***
Aku hanyalah sebuah bayangan. Gerak langkahku tergantung pada arah yang dia tuju. Aku benci sinar yang terang disaat tengah hari. Aku juga benci malam yang gelap tanpa ada sorot lampu di mana-mana. Aku benci diriku sendiri dan juga dia, yang memaksaku mengikuti derap langkah tak berujung ini. Bukan karena terlampau jauh tujuan yang ingin dicapai, melainkan karena dia hanya menggerakkan kakinya di tempat. Tidak pernah ada perubahan posisi sama sekali. Aku benci dia, manusia yang gemar berdiam diri seperti mayat.Sejak pagi dia hanya duduk termenung di teras rumah. Mulutnya menghisap batang rokok yang jumlahnya mencapai belasan. Sehari bisa sampai dua bungkus rokok yang dia habiskan. Di samping tempat duduknya selalu tersedia secangkir kopi yang disediakan oleh ibunya. Aku benci pemuda ini. Aku benci harus menjadi bayangannya.
Kebiasaan seperti ini dia ulang setiap hari. Dia tidak sudi melihat usaha ibunya yang susah payah mencari uang, demi sesuap nasi. Manusia ini suka berpangku tangan dengan pikiran mengembara entah ke mana. Aku tidak bisa membaca isi pikirannya. Aku juga tidak bisa mengambil alih kendali tubuhnya. Akhirnya, akulah yang terjebak di sini. Mengikuti kemauan manusia yang menjadikan nafsu sebagai tuhannya.
Terkadang aku heran pada ibunya. Mau-maunya memelihara manusia bebal seperti dia. Tidak mau bekerja, tidak mau membantu ibunya. Di dunia ini memang selalu ada dua hal yang berlawanan. Aku kasihan melihat wanita paruh baya yang setiap hari dia acuhkan itu.
Tidak jarang ibunya mengingatkan agar dia mau berubah. Ibunya selalu mengatakan bahwa akan ada kesempatan kedua untuk orang yang mau berubah. Namun, pemuda ini memang anak yang bebal. Kata-kata ibunya tidak pernah dia dengarkan.
"Mbok ya, Kamu itu ikut teman-temanmu itu to, Le. Ndak baik, anak laki-laki diam di rumah saja. Ndak punya teman. Ndak tahu dunia luar."
"Arggggh!! Berisik!"
Laki-laki ini meneriaki ibunya. Dia lemparkan piring di sampingnya sbarangan. Aku tidak bisa menahan gerak tanganku, ikut melemparkan bayangan piring itu. Aku benci pemuda ini.
Ibunya hanya diam menanggapi kemarahan anaknya yang dengan terpaksa selalu kuikuti ke mana saja dia pergi. Ternyata wanita paruh baya itu tidak menyarah. Dia berjalan mendekati anaknya. Aku benar-benar heran. Apa dia tidak takut dengan kemarahan pemuda hilang kendali ini?
"Omongan orang itu memang ndak akan ada habisnya. Mau kita jungkir balik, guling-guling, beli mobil mewah, pasti ada orang yang membicarakannya. Kalau kamu begini terus, mereka malah senang. Semua yang mereka omongkan terbukti karena kamu sendiri yang mendulang mulut mereka, dengan kelakuanmu sekarang."
Aku ikut-ikutan menoleh ke wanita paruh baya di sampingku. Pemuda ini menatap ibunya dengan tatapan tajam. Geram.
"Apa aku perlu bersikap baik pada orang yang jahat padaku?
Mereka menuduhku mencuri hartanya padahal aku menjaganya.
Mereka memusuhiku padahal aku membelanya di meja pengadilan.
Mereka menyalahkan aku ketika anak gadisnya lupa jalan pulang, padahal aku yang menemukannya saat ketakutan.
Mereka mengataiku anak haram, mereka mengatakan bahwa Kau dulu perempuan nakal, Ibu.
Apa aku perlu bersikap baik pada mereka?
Aku tidak butuh orang-orang itu."
"Cukup. Kamu tidak boleh berpikir begitu. Itu cuma persangkaanmu sendiri, Le. Tidak semua orang menganggapmu seperti itu, tidak. Banyak orang-orang baik di luar sana. Bebaskan pikiranmu dari omongan orang kalau memang Kamu tidak berbuat demikian."
Pemuda ini diam mendengar ceramah ibunya. Dia pergi meninggalkan ibunya dan masuk ke kamar. Tentu aku tidak bisa lepas darinya, mengikuti setiap geraknya. Ditutupnya pintu kamar itu dengan keras. Dia mengambil pisau dapur ibunya di bawah kasur. Ingin aku menahan gerak tangannya, tapi tidak bisa. Usianya masih terlalu muda untuk merasa bosan dengan dunia. Bahkan dia belum sempat meneguk kesenangan yang memperdaya ini. Namun, masyarakat tidak mau menerima keberadaannya karena pergaulan bebas yang dia ikuti beberapa tahun lamanya. Dia terlibat dalam aksi pencurian emas duapuluh karat milik kepala desa. Dan aku ikut bersamanya saat itu. Meskipun dia telah mematuhi semua keputusan hukum, tetapi masyarakat terlanjur menganggapnya sebagai penjahat yang tidak bisa diampuni. Masyarakat tidak memercayainya lagi. Setiap ada tindak kriminal, dialah yang sdicurigai.
Inilah titik lemahnya. Dia tidak kuat mentalnya untuk memulai hidup dengan wajah baru. Terkungkung omongan orang-orang yang belum siap menerima kehadirannya. Harus kuakui, pemuda ini telah mengambil jalan yang benar dengan meninggalkan pergaulan yang tidak berguna itu.
Pisau dapur itu sudah tergenggam erat di tangan. Sebentar lagi akan menusuk perutnya. Aku berharap seseorang segera datang, sebab aku tidak bisa menahan tangannya, sebentar saja.
Sangat disayangkan. Nasib pemuda ini berakhir menyedihkan. Tubuhnya terkapar di lantai, bersimbah darah.
Dan, aku di mana saat ini? Aku sudah tidak mengikuti geraknya lagi. Ah, seandainya aku diberi kemampuan untuk memengaruhi gerakan tuanku, sedikit saja. Akan kutunjukkan mereka pada hal-hal yang lebih berguna.
Pemuda ini ternyata lebih menyedihkan daripada aku. Dia lebih lemah ketimbang bayangan sepertiku. Dialah si manusia bayangan. Hidupnya bergantung pada orang lain. Kalau orang bersikap jahat padanya, dia juga bersikap demikian. Kalau orang berbuat baik padanya, barulah dia mau berbuat baik pula.
Aku tidak menyangka. Di dunia ini ada orang yang menyia-nyiakan kebebasannya dengan mengurung diri sendiri karena perlakuan orang lain. Mereka menggantungkan pilihan hidupnya pada bagaimana orang bersikap padanya. Sungguh menyedihkan, lebih menyedihkan dari pada bayangan sepertiku. Mereka benar-benar telah melewatkan kesempatannya untuk bergerak melawan keburukan. Tidak seperti diriku, yang selalu mengikuti apapun kemauan tuanku.
Aku benar-benar sudah meninggalkan jasad pria itu. Kulihat ibunya membuka pintu kamar dengan mata terbelalak. Menangis meraung-raung. Memanggil-manggil nama anaknya. Kejadian berikutnya pada pemuda itu, aku tidak tahu. Tuhan merahasiakan alam selanjutnya dari makhluk sepertiku.
S e l e s a i
![](https://img.wattpad.com/cover/225615608-288-k780277.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Setulus Cinta, Seikhlas Rasa [Lengkap]
Духовные[Kumpulan cerpen] 1. Apakah Kau Menyesal Telah Menikah dengan Aku? 2. Munajat-munajat di Malam Seribu Bulan 3. Gadis itu Tidak Suka Laki-laki Selain Ayahnya 4. Tidak Selamanya Bawang Merah itu Jahat 5. Nasi Goreng 6. Tentang Meminta Maaf 7. Manusia...