Sebuah Perjalanan

77 3 0
                                    

Khafa terdiam sesaat setelah membaca keseluruhan surat yang ibunya tuliskan itu. Alis matanya yang hitam tebal bertautan, keningnya berkerut-kerut. Ia mencoba berfikir dengan keras menggabungkan satu kemungkinan dengan kemungkinan lain yang berserakan dalam otaknya.

...Malam ini, ibu akan mendiskusikannya lebih jauh terkait Al-iksir dengan teman lama ibu yang juga merupakan murid Guru Jabir...

Kalimat ini kembali mengusik saraf diotaknya. Jika tanggal dalam surat ini benar- maka, surat ini ditulis tepat malam hari sebelum ibunya ditemukan tak bernyawa. Jadi, seharusnya Ibu akan- atau sudah bertemu dengan seseorang. Lalu, bagaimana mungkin orang yang sudah mengatur janji pertemuan dengan orang lain memutuskan untuk bunuh diri? Tidak, jelas ini bukan bunuh diri.

Bahkan jika pada akhirnya teori ibu gagal, tidak ada kemungkinan sedikitpun yang menunjukkan bahwa ibu berputus asa. Bahkan, dalam surat ini sudah tertulis 'kita harus memulai semuanya lagi dari awal'. Ini jelas bukan tulisan orang yang putus asa dan ingin bunuh diri. Khafa percaya itu, ibunya adalah pejuang tangguh.

Berbagai pemikiran mulai menggelayut dalam otak Khafa, Nafasnya tiba-tiba terasa berat hingga beberapa kali ia harus mengambil jalur udara melalu mulutnya.

Mungkinkah, orang yang terakihr menemui ibu inilah yang membunuhnya? Apakah, karena ia ingin mengambil seluruh keuntungan dari penemuan ibu. Mungkinkah, ia yang membuat ibu seolah-olah bunuh diri?

Ini lebih masuk akal bagi Khafa yang jelas-jelas tidak mempercaya hasil pemeriksaan oleh aparat pemerintah. Bagi Khafa, para penyelidik itu adalah orang-orang bodoh yang hanya mengambil kesimpulan dari cangkangnya, tanpa benar-benar menyelidiki lebih dalam. Hanya karena ditangan ibu terdapat botol dengan isi racun yang sama dalam mulut ibu, lantas diputuskan itu sebagai bunuh diri.

Tapi, siapa teman lama yang ibu maksud? Siapa orang terakhir yang bertemu ibu, sebelum kematiannya? Ia pasti kunci dari seluruh permasalahan ini, atau bahkan dialah pelaku pembunuh ibu.

Khafa menghempaskan tubuhnya kesandaran kursi, matanya menerawang jauh. Ia menuyusun satu persatu hasil pemikirannya dengan perlahan. Ia percaya, ia tidak akan berfikir jernih jika terlalu terburu-buru.

Jika dalam surat tersebut dikatakan bahwa seharusnya teman lama ibu ini membawa berita kepada Guru Jabir. Apakah ia benar-benar menemui Guru Jabir lima belas tahun lalu? Atau ia justru menguasai penemuan ibu sendirian untuk mendapatkan banyak keuntungan? Tidak, jika penemuan itu telah berhasil, harusnya ini menjadi berita besar hingga seluruh dunia tahu.

Khafa kembali menggelengkan kepalanya keras-keras. Sebelum mencari kemungkinan lain yang lebih logis.

Sejauh ini, belum ada berita besar terkait penemuan logam mulia dalam jumlah besar, harga emaspun masih sama dipasar, berita orang yang mendadak kaya karena menemukan emas dalam kurun waktu lima belas tahun lalu pun juga tidak ada.

Jadi, kemungkinan terbesarnya adalah teori ibu gagal, atau masih dalam pengembangan. Jika memang demikian, orang tersebut harusnya benar-benar menemui Guru Jabir untuk mencari petunjuk. Atau, setidaknya Guru Jabir pasti memiliki petunjuk, siapa saja murid-muridnya yang terus melakukan penelitian terkait transformasi logam mulia selama ini. Guru Jabir, seharusnya memiliki daftar nama para muridnya itu.

Khafa menjentikkan jari. Ia mulai dipenuhi oleh fikiran positif karena jalan kebenaran yang telah ia cari selama lima belas tahun mulai terbuka walau hanya terlihat sebesar lubang udara diruangannya saat ini.

"Aku harus menemui Guru Jabir," Ucap Khafa seraya mengepalkan tangannya, saat kesimpulan terakhir telah ia dapatkan.

Jantungnya kini berdebar penuh semangat. Senyumnya mengembang penuh harapan. Tangannya berlarian mencari papyrus atau perkament lainnya yang bisa membawanya untuk menemui Guru Jabir.

Ia kemudian, menemukan sebuah perkament yang memuat alamat sang guru dalam sebuah kotak kayu milik ibunya.

Lorong Bab Ash-Sham*11 Kufah.

Khafa tercenung, otaknya mulai mengumpulkan informas-informasi yang ia dapatkan dari hasil bacaanya selama ini.

Ia lantas membayangkan sebuah kota yang terletak di timur laut Najaf atau di selatan Bagdad. Sebuah kota baru yang berada di salah satu anak Sungai Furat. Walaupun ia belum pernah mengunjunginya sama sekali, ia cukup faham dan mahir dalam membaca peta. Ia benar-benar yakin, ia bisa menemui Guru Jabir dialamat tersebut dengan kemampuannya saat ini.

Khafa benar-benar lupa akan janjinya dengan sang bibi, bahkan ketika ia tersadar karena panggilan perutnya yang mulai bergemuruh kencang layaknya air terjun. Waktu telah menunjukkan pergeseran matahari lewat dari tengah hari. Ia bahkan sudah melewatkan waktu makan siang.

Sesampainya dirumah, Sang bibi sudah menatapnya dengan gemas. Namun, belum juga sang bibi menyampaikan amarahnya Khafa sudah lebih dulu memberondongnya dengan berbagai permintaan.

"Izinkan Khafa, untuk pergi ke Kufah bibi." Pintanya sambil mengganggam tangan sang bibi. Mata bibinya kini membulat sempurna karena terkejut.

"Kamu bicara apa, Nak!" tanya sang bibi yang merasa tidak nyaman dengan permintaan keponakannya kali ini.

"Khafa, harus menemui Guru Jabir, bibi. Khafa harus mencari tahu siapa pembunuh ibu." Dengan perlahan khafa menuntun sang bibi duduk di balai-balai yang terbuat dari pelepah daun kurma.

"Pembunuh? Tidak, Khafa. Ibumu meninggal karena bunuh diri, dan itu telah berlalu sangat lama. Sudah nak, lupakan ini semua." Sang bibi mulai menitikkan air mata, merasa iba dengan nasib keponakkannya yang ia fikir masih belum bisa menerima takdir.

"Tidak bibi, Khafa memiliki bukti. Ini," Khafa menunjukkan gulungan papyrus yang ia bawa dari perpustakaan sang ibu. "Bagaimana mungkin, seseorang yang hendak bunuh diri melakukan janji temu dengan teman lamanya. Khafa yakin teman lama yang ibu maksud dalam surat ini, ada hubungannya dengan kematian ibu!"

Sang bibi terdiam tak mampu berkata-kata. Ia menangkupkan tangannya dimulut seakan tidak percaya. Khafa lantas menyodorkan papyrus tersebut kepada sang bibi dan membiarkan sang bibi untuk mulai membacanya.

"Bibi, Alasan hidup Khafa sampai saat ini hanyalah untuk mencari kebenaran dari kematian ibu. Khafa mohon, izinkan Khafa untuk pergi kali ini saja." Netar hazel Khafa lagi-lagi berkata lebih banyak dari mulutnya. Betapa ia telah menunggu saat-saat ini. Saat dimana satu persatu petunjuk kematian ibunya mulai tersingkap.

Dengan begitu berat hati, sang bibi menganggukkan kepalanya. Ia menyetujui walau air mata tak juga bisa terbendung. "Bibi mengizinkanmu pergi."

Izin itu, langsung disambut dengan pelukan erat oleh Khafa. Meskipun, ia belum mendengar syarat-syarat yang harus ia bawa selama kepergiannya.

11* Bab Ash-Sham, atau gerbang al-sham,


-Berikut Author lampirkan peta perjalanan kita kedepan-

Selamat menikmati.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
HudanWhere stories live. Discover now