- D U A -

57 16 8
                                    

***

Jam di handphone-nya baru menunjukkan pukul 06.26. Namun Kinan dan Bima telah berada di lapangan SMA Pelita Abadi. Segera Kinan turun beserta membawa seluruh berkas sertifikatnya dari sekolah lamanya. Tentu saja tidak lupa dengan piala juara 2 yang telah berhasil ia raih sebelum resmi menjadi salah satu warga SMA Pelita Abadi.

Jika kalian berpikir bahwa Kinan adalah anak pintar, maka kalian salah total. Kinan adalah golongan siswa malas belajar. Sangat. Ia hanya menyukai satu pelajaran, yaitu bahasa Jepang. Garis bawahi, cuma satu. Bahkan ia berniat mengambil jurusan Sastra Jepang pada saat kuliah di kemudian hari.

“Bang, nanti temenin sampai selesai upacara, ya!” Pinta Kinan. Setahu nya, jika ada murid baru masuk di hari senin, pasti akan diantarkan setelah upacara selesai. Kemungkinan besar ia akan menunggu di ruang guru atau bisa juga di ruang kepala sekolah.

Perlu diketahui Bima pernah menjadi salah satu murid di Pelita Abadi ini. Lebih tepatnya sudah menjadi alumni Pelita Abadi selama delapan tahun.

“Manja banget, sih.” Rutuk Bima ogah-ogahan. Namun tak urung juga ia ikut mengantarkan Kinan menuju ruang kepala sekolah.

“Dih, sama adik sendiri juga.”

“Iya-iya, bawel.”

Bima merangkul pundak Kinan dan melanjutkan langkahnya. Bisa Kinan rasakan, selama ia melangkah ada beberapa orang siswa-siswi yang berlalu lalang menuju lapangan upacara, melirik nya sekilas sembari berbisik-bisik. Bisa saja ditebak, para siswi-siswi itu pasti membicarakan abangnya ini. Bukannya apa-apa, bahkan Kinan sangat amat terpaksa mengakui bahwa abang nya ini memang lah sedikit tampan. Ingat ya, sedikit.

Mereka tidak perlu bersusah payah mencari ruangan kepala sekolahnya. Tentu saja Bima masih sangat mengingat dengan jelas dimana letak ruang kepala sekolah. Dari kabar yang ia dapatkan dari teman lamanya, kepala sekolah nya yang dulu di isu kan akan di pindah tugaskan keluar kota nyatanya berhasil bertahan di Pelita Abadi hingga saat ini.

Tok! Tok! Tok!

“Masuk!” Terdengar sahutan wanita dari dalam ruangan.

“Assalamualaikum.” Salam Kinan dan Bima hampir berbarengan.

Mereka dipersilahkan duduk. Setelah sedikit berbasa-basi, akhirnya sesi tanya jawab dilakukan antara Kinan dan kepala sekolah. Ternyata cukup memakan waktu juga. Padahal yang ditanya hanya seputar per pindahannya.

“Kamu yakin? Di sekolah lama kamu kan IPA, masa pindah ke sini jadi IPS, sih.” Untuk kesekian kalinya kepala sekolah yang bernama bu Ratna itu menyayangkan keputusan Kinan yang satu itu.

Di saat Kinan akan menjawab -lagi- pertanyaan Ratna, Bima dengan seenaknya malah memotong.

“Aduh, buk. Kan udah saya bilang, dia itu aslinya bodoh. Makanya pindah jurusan, nggak mamp-- AWW.” Belum sempat Bima menyelesaikan pernyataannya, Kinan mencubit pahanya. Kali ini menggunakan cubitan sekecil semut. Ke bayangkan betapa pedih nya?

Sedangkan bu Ratna, ia hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Bima. Ia masih hafal dengan tingkah Bima dan kawan-kawannya. Walau itu sudah berlangsung kurang lebih delapan tahun yang lalu.

“Kinan pintar kok. Buktinya aja dia udah menyumbangkan piala sebelum resmi jadi murid di sini. Kamu apa kabar dulu, Bim?” Kinan tersenyum pongah mendengar itu.

Sungguh, ia sangat kesal dengan Bima. Sedari tadi Bima selalu mengatainya bodoh. Padahal sudah jelas-jelas Bima yang lebih bodoh dari Kinan. Meski begitu, Kinan sayang kok sama Bima. Walau kadang autis nya bikin Kinan naik darah.

“Saya udah yakin di IPS kok, buk. Lagian di IPS matematika nya nggak sebanyak di IPA hehe.”

Lagi-lagi bu Ratna menggelengkan kepalanya. Ia maklum. Karena tidak sedikit siswa-siswi nya yang menghindari pelajaran angka tersebut.

KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang