2. Monthly

20 4 0
                                    

"Haechan, Haechan. Ck, Haechan!" Aku memukul lengan lelaki yang tengah geloran di karpet abu-abuku itu dengan kasar. Habisanya tuli sekali sedari tadi aku panggil gak menoleh barang sedikit saja. Ponsel mulu, pantas saja sering kena omel bunda.

"Apasih?" Iya sih dia merespon, tapi matanya tetap saja gak berpaling dari game di ponselnya. Dasar lelaki. "Lo gak mau pulang? Udah jam tujuh tuh."

Haechan melirik jam di tangannya lalu beralih menoleh ke jendela kamarku. "Gila ya lo, nyuruh gue pulang ujan-ujan gini" Haechan mendesis kemudian melanjutkan kegiatannya lagi.

Ya, aku kan hanya melontarkan pertanyaan basa basi, kenapa dia sensi begitu, cih. Karena sebelumnya Mama dan Papa sudah bilang padaku pagi tadi kalau mereka akan berkunjung ke cafe Mama sampai tutup, jadi sekarang aku berakhir di rumah sendirian--tidak juga sih, sebab aku di temani Haechan.

"Gausah ngadi-ngadi, Chan. Rumah lo satu blok dari sini, hiperbola banget" Kataku sambil menatapnya sinis.

Karena hanya ada aku dan dia di rumah gak salah dong kalau aku mengajaknya mengobrol? daripada enggak sama sekali, nanti malah aku seperti anak yang kesepian. Tapi masalahnya, Haechan ini seperti gak membaca eksistensiku. Apa perlu aku menggunakan chakra seperti halnya di animasi naruto supaya lawan dapat mengetahui keberadaan kita? Tapi aku kan bukan ninja atau pun istilah sejenisnya, lagi pula itu gak nyata. Jovelyn bodoh! ah--tidak, Haechan yang bodoh. Bisa bisanya dia mengabaikanku berjam-jam.

Aku memilih mengganti posisi menjadi berbaring telentang di atas kasur membiarkan Haechan tetap sibuk dengan pacarnya (re; ponsel)

"Jo, pilih kuning atau biru?"

Aku menoleh ke bawah sebentar lalu kembali membenarkan posisiku menghadap langit langit kamar, "Kuning, lo kan sukanya warna kuning."

Haechan mengangguk samar, "iya juga ya, tapi kan gue nanya nya elo?"

"Samain aja. Kenapa emang?" Aku menoleh lagi ke Haechan yang lagi nge-scroll timelineinstagram, oh udah ga nge game toh

"Adadeh, kepo dah kaya dora. Eh engga deng, lo lebih mirip ama monyetnya wkwk"

Kurang ajar banget bekantan, Aku memberenggut lalu mendorong pinggang Haechan kesal.

Aku gak memperdulikann Haechan yang mengeluh sakit dan lebih tertarik melihat langit langit kamar yang sengaja Papa cat sewarna dengan biru malam, rasanya seakan tenang melihat warna itu tampak kosong. Aku memposisikan kedua tanganku saling bertumpuk di atas perut, entahlah aku merasa itu posisi paling nyaman ketika berbaring telentang. Lamunanku sedikit terusik ketika bagian kasur di sebelahku sedikit berdecit karena pergerakan, tentu saja itu Haechan. Lelaki itu tampak diam setelah mendudukkan dirinya di pinggiran kasur. Tangannya bersidekap, anak itu diam sebentar

Memejamkan mata, aku mencoba memikirkan beberapa hal random. Yeah, kalian tau kan? seperti yang anak remaja biasa lakukan sebelum tidur

Aku menegak saat sesuatu sedikit berat menyentuh rambutku dengan gerakan pelan, mengusaknya dengan lembut. Pelan, aku melirik Haechan yang sekarang tengah bermain dengan rambutku. "Bobo Jo, udah malem. Gue tungguin sampe Mama Papa lo pulang."

Aku gak tau pasti, tapi entah karena mengapa Haechan tampak gentle setelah mengatakan itu dengan seulas senyum

Aku mulai memejamkan mata, gumaman Haechan sudah tak terlalu jelas di telingaku. Pintar sekali, dengan elusan dan setengah lagu saja dia bisa membuatku merasa ngantuk.

Aku gak mungkin ngomong ini secara langsung kepadanya, atau bahkan kepada Jaemin. Terlalu gengsi. Tapi yang jelas aku gak pernah lupa menyematkan kata kata ini setelah mendoakan mama dan papa sebelum tidur, untuk Jaemin dan Haechan; mereka seperti pelindungku dan aku berterimakasih kepada tuhan atas pemberiannya kali ini. Tuhan jagakan mereka untukku, tolong.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[1] Sirius | Mark LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang