diputarnya sedari tadi.
“Tapi nek, aku tak kenal mereka”. Jawabku ragu.
“Tenang lihatlah”. Nenek menunjuk kearah jendela mobil.
“Bahar”. Terkejut ku melihatnnya melambai kepadaku dan nenek.
Aku langsung turun dan bersalaman dengan nenek, tak kusangka nenek membawaku kemari dan pas sekali Bahar ada disini. Jadi aku biasa tenang dan tak bingung kalau harus mencari Bahar atau siswa-siswi yang berpakaian SMA Arum I.
“Ali ngapain kau kemari, wah SMA Arum nih, oke juga kau pakai ini ya, sekarang kau ikut aku”. Bahar menyambut kedatanganku.
“Kau mau bawa aku kemana Har”. Tanyaku padanya.
“Ke toilet Li, haha”. Jawabnya.
“Kau Har, tak maulah aku kesana”. Sahutku.
“Kau harus memakai baju yang sama denganku”. Jelas Bahar.
Sesampainya di toilet tempat mereka menaruh pakaian ganti, ternyata ada anak-anak dari SMA lain entah dari mana mengacak-acak pakaian SMA kami. Dan akhirnya karnaval tersebut kehilangan seorang Bahar karena harus bergelut dengan enam orang anak SMA lain tersebut, tentunya tidak hanya Bahar seorang aku pun ikut menjadi partnernya. Baku hantam pun terjadi dengan jumlah yang tak seimbang, tapi sebagai laki-laki seorang Bahar tak ingin jati dirinya diinjak dan aku hanya bias ikut, dan tak mungkin juga aku meninggalkannya. Sebenarnya sudah lama sejak tiga tahun lalu hal semacam ini tidak kami lakukan lagi bahkan saat kepepet sekalipun kami pasti memilih jalan kabur dari pada harus melawan. Mungkin kali ini berbeda atau mungkin tangan-tangan ini sudah geram dan lama tak menghajar. Sebenarnya harusnya hal ini dilakukan bertiga, Lico merupakan partner kami dulu tapi suatu musibah menimpanya dan persahabatan kami. Lico Ferdian terjerat jeruji penjara dan mengharuskannya memutuskan persahabatan dengan kami, seorang Lico difitnah telah membunuh seorang anak SMP Betran Natanael tiga tahun lalu, dan sejak saat itu juga kami berhenti melakukan hal-hal itu, sekalipun harus menanggalkan jati diri kami sebagai laki-laki. Bukannya pengecut atau takut, tapi hal ini dirasa lebih baik dari pada harus mengorbankan sesuatu lagi, termasuk nyawa kami sendiri.
“Woi, Acak-acak aja kau”. Teriak Bahar sambil menggebrak pintu.
“Bahar, Abdullah Bahar, jagoan kau”. Jawab seorang dari mereka.
“…”. Bahar haya menyeringai.
Baku hantam pun terjadi seimbang entah kenapa seperti ada yang membantu kami dan berakhir dengan kemenangan walau sebelah mataku sudah tak dapat dibuka lagi dan Bahar sudah tersungkur. Aku pun langsung mengangkat Bahar dan merangkulnya, namun kaki ini seakan menolak dan kami pun terjatuh.
Aku terbangun, kulihat sekeliling, kepalaku masih terasa berat, seorang perempuan berada diantara tempat aku dan Bahar berbaring, sepetinya tak asing dimataku. Ya, ini merupakan awal pertemuanku dengannya walau taka da sepatah katapun waktu itu. Putri Rahayu, anak kelas XI IPA II, dia merupakan kaka kelas sekaligus ketua PMR periode itu. Samar mataku melihatnya sedang memerah kain dan dia letakkan kain tersebut ke mata sebelah kanan ku yang bengkak.
“Sudah jangan dibuka matanya”. Katanya lembut.
“…”. Aku hanya terdiam dan menurut.
Pertemuan pertama yang tak kusangka, dan harus bertemu dengan seorang berandalan pensiun. Aku benar-benar malu karena tidak menjadi orang baik di depannya. Dalam pejamku aku bersyukur diperlihatkan dengan seorang bidadari nyata. “Terima kasih Tuhan.” Syukurku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dermaga: Alea Menunggu Cincin Dari Surga
RomanceUngkapan seorang pemuda tentang "Cincin dari Surga" kepada Alea