Juara kek gitu aja bangga. Bentar juga pialanya bakal buluk di gudang!
Sok redah hati! Senyum aja gak ikhlas!
Penjahat! Pembohong!
Aku tersenyum mendengarnya. Mungkin aku sudah bebal untuk mendengarnya. Padahal baru setengah jam yang lalu mereka mengelu-elukanku, tapi sekarang? Aku sudah terlalu sering merasakannya. Aku melangkah keluar, di daun pintu kelas aku mendengan teriakan yang sepertinya disengaja.
"mungkin saja jurinya buta. Atau malah sekarang jurinya sedang menangis dirumah karena menyesal sudah memilih orang yang salah. Hal seperti itu dibilang bakat? Sepertinya jurinya perlu disekolahkan juri."
Aku melangkah keluar menahan tangis. Cukup dengan semua ini. Tak terasa airmataku perlahan menetes. Tapi aku tidak akan menyerah.
"nangis lagi?" tanya sahabatku yang berbeda kelas. Aku segera menghapus jejak airmataku dan menatap lurus kedepan seolah baik saja. Dan entah kenapa sekarang aku sedang ada di pinggir lapangan. Harusnya aku ke kantin saja kan enak. Bisa beli makan.
"aku denger semua tadi. Kenapa kamu ngga ikut ortu kamu pindah saja sih? Daripada disini makan hati terus." Katanya dongkol. Aku tersenyum miring.
"kamu tahu. Kadang aku berpikir, kenapa kita ada didunia ini. Kalau aku andaikan dunia adalah laut, maka aku akan bertanya kenapa kita harus berada dilautan. Kenapa harus laut? Padahal dari sini kita dapat melihat sesuatu yang lain. Surga atau kebalikannya? Entahlah. Yang jelas karena hal itu, kadang kita menjadi serakah. Kita ingin menguasai dunia, selalu ingin, ingin, dan ingin, penuh kebencian, penuh kebengisan, dan semakin semua itu terpenuhi, kita bukan puas. Kita semakin haus dan haus lagi. Apakah ini laut? Atau hanya padang gurun yang berwarna biru? Kita tidak tahu. Karena kita merasa sedang dilaut, kita merasa mengambang, kita terlalu nyaman sampai tidak tahu apakah dibelakang kita ada ombak kecil yang manis atau badai besar yang siap menggulung. Karena terlalu senang, kita tidak tahu seberapa menakutkan tempat yang kita sebut lautan itu. Kita tidak merasakan harapan dan keputusasaan. Semuanya menjadi semu entah nyata, entah palsu. Dan saat kita sadar, ternyata kita digurun yang tandus. Tanpa seorang pun, menghadapi semua cobaan sendirian, kering. Menakutkan dan kita berharap itu hanya mimpi. Tapi itu nyata. Itu ada didepan mata kita. Tapi yang jelas, biarpun itu gurun dalam diri aku berharap itu dalah Gurun Namib yang indah." Aku tersenyum dan menatapnya. Dia masih tetap dengan wajah polosnya yang membuatnya tampak bodoh. Aku terkekeh dan menepuk pelan pipinya.
"ga paham." Katanya setelah sadar.
"intinya, dunia yang indah yang kita sangka adalah laut, yang tenang, yang akan memberikan kita minum saat haus, tapi justrus malah padang gurun yang tandus, yang panas, yang kejam, yang bahkan tidak segan untuk membunuh orang yang lemah. Kita terhanyut dengan keasikan dunia sampai kita tidak sadar bahwa kita hanya dimanfaatkan. Dunia itu penuh kebohongan. Dunia itu jahat. Didalamnya banyak ombak kecil yang manis tapi dibelakangnya ada ombak besar yang mematikan. Bayak orang yang seperti itu. Mereka memuji kita saat sedang didepan kita, tapi mereka justru mengangkat pedang sat dibelakang kita. Tapi aku harap walaupun kita sedang ada di gurun, kita di gurun Namib yang indah" kataku.
"Gurun Namib?" tanyanya. Aku menghela nafas lelah dan mengangguk.
"biarpun panas, setidaknya aku memiliki harapan. Harapan akan keindahan gurun itu sendiri." aku menatapnya sambil tersenyum.
"itulah alasan kenapa aku masih bertahan disini. Disaat orang lain membenciku. Disaat orang lain menjatuhkanku. Disaat orang lain berkata tidak sesuai dengan yang ada didalam hatinya kepadaku. Aku bangkit lagi karena aku yakin akan melihat keindahan setelah perjuanganku itu tadi. Untuk saat ini mungkin mereka sedang iri" Lanjutku.