BAB 1

7 0 0
                                    


S E M I

M I L I T E R

Kelas terakhir sudah selesai sejak limabelas menit lalu. Di hari Kamis yang terik ini para siswa Widyastha harus mengikuti ekstrakurikuler wajib. Tenggang waktu antara kelas terakhir dan ekstrakurikuler hanya duapuluh menit. Duapuluh menit seharusnya cukup untuk bertukar pakaian dan makan kue sedikit.

Bagi siswa lain duapuluh menit cukup. Sayangnya waktu sebegitu tidak cukup untuk Aya. Bahkan sekarang ia lagi buru-buru mengancing kemejanya. Bahkan baret biru miliknya pun tak sempat dipakai. Gadis berambut cokelat tua itu berlari dari kamar asrama menuju lapangan utama.

Aya sampai di lapangan dengan napas terengah-engah. Bagaimana tidak begitu, jarak asrama putri dan lapangan utama yang biasa ditempuh dalam delapan menit kini dilalui Aya hanya kurang dari empat menit. Perjuangannya melalui hutan rimba terbayar ketika peluit kapten terdengar tepat saat kakinya sudah menutup formasi barisan.

Mungkin sedikit berlebihan jika disebut - sebut Aya melewati hutan rimba. Tidak ada hutan rimba yang menjadi batas antara asrama putri dengan lokasi belajar. Yang ada hanya hutan sekolah beserta taman botani dan rumah kaca. Hutan sekolah berukuran setengah hektar beserta jalan setapak meliuk-liuk lengkap dengan kebun kecil.

Secara keseluruhan Widyastha masih terkategori sekolah normal pada umumnya. Hanya saja sekolah ini dilengkapi beberapa peraturan yang tidak dimiliki sekolah lain. Dengan beberapa peraturan abnormal itu Widyastha sukses menyabet predikat sekolah disiplin pada penilaian seprovinsi empat tahun berturut-turut.

"Lewat beberapa detik lagi nasib kamu bakalan kayak mereka tau, Ay." Aya masih bisa mengelus dada.

Seandainya ia terlambat beberapa detik pasti sekarang dia sedang push-up di sebelah anak manja itu. Untung saja ketika menyelinap ke asrama belum ada patroli. Bahkan para siswa pun dilarang memasuki asrama tanpa kepentingan yang mendesak. Apalagi hanya untuk bertukar pakaian karena tidak membawanya. Jika saja ketahuan pasti hukumannya lebih parah dibanding gadis menor yang sedang menghitung vektor di lapangan dengan jengkal.

"Untung aja, Ntan. Hampir banget aslii!" Yang diajak bicara menunduk ketika hendak menyahut. Ia menyamarkan gerakan bibir dari jarak pandang ketua regu yang sudah di depan barisan bersama Pak Yanto si Tentara Galak. Untung ganteng.

Pupil Aya terkejut dengan sinar terik itu sesaat ketika mendongak. Matanya langsung berubah sipit seperti Mei-Mei gebetan Mail. Intan yang disebelahnya merasa tak terganggu dengan sinar itu dan malah menanyakan alasannya.

"Bajunya udah disetrika tapi lupa disimpen. Kesandung meja tempat aku letakin baju, teh aku tumpah, deh."

"Terus kamu cuci ulang dan nyetrika pagi ini. Alhasil ketinggalan itu baju keramat."

Aya hanya meringis dengan tebakan Intan. Dia seratus persen benar. Memang pengertian sekali dengannya.

"Pasukan saya ambil alih. Siap grak! Atur formasi, langkah tegap maju jalan!" Arthur si Ketua Regu mulai memberi perintah.

Jika di ekstrakurikuler pada umumnya absensi diambil dengan tandatangan ataupun pemindaian kartu identitas, berbeda dengan ini. Putra Pengabdi -kegiatan wajib yang beberapa tahun ini sudah mewarnai hidup seluruh siswa Widyastha ini, menjadikan apel sebagai sarana absensi. Gurunya yang meminta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jurnal 184Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang