Hujan deras di luar sana. Tapi lengkingan suara itu tak kalah kencang dengan gemercik air hujan. Kau berdecih. Kau lantas berdiri, melangkah keluar dari sana.
Tak kau hiraukan suara lantang yang memanggil namamu untuk kembali. Pulang. Jangan pergi. Tetap disini. Dia telah meminta maaf. Tapi kau tak mau tahu. Sudah terlalu lelah mendengar ocehannya. Kau pun berpikir, kenapa tidak dari dulu pergi dari sini?
[ ]
Malam telah larut. Supermarket sebentar lagi tutup. Mau lari kemana lagi kamu?
Ponselmu telah berdering sejak sejam yang lalu. Kau berdecak kesal. Lantas mematikan ponsel itu supaya tidak terganggu.
Bukankah tadi dia marah-marah? Apa katanya, tadi? Kau ini tidak bisa diatur, kau ini mengecewakan. Kenapa prestasimu bisa turun? Dia hanya tidak tahu bahwa ada beban berat yang kau panggul di atas punggung kokoh itu.
Kau pun mulai menerawang. Dulu, dulu sekali. Jika kau pulang, dia selalu menyambut mu dengan pelukan dan tawa hangat. Makanan telah menunggu mu di atas meja. Lalu kau dan dia akan makan bersama-sama.
Pertanyaan yang dilontarkan bukan sekedar basa-basi. Sarat akan ketulusan. Keluargamu bukan keluarga kaya. Sederhana, tapi begitu menyenangkan. Kau dan ayah akan pergi ke pemancingan di akhir pekan. Dan saat pulang membawa seekor ikan, dia akan menyambut dengan gelak tawa.
Sinar matanya dulu begitu hidup. Kau tau bahwa harapan nya cuma satu; tetaplah menjadi keluarga yang utuh.
Lalu, entah bagaimana ayahmu menghancurkan harapan itu. Sinar mata itu kian meredup. Ayahmu berubah. Tiap malam mereka bertengkar. Dan kau, selalu bersembunyi di dalam kamar. Mereka tidak tahu, bahwa kau yang masih kecil sering menguping diam-diam.
Perpisahan itu pun terjadi. Kau membenci ayahmu. Ibumu kian hari kian kurus. Dia selalu bekerja sampai lupa waktu. Menekan mu supaya selalu jadi nomor satu. Awalnya kau baik-baik saja. Karena itu semua demi mengembalikan tawa ibumu. Supaya sinar mata penuh harap itu kembali.
Tapi, ibumu itu tak pernah puas. Lama-lama kau lelah juga. Ya, kau bukan robot, 'kan? Kau pun mulai malas. PR terbengkalai, bolos hampir tiap hari, sering tidur di jam pelajaran. Ah, tanpa belajar pun kau sudah pintar, pikir mu.
Prestasimu mulai menurun. Dia awalnya diam saja. Sampai puncaknya, prestasi mu menurun begitu drastis. Lalu, kau sering dimarahi. Pulang, tidak lagi ada dalam pikiran mu. Kau pergi ke sana kemari.
Tiap kali kau pulang, dia telah menyambut mu di depan pintu dengan wajah yang masam. Menuntut penjelasan. Tapi kau tidak meminta maaf. Kau akan langsung pergi ke kamar dan menutup pintu sekeras-kerasnya.
Tidak tahukah dia bahwa kau sudah terlalu lelah? Tidak tahukah dia bahwa kau yang selalu membuatkan bekal dengan notes selamat pagi yang ceria?
Lalu, beberapa jam yang lalu, dia pulang cepat. Kau pikir dia akan memperbaiki hubungan kalian. Nyatanya, dia malah marah-marah sebab kau membuatnya dipanggil oleh kepala sekolah.
Kau diam. Lalu saat dia selesai bicara kau berdecih, dan segera pergi dari sana. Dia hanya tidak tahu, bahwa kau rindu dengan dia yang dulu.
"Maaf mas, bentar lagi kami tutup." seorang kasir perempuan membuyarkan lamunan mu.
"Berapa menit?"
"Yaa, sekitar lima belas menitan. Cepet pergi deh. Ini bukan penampungan tunawisma." kau tertawa ringan. Dia pikir kau tunawisma? Ya, ada benarnya sih. Kau memang tak punya rumah."Sebentar." jawabmu ringan. Kasir itu sedikit menggeram.
Lalu tanpa diduga, ketika kasir supermarket itu kembali ke dalam, hujan turun lagi. Kemana? Kalau kau pulang, paling dia akan memarahimu lagi. Kau pun tak terlalu akrab dengan sanak saudara.
Kau tersenyum tipis. Kau tidak pernah membencinya. Cuma rindu dengan yang dulu-dulu.
Suara kursi berdecit membuyarkan lamunanmu. Kau menoleh. Seorang anak, yang kelihatan nya beberapa tahun lebih muda dari mu duduk. Bajunya basah, dan lusuh. Wajahnya kusam. Anak jalanan, pikir mu.
Dia tersenyum lebar menyapa.
"Kamu gak pulang?" kau mulai bertanya setelah cukup lama kalian mengobrol.
"Saya gak punya rumah," ada jeda, "kalau saya punya, saya pasti bakalan langsung pulang. Daripada harus luntang-lantung sana sini. Huu, enak betul hidup mereka yang punya rumah. Jelas beda sama saya," dia tertawa parau setelahnya.Hatimu tergerak. Kau pun tersenyum hangat. Selalu ada cara untuk mengantarkanmu pulang. Kembali, ke rumah.
Jadi, kau pun pulang dengan selamat. Untung supermarket masih buka sehingga kau masih bisa membeli payung.
Kau berdiri di depan pintu. Sedikit menimbang-nimbang. Haruskah kau buka pintunya? Atau diketuk dulu? Kau menggeleng. Peduli amat. Tinggal buka apa susahnya, sih? Ini kan rumahmu.
Lalu, kau membuka pintu.
Hal pertama yang kau lihat, adalah, ibumu. Yang tengah menelepon dengan wajah gelisah. Kau tak marah. Karena kau bisa mendengar bahwa ibumu tidak sedang menjawab panggilan bisnis. Ibumu, menanyakanmu.
Bukan pemandangan yang biasa.
Kau tersenyum lebar.
"Aku pulang."
Kemudian kau menghambur dalam pelukan nya. Dia meremas ujung baju mu. Kau mendekapnya semakin erat. Aroma tubuhnya tak pernah berubah. Masih hangat, dan kau menyukai nya.Setelah lama berpelukan, sampai baju mu basah oleh Isak tangisnya, ia bergumam lirih.
"Maafin ibu. Ibu khawatir sekali kalau kamu gak akan pulang lagi."Dan kau tak pernah menyesali pilihanmu untuk kembali pulang. Ke rumah ini, ke pelukan ibumu.
[]
Teruntuk siapapun yang telah berkenan mampir ke cerita ini, terima kasih banyak. soalnya cerita ini masih banyak kurangnya. tapi kalau kalian mau tau, aku bermaksud untuk mengingatkan bahwa komunikasi itu penting sekali dalam suatu hubungan. Apalagi hubungan ortu-anak. hehe, sekian.
with love,
syifa🌻
13 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali Pulang
Narrativa generale[1/1 End] Kau pun tak pernah menyesali pilihan mu untuk kembali pulang. Ke rumah ini, ke pelukan ibu mu. © Copyright by thcttie3 2020