2

14 4 0
                                    


"Loh, Bu De, kunaon tacan uih?(kenapa belom pulang?)" tanya pak Hendra, salah satu guru yang mengajar di sekolah tersebut.

Pak Hendra memasukan beberapa kertas ke dalam tas punggung miliknya. Sesekali melirik De, yang juga sibuk merapikan meja.

"Eh, Pak. Iya nih, beresin ini dulu sebentar." Jawabnya sembari tersenyum.

"Oh, kalo gitu mau bareng saya keluarnya? Biar saya tungguin."

"Gak usah, pak. Bapak duluan aja."

"Bener, nih? Sekolah udah lumayan sepi loh, Bu."

De tersenyum lagi. "Iya, pak. Gak apa-apa."

"Yaudah, saya duluan ya,Bu."

De melihat jam tangannya. Ternyata hari sudah lumayan sore. Pantas saja pak Hendra bilang sekolah sudah lumayan sepi.

Akhirnya De membereskan kertas tugas anak-anak yang belum sempat diperiksa. Ia akan melanjutkannya di rumah, jika tidak dirinya bisa-bisa pulang larut malam.

Dua bulan sudah, Delayla mengajar di sebuah Sekolah Dasar milik Swasta yang lumayan dekat dari rumah Eyangnya.

Ucapan Eyang di hari pertama ia mengajar , tentang mukanya yang masam dapat menakuti para anak murid, tidaklah benar.

Buktinya kebanyakan murid De, menyukai dia.

Muka masamnya hanya ia tunjukan untuk Eyangnya saja.

Selama dua bulan ini De tidak pernah menunjukkan senyumannya pada perempuan tua itu.

De masih kesal. Pasalnya karena sang Eyang dia harus tinggal di tempat ini.

Tempat plosok. Begitu De bilang.

Orang-orang setempat bilang daerah rumahnya termasuk ke dalam daerah kota tapi tetap saja, gangguan signal di sini sering terjadi.

Ditambah lagi beberapa barang kebutuhannya hanya dijual di mall saja dan di sini hanya ada satu mall, itu pun jaraknya sekitar satu jam dari tempat De tinggal.

Untung saja ada Jalal, seorang guru Sejarah di salah satu SMA daerah tersebut, sekaligus temannya saat SMA.

Keberadaan Jalal membuat De sedikit lebih terhibur. Ada teman yang bisa diajak untuk berkeluh kesah dan bisa dibilang se-frekuensi dengannya.

Seperti sekarang, De sedang mengobrol dengan Jalal lewat applikasi media sosial sembari mengkoreksi tugas murid-muridnya.

Menceritakan keluh kesahnya di tempat ia mengajar. Begitupun Jalal.

Tentu saja dengan suara yang sedikit tidak jelas karena gangguan signal.

Berkali-kali Jalal melontarkan kata 'Ha, Apaan?' Yang kemudian dibalas teriakan kencang oleh De.

Harus sabar-sabar jika ingin berkomunikasi via telpon di sini.

"Udah lah. Cape gue teriak-teriak mulu!" Gerutu De.

"Ha? Ngomong apa lu?" Balas Jalal.

"Anying! Dah, Lah!!" De langsung memutuskan telpon, sepihak.

Dia melanjutkan memeriksa tugas-tugas, sesekali menyeruput kopi.

"Assalamu'alaikum. Permisi Eyang, ini pesanan susunya."

25/05/2020

Pak Hendra

Pak Hendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jawa Barat; Taeyong LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang