1

7 1 0
                                    

2014

Senin, kata orang hari itu paling suram, paling ditakuti semua orang. Sepertinya tidak untuk hari ini. Semesta sangat baik, senin kali ini tidak sesuram senin biasanya. Tidak ada upacara bendera, tidak ada anak yang dihukum karena telat, atau tidak menggunakan topi, ikat pinggang, dan dasi saat upacara, yang ada jam kosong dipelajaran pertama. Lengkap sekali bukan?

Sesekali Adista melirik kearah jendela, menatap tetesan air hujan yang turun beringinan, tidak lambat tidak pula cepat. Tetesan air itu seperti sudah dikomando siapa yang akan turun duluan dari langit, sehingga terlihat sangat rapih turun beriringan dari langit.

"kalo lagi ujan gini enaknya tidur ya ta?" suara jihan mecahkan lamunan Adista. Itu bukan pertanyaan yang harus dijawab. Siapa coba yang tidak suka tidur saat hujan seperti ini?. Adista hanya senyum dan mengangguk mendengar pertanyaan itu.

"sekarang jam berapa?". tanya Adista
"baru jam setengah sembilan".  Jawab jihan setelah melihat jam ditangannya. Masih ada waktu satu jam untuk tidur sebelum jam istirahat pertama.

Adista mengeluarkan jaket yang ada di dalam tas warna biru miliknya dan menyelimuti bahunya dengan jaket kesayangannya itu lalu terlelap diatas tumpukan tangan yang ia lipatkan diatas meja. Jihan pun mengikuti ritual yang dilakukan Adista. Lumayan bisa ketemu oppa sebentar lewat mimpi  Batinnya.

🌼🌼🌼

Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Adista baru bangun dari mimpinya dan melihat sekeliling kelas sudah sepi, hanya di huni beberapa anak saja. Sepertinya sudah istirahat  pikir Adista. Ia pun keluar kelas mencari jihan. Tapi sama sekali tidak menemukan jejak temannya itu. Akhirnya Adista berjalan kearah kantin, mungkin Jihan ada disana.

Hujan sudah berenti sejak tadi dan meninggalkan bau tanah yang sangat menyejukkan. Adista menghirup udara dalam dalam ini aroma yang sangat ia sukai. Bibir adista membentuk lengkungan. Ia berjalan santai tanpa melepaskan sedikit lengkungan dari bibirnya itu.

Setibanya dikantin yang pertama adista hampiri adalah tukang bakso dipojok kantin. Memesan satu porsi lalu duduk di kursi tak jauh dari stand bakso tersebut. Tidur satu jam ketika hujan cukup membuatnya lapar, ditambah lagi kuah bakso yang panas dimakan sehabis hujan, ahhh nikmat sekali.

Tak perlu menunggu lama bakso pesanan adista pun datang. Mata Adista menatap sekeliling kantin namun lagi lagi dia tidak menemukan batang hidung Jihan. Adista menghubungi Jihan memberitahu keberadaannya. Setelah itu ia langsung melahap bakso dihadapannya itu yang sudah berubah warna kemerahan karena sudah bercampur dengan saus dan sambal.

Tak lama kemudian Jihan datang bersama seorang perempuan, sebentar kalau tidak salah nama perempuan itu Ines. Maklum belum genap satu bulan mereka satu kelas jadi belum terlalu hafal nama teman teman satu kelasnya.

"anteng lu yaa makan bakso sendirian nggak ada yang ngerecokin". Kata Jihan yang baru datang dan duduk dikursi depan Adista

Adista yang terlalu fokus dengan bakso dimulutnya itu langsung menoleh dan menelan bakso yang sedang dikunyahnya.
"lagian lu ngilang, nggak bangunin gue!" protesnya dan kembali fokus ke mangkuk bakso yang isinya sudah tinggal setengah itu.

"tadi gue ke toilet dulu sama ines, lu juga nyenyak banget, jadi males gue banguninnya" kata Jihan

"sialan, ehiya ini yang namanya ines?" kata Adista yang baru menyadari kehadiran orang lain. "Inessa Ananda Putri kan?". Tanyanya sekali lagi memastikan. Bukan apa apa Adista bukan orang yang mudah menghapal nama juga muka orang. Ya kalau hafal nama kadang kadang dia suka lupa muka orang itu, begitu pun sebaliknya kalau hafal muka bisa lupa nama juga.
Ines hanya mengangguk menjawab pertanyaan Adista.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengejar Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang