Bab 3

3.7K 215 48
                                    

Hinata pergi ketika Sasuke datang menghampiriku dan duduk di sebelahku. Dia bilang akan langsung pergi setelah mandi untuk pergi mencari angin segar. Aku sudah paham kata-kata angin segar, dia akan pergi ke rumah persaudaraan. Pasti.

Di depanku- Sasuke menatap datar padaku. Ini membuatku menjadi canggung, lalu berkeringat karena udara tiba-tiba saja terasa lembap. Pendingin ruangan tidak berfungsi dengan baik, terasa panas di sini. Suasana berubah hening dan menjadi lebih tegang. Aku gugup, dan gelisah karena Sasuke tidak juga bicara.

Untuk waktu yang lama kubiarkan tegangan ini terjadi diantara kami. Mulutku tetap diam, tapi kepalaku tidak berhenti berpikir. Pikiranku terus berputar tentang bagaimana caranya dapat mencairkan suasana yang tegang ini? Tentang rumah persaudaraan dan terakhir, sempat terlintas dipikiranku tentang Hinata yang tidak pernah marah ketika Sasuke tidak mengetuk pintu kamar ini. Apa Sasuke memang pribadi yang tidak sopan? Atau memang hal itu biasa bagi Hinata? Tunggu. Itu kebiasaan lama Sasuke yang tidak pernah mengetuk. Kenapa sekarang aku mempermasalahkannya?

Tidak. Aku memang mempermasalahkannya.

"Bisakah kau jadi orang sedikit lebih sopan? Maksudku kau ada di kamarku saat Hinata ingin mandi. Bisakah kau mengetuk pintu? Di mana tanganmu? Apa masalahmu?" Aku membuka suara dengan volume yang jauh lebih tinggi daripada yang kuinginkan.

"Apa? Sejak kapan kau mempermasalahkan tentang mengetuk pintu?" Sekarang, Sasuke. Kau tidak mendengarnya tadi?

Huh, debat dengan Sasuke memang menguras tenaga. Mataku sinis menatapnya, berdecak lalu aku berdiri dan berjalan ke tempat tidur milikku untuk merebahkan badan. Ekor mataku melihat sekilas kalau Sasuke juga berdiri dan benar saja dia ikut tidur di belakangku dan memelukku.

"Maafkan aku. Aku tahu ini salahku. Bisakah kau berhenti marah sekarang? Kau agak sensitif akhir-akhir ini." Tangan Sasuke yang besar mengelus perutku seolah-olah aku sedang mengandung.

Aku tetap diam. Menunggu Sasuke melanjutkan kalimatnya, nyatanya tidak. Dia tetap mengelusku dan ini membuatku luluh serta mengantuk.

"Kau masih marah padaku?" Akhirnya dia bicara lagi dengan lebih lembut. Kali ini mulutnya berada di telingaku. Napasnya terasa di sana dan membuatku geli.

Ingin saja aku benarkan jawaban Sasuke tetapi kalimat Hinata mengenai rumah persaudaraan kembali muncul dalam pikiranku rasanya aku ingin benar-benar datang. Sasuke dan Hinata dekat karena rumah persaudaraan. Hinata tidak pernah marah saat Sasuke tidak pernah mengetuk pintu-aku yakin jika Hinata benar-benar telanjang, dia juga tidak akan marah. Apa rumah persaudaraan membuat siapa pun bisa saling mengenal lebih jauh? Kalaupun benar, tidak salahnya mencoba.

"Kau tahu Sasuke?" Baik, akan aku katakan padanya setelah perkataan Hinata sudah kupikirkan berulang kali.

"Ya?"

"Aku ingin datang ke pesta persaudaraan akhir pekan nanti. Kau keberatan?" Hening. Tak ada tanggapan.

Kemudian aku berbalik untuk memastikan dan wajah Sasuke tepat di depanku. Kami saling memandang sejenak. Cahaya bulan masuk melalui jendela kamar dan menerangi wajahnya. Datar dan ketampanannya tidak berkurang sedikit pun. Dia seperti dewa yang datang mengunjungiku malam hari.

Dia diam menatapku, sementara aku menunggu jawaban darinya, tangannya berpindah menuju pipiku kemudian bergerak mengelus. "Akan kujemput nanti."

Itu saja? Hanya itu jawabannya? Aku pikir dia akan senang, tertawa bahagia karena akhirnya gadis polos ini mau datang ke tempat seperti itu. Aku tahu selama ini Sasuke menginginkan aku datang ke rumah persaudaraan agar dia bisa mengenaliku ke temannya atau hanya berpesta, ya pesta anak muda. Tapi setelah aku mendengar jawabannya ditambah ekspresi wajahnya yang datar aku tidak yakin dia akan senang aku datang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang